Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). RUU HIP dibentuk sebagai produk hukum yang memuat pengimplementasian nilai-nilai pancasila guna dijadikan pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, beberapa kelompok masyarakat menganggap bahwa RUU HIP ini membuka ruang bangkitnya PKI dan merebaknya komunisme karena tak mencantumkan Tap MPRS No. 25/1966 tentang pelarangan PKI serta pelarangan penyebaran dan pengembangan faham atau ajaran Komunis/Marxisme-Lenimisme.
Di sisi lain, pemerintah menyatakan bahwa tidak dicantumkannya Tap MPRS No. 25/1966 tidaklah bermasalahah karena Tap MPRS tersebut tetap masih berlaku dan mengikat secara hukum. Lalu, bagaimana kajian hukum tata negara memandang perdebatan ini?
Tak wajib dicantumkan
Salah satu penyebab munculnya polemik tersebut adalah, tidak dicantumkannya Tap MPRS No. 25/1966 tentang pelarangan PKI serta pelarangan penyebaran dan pengembangan faham atau ajaran Komunis/Marxisme-Lenimisme. Namun, jika dikaitkan dengan mekanisme pembentukan undang-undang, sebenarnya Ketetapan MPR (Tap MPR) memang tidak perlu untuk dicantumkan dalam bagian dasar hukum suatu undang-undang.
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah menegaskan bahwa yang dimuat dalam bagian dasar hukum suatu undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada di atas undang-undang. Selain itu, peraturan perundang-undangan tersebut juga harus, (1) memuat dasar kewenangan untuk membentuk undang-undang; (2) memuat perintah pembentukan suatu undang-undang;dan (3) memuat materi suatu pasal atau beberapa pasal dalam UUD NRI 1945 yang akan dijabarkan dalam undang-undang yang akan dibentuk tersebut.
Jika dikaitkan dengan ketentuan tersebut, memang Tap MPR memiliki kedudukan di atas undang-undang. Namun, Tap MPR No. 25/1966 dan Tap MPR lain yang dicantumkan dalam RUU HIP tidaklah memuat materi muatan yang mengatur kewenangan atau memerintahkan pembentukan RUU HIP. Selain itu, UU No. 12 Tahun 2011 juga tidak mengatur Tap MPR yang materinya dijabarkan dalam suatu undang-undang untuk dicantumkan dalam bagian dasar hukumnya.
Namun yang memicu permasalahan adalah, RUU HIP justru mencantumkan 7 (tujuh) Tap MPR/S lain yang masih dinyatakan berlaku dalam bagian dasar hukumnya. Selain itu, RUU HIP juga mencantumkan Tap MPR yang sudah diatur dalam undang-undang lain seperti Tap MPR No. 11/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN. Hal inilah yang semakin menimbulkan kecurigaan di kalangan masyarakat.
Oleh karenanya, guna menghilangkan kecurigaan tersebut serta didasarkan pada pedoman pembentukan undang-undang, maka Tap MPR No. 25/1966 dan Tap MPR lain tidaklah wajib untuk dicantumkan dalam RUU HIP. Kemudian yang menjadi pertanyaannya selanjutnya adalah, apakah dengan tidak dicantumkannya Tap MPRS No. 25/1966 dalam RUU HIP, lantas membuat materi muatan Tap MPR tersebut tidak berlaku atau tidak menjadi acuan hukum bagi pembentukan RUU HIP?
Masih mengikat
Memang pasca amendemen UUD 1945, MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Ketetapan MPRS dan MPR (Tap MPR/S) yang bersifat mengatur (regeling). Hal ini karena MPR tidak lagi diposisikan sebagai lembaga negara tertinggi serta terdapat pemangkasan beberapa kewenangan MPR.
Namun, politik hukum amendemen UUD 1945 masih membuka ruang berlakunya Tap MPR yang bersifat mengatur (regeling). Hal ini dilakukan lewat pengaturan Pasal I (Aturan Tambahan) UUD NRI 1945 yang menugaskan MPR untuk melakukan peninjauan kembali terhadap materi dan status hukum Tap MPR/S Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 yang kemudian diatur melalui Tap MPR No. 1/2003.
Terdapat 6 (enam) jenis Tap MPR yang diklasifikasikan dalam Tap MPR No. 1/2003 tersebut. Namun, saat ini hanya ada 8 (delapan) Tap MPR yang dinyatakan masih berlaku. Hal ini karena, masih terdapat ketentuan dalam beberapa Tap MPR/S tersebut yang belum dipindah pengaturannya ke dalam UU.
Selain itu, Pasal 2 Tap MPR No. 1/2003 juga menegaskan bahwa Tap MPRS No. 25/1966 diklasifikasikan ke dalam Tap MPR/S yang dinyatakan masih berlaku dengan ketentuan. Ketentuan tersebut yakni, Tap MPRS No. 25/1966 kedepan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Di sisi lain, Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 juga telah menegaskan kedudukan Tap MPR/S yang termasuk ke dalam Pasal 2 dan 4 Tap MPR No. 1/2003 (termasuk Tap MPRS No. 25/1966) sebagai salah jenis peraturan perundangan-undangan yang memiliki kekuatan mengikat. Tap MPR/S juga memiliki hierarki kedudukan di bawah UUD 1945 dan di atas UU.
Berdasarkan uraian tersebut, maka Tap MPRS No. 25/1966 wajib menjadi sumber hukum bagi pembentukan undang-undang termasuk RUU HIP. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Ketentuan ini sejalan dengan pendapat Adolf Merkl yang mendalilkan bahwa norma hukum selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlizt), yakni ke atas bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi ke bawah norma hukum menjadi dasar dan sumber norma hukum dibawahnya (Maria Farida Indrati, 2007).
Oleh karenanya, Tap MPRS No. 25/1966 tetap menjadi sumber hukum bagi RUU HIP sehingga materi muatan dalam RUU HIP tidak boleh bertentangan dengan materi muatan dalam Tap MPRS No. 25/1966 walau Tap MPRS No. 25/1966 tidak dicantumkan dalam bagian dasar hukum RUU HIP. Selain itu, Tap MPRS No. 25/1966 juga masih memiliki kekuatan mengikat secara hukum.