Bertepatan dengan peringatan Hari Migran Sedunia, 18 Desember 2019 lalu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menetapkan pekerja migran Indonesia sebagai Duta Bela Negara dan Duta Pariwisata.
Penetapan itu dinyatakan sebagai tindaklanjut dari Nota Kesepahaman Bersama (MoU) antara Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Pertahanan tentang program pembinaan kesadaran bela negara bagi pekerja migran untuk merespons keterpaparan radikalisme di kalangan pekerja migran.
Keterkaitan pekerja migran dan radikalisme tidak terlepas dari perkembangan ideologi kekerasan ekstremisme yang mewarnai dinamika relasi global, kejahatan terorganisir dan isu keamanan di lintas batas negara.
Peranan pekerja migran dalam menjalankan mobilitas multi-teritori sekaligus menggerakkan remitansi dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok ekstrem untuk mendanai, dan bahkan menjadi martir dalam aksi teror serta kekerasan.
Pekerja migran Indonesia yang mayoritasnya perempuan, tidak terlepas dari perkembangan ragam modus radikalisasi dan pergeseran peranan perempuan dalam gerakan radikalisme. Pergeseran juga terjadi pada pola persebaran paham radikal yang telah memaksimalkan penggunaan ruang-ruang mikro secara daring di media sosial serta komunitas.
Menarik beberapa contoh kasus dalam konteks Indonesia, tertangkapnya (D) pada 2016 atas keterlibatannya dalam aksi teror bom panci yang terencana diledakkan di depan Istana Negara, menjadi satu titik balik. D merupakan perempuan pekerja migran asal Jawa Barat yang pernah bekerja di Singapura dan Taiwan. D diidentifikasi mengalami proses radikalisasi melalui bacaan dan konten media sosial, serta difasilitasi untuk menjadi martir dalam aksi teror melalui modus perkawinan online.
Selain D, ada juga (I), perempuan pekerja migran asal Jawa Tengah yang pernah bekerja di Malaysia dan Hong Kong. I bahkan memiliki kemampuan untuk merekrut sekaligus mendanai aksi teror.
Pada 2017, IPAC merilis laporan mengenai radikalisasi buruh migran Indonesia di Hong Kong. Dalam laporan tersebut, dinyatakan terdapat 45 orang buruh migran Indonesia yang teradikalisasi di Hong Kong. Perkembangan radikalisme juga dinyatakan dipengaruhi oleh tren layanan agama dan perniagaan di Hong Kong.
Gambaran situasi dalam laporan IPAC juga terjawab secara linier dengan kabar penahanan tiga orang perempuan pekerja migran Indonesia oleh otoritas Singapura pada September 2019 atas dugaan pendanaan gerakan radikalisme yang mendukung ISIS.
Berkembangnya ragam kasus dan dimensi kerentanan pekerja migran pada paparan radikalisme dan ektremisme kekerasan memang memerlukan intervensi negara yang lebih responsif dari aspek kebijakan dan tata kelola.
Di balik reformasi pelembagaan tata kelola migrasi tenaga kerja Indonesia yang tak kunjung tuntas, serta dengan minimnya interkonektivitas sistem pendidikan pada ketenagakerjaan dan pembangunan manusia, penyematan peran Duta Bela Negara kepada pekerja migran Indonesia seakan menjadi jalan pintas tanpa arah. Selain semakin membebani tugas baru kepada pekerja migran, label Duta Bela Negara juga meromantisir peranan militeristis kepada sipil atas disfungsi negara dalam menjamin perlindungan kepada warganya.
Penyematan peran baru sebagai Duta Bela Negara serta Duta Wisata juga menjadi tambahan standar baru akan beban ganda yang dialami pekerja migran Indonesia di luar negeri. Serupa spirit penyematan label “pahlawan devisa” yang kemudian menegasi dan meromantisir berbagai kerentanan pekerja migran dalam beragam pelanggaran hak dan kekerasan.
Isu radikalisasi pekerja migran agaknya perlu dilihat tidak hanya secara parsial menyoroti perihal kompentensi dari sisi pekerja saja, namun juga perlu dilihat secara komprehensif dalam tata kelola layanan perlindungan layanan ketenagakerjaan, keimigrasian dan kekonsuleran sebagai kanal pelepasan/disengagement warga negara dari paham radikalisme dan ekstremisme kekerasan.
Dengan demikian, kerja sama Kementerian Ketenagakerjaan dengan Kementerian Pertahanan dalam mengupayakan pencegahan dalam orientasi pra-keberangkatan pekerja migran perlu menggunakan pendekatan yang dikaji dan diformulasi secara matang. Upaya-upaya yang tak melekat pada fungsi keamanan dan militer juga perlu menjadi kerangka kerja yang digunakan.
Utamanya dalam mengaktivasi pendekatan partisipasif dan pelibatan publik di lingkup kelompok hingga keluarga untuk dapat membangun kontra-naratif dan ketahanan sosial atas pusaran radikalisme dan ektremisme kekerasan.