Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas termasuk dalam Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) Brantas, memiliki luasan wilayah sekitar 1.188.564,63 ha, dengan cakupan wilayah administratif yang meliputi kabupaten Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Kediri, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, kota Batu, kota Malang, kota Blitar, kota Kediri, kota Mojokerto dan kota Surabaya.
Banyak sekali berita atau hasil penelitian yang menjabarkan tentang kerusakan DAS Brantas, khususnya terkait menurunnya kualitas air, pencemaran oleh limbah di sepanjang DAS Brantas hingga problem sampah yang sangat sulit diurai benang merahnya.
Menurut penelitian dari Ecoton sepanjang tahun 2018 sampai 2019, mereka menemukan sampah popok di daerah hulu Surabaya sejumlah 7,5 Ton popok. Setelah itu, mereka melakukan penelusuran sampai di wilayah hilir yakni Malang, ternyata ditemukan sejumlah sampah popok yang dibuang ke sungai.
Ecoton berasumsi jika sekitar 4-9 dipakai oleh satu bayi perhari lalu dibuang ke sungai, maka akan terakumulasi sejumlah 3-5 juta ton sampah popok per hari. Angka tersebut baru sampah popok, belum sampah plastik dan aneka sampah lainnya yang semakin menjadikan Brantas mengalami ‘sakit.’
Selain problem sampah, ada juga persoalan limbah yang menjadi salah satu penyebab menurunnya kualitas air DAS Brantas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam ringkasan eksekutif menjabarkan jika Indeks Kualitas Air (IKA) di wilayah Sungai brantas menurun.
Hal ini dapat dibuktikan pada tahun 2017 IKA tercatat sebesar 47,48, jauh menurun dari tahun sebelumnya sebesar 47,68. Berdasarkan titik pantau kualitas air DAS, pada tahun 2017 kualitas baku mutu DAS Brantas menunjukan perubahan yang cukup signifikan, yakni tercatat BOD 6,61 mg/lt dan COD 22,59 mg/lt, meningkat dari tahun 2016, BOD 4,52 mg/lt dan COD 12,11 mg/lt.
Di sisi lain, jauh di tahun 2011, Elvi Yetti dkk, melakukan penelitian kualitas air di wilayah Hulu DAS Brantas Malang, menemukan jika mayoritas sungai-sungai di kawasaan DAS Brantas Hulu Malang tidak lagi memiliki kualitas air yang layak, khususnya untuk peruntukan perikanan dan pertanian, berdasarkan indikator baku dari Keputusan Gubernur Jatim No. 413 tahun 1987 ataupun Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001.
Sampah Plastik
Tidak hanya sampah plastik, penyebab turunnya kualitas air sungai di kawasan DAS Brantas Hulu Malang juga disebabkan oleh sampah organik. Berdasarkan hasil penentuan status mutu air menunjukan bahwa sebagian besar sungai-sungai di kawasan DAS Brantas Hulu khususnya Malang telah mengalami pencemaran yang sangat mengkhawatirkan dan berakibat pada penurunan kualitas air yang lebih buruk di sektor hilir DAS Brantas.
Faktor yang sangat signifikan mempengaruhi penurunan kualitas air sungai di kawasan DAS Brantas Hulu, salah satunya karena banyaknya industri yang letaknya dekat dengan sungai bahkan mejadikan sungai sebagai tempat penampungan limbah.
Kerusakan DAS Brantas juga diakibatkan oleh korporasi yang sering membuang limbah di sungai, baik sepanjang Mojokerto hingga Surabaya dan Gresik. Berdasarkan catatan Dinas Lingkungan hidup Jawa Timur, terdapat 130 lebih industri di sepanjang DAS Brantas. Industri tersebut meliputi sektor manufaktur, kertas, makanan, minuman, logam, dan lainnya.
Industri skala menengah ke atas dianggap memiliki pengolahan IPAL cukup baik. Sebelum limbah dibuang ke sungai, lebih dulu melalui proses pengolahan, tetapi pada satu fase mereka juga kerap membuang limbah tanpa proses pengolahan. Hal ini terekam jika di tahun 2016, ada sekitar 49 pengaduan yang masuk ke Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jatim.
Pada periode 2013-2016, pengaduan soal lingkungan mencapai 252 laporan, pencemaran air ada sekitar 84 laporan, udara sekitar 76 laporan dan pencemaran tanah 92 laporan. Salah satu yang terbaru ialah laporan dari Ecoton yang menemukan 12 pabrik kertas di sepanjang DAS Brantas turut menyumbang pencemaran sungai.
Manusia Terancam
Tercatat jumlah penduduk di DAS Brantas sekitar 18.995.043 jiwa dari total 38.847.561, hampir 50% dari total penduduk di Jawa Timur. DAS Brantas memiliki fungsi vital bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya, karena menjadi sumber penghidupan utama.
Air yang mengalir di DAS Brantas menghidupi ribuan lahan pertanian, menghilangkan dahaga ribuan ternak, hingga menjadi tumpuan hidup masyarakay untuk kehidupan sehari-hari.
Sehingga dengan rusaknya DAS Brantas akan mengakibatkan metabolic rift atau retakan metabolisme, di mana relasi manusia dengan alam akan berangsur-angsur hilang, sehingga mengakibatkan kerusakan sistemik dan masif. Terputusnya relasi manusia dengan alam menjadikan fungsi kehidupan tidak seimbang, dalam waktu jangka panjang mengakibatkan bencana ekologis.
Dengan kehancuran wilayah hulu dan hilir semakin menegaskan betapa potensi bencana besar akan terjadi, karena mayoritas penduduk hidup menggantungkan dari DAS Brantas. Seperti jutaan penduduk di Kota Surabaya, Gresik dan Sidoarjo yang menggantungkan kehidupan sehari-hari dari pasokan air PDAM yang berasal dari DAS Brantas.
Situasi pelik demikian menunjukan bahwa kehancuran di wilayah hulu turut berpengaruh pada wilayah hilir. Secara sistematis kita melihat wilayah hulu sebagai sumber air yang mengalir, wilayah tengah sebagai daerah yang menampung air dan juga wilayah pertanian dan wilayah hilir sebagai gerbang air menuju ke laut serta paling banyak memanfaatkan air untuk kehidupan.
Jikalau wilayah hilir rusak, seperti hutan yang dibabat habis sehingga berkurangnya sumber mata air, lalu wilayah tengah rusak karena pencemaran limbah pertanian dan korporasi, sementara wilayah hilir juga problem nyata yakni banyak korporasi di sepanjang DAS Brantas yang juga turut menyumbang pencemaran. Maka kondisi ini semakin menegaskan retakan metabolisme, di mana alam dan manusia teralienasi sehingga mengakibatkan bencana sistematis dan masif.
Selain itu ada juga pola-pola pencemaran dan kerusakan masif diakibatkan oleh pengelolaan sungai yang tidak efektif, seperti alur birokrasi yang berbelit. Seharusnya antara wilayah hulu dan hilir ditangani satu badan saja, tidak oleh banyak badan yang akan menghambat kelola sungai.
Sebagaimana contoh pengelolaan Sungai Brantas di Jatim, tercatat dilakukan oleh beberapa badan atau lembaga seperti Pemkot Batu, Perhutani, Jasa Tirta, dan Balai Besar Wilayah Sungai Brantas. Kondisi ini semakin menghambat penyelesaian persoalan DAS Brantas, karena alur birokrasi berbelit mengakibatkan ‘birokratisme’ yang menghambat pengelolaan dan pelestarian Brantas.