Jumat, Maret 29, 2024

Rock and Roll, Budaya yang Terusir

Ihsandhia Muhammad
Ihsandhia Muhammad
Kontributor lepas dan perintis orkes Jamarish "Pop Culture adalah sebaik-baiknya alat penggerak massa"
Menengok ke sejarah Kultur Pop Indonesia era orde lama tak bisa dipungkiri bahwa budaya barat punya andil besar dalam menggoda  jiwa anak muda yang haus kebebasan. Musik rock and roll  yang mewakilkan sikap hura – hura dan anti-kemapanan bisa diterima di telinga rakyat lewat siaran radio dari ABC Australia dan Voice of America (VOA) yang jangkauannya sampai ke nusantara.

Penyebaran virus Rock and roll tidak hanya datang dari radio luar negeri, tapi juga dari rekaman piringan hitam yang dibawa dari luar negeri dan media film. Salah satu film yang digila-gilai saat itu adalah Rock Around The Clock (1956). Bill Halley diiringi ‘komet – komet’ nya tampil ceria bernyanyi dan memainkan alat musik diikuti dengan dansa – dansi  crowd yang saat itu bisa dinilai terlalu bebas dan terlalu lepas. Anak – anak muda yang menontonnya pun serasa rontok tali penjeratnya lepas dari semua beban dan mulai bergoyang tak terkendali mengikuti ritme rata-rata 139 bpm dari soundtrack film tersebut.Bill Halley and His Comets

Fenomena ini memacu musisi-musisi dalam negeri untuk membentuk orkes (sebutan untuk band saat itu) yang membawakan lagu dengan warna musik yang berasal dari Amerika Serikat tersebut. Para musisi ini biasanya membawakan lagu-lagu lama yang diaransemen ulang. Salah satunya adalah saat penyanyi Oslan Husein membawakan kembali lagu keroncong ‘Bengawan Solo’ karya Gesang dengan gaya rock and roll diiringi oleh Orkes Teruna Ria pimpinan Z. Arifin sekitar tahun 1958.

Musik rock instrumental macam The Ventures dan The Shadows juga menginspirasi musisi-musisi seperti Bing Slamet, Ireng Maulana, Benny Mustapha, Idris Sardi, Itje Kumaunang, Darmono, dan Kamid untuk membentuk orkes Eka Sapta. Saat penampilan pertamanya di Bandara Kemayoran, Eka Sapta sukses memukau penonton dengan penampilan yang keren dan unik. Selain itu pengaruh band luar seperti The Everly Brothers  juga mempengaruhi gaya bermusik Koes Bersaudara. Hal itu,secara jelas dituliskan oleh Tony Koeswoyo dalam kata pengantar di LP pertama Koes Bersaudara yang cukup rebel pada saat itu.

Koes Bersaudara

Presiden Soekarno yang sedang gencar-gencarnya menggalakkan paham anti imperialisme dan neokolonialisme melihat fenomena ini sebagai ancaman terhadap jati diri bangsa. Kemudian pada perayaan Hari Proklamasi 17 Agustus 1959 dideklarasikan manifesto yang diberi judul  Manipol / Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.  Manifesto ini bertujuan untuk melindungi kebudayaan bangsa dari pengaruh asing. Hal ini tidak hanya menegaskan RRI untuk tidak memutar lagu-lagu barat atau yang bernuansa kebaratan tapi juga berdampak ke gaya berpakaian dan potongan rambut masyarakat agar tidak meniru fashion barat.

Selain Bill Haley and His Comets, nama besar lainnya kayak Chuck Berry, Raja Rock And Roll Elvis Presley, hingga band paling berpengaruh sedunia The Beatles juga ikut meramaikan skena musik mainstream kala itu. Nama band yang terakhir disebut mungkin memiliki perseteruan yang paling bersejarah dengan pemerintah orde lama. Ketika diwawancarai oleh CBS tahun 1965 Presiden Soekarno menyebut musik Beatles sebagai musik ngak ngik ngok.

Soekarno melarang semua hal tentang Beatles bahkan hingga membakar vinyl rekaman beatles. Selain itu, Bung Karno juga melarang remaja memiliki potongan rambut layaknya anggota The Beatles dan memakai celana jengki, jika ada yang melanggar urusannya langsung dengan polisi. Koes Bersaudara juga pernah dimasukkan ke dalam bui tanpa pengadilan setelah membawakan “I Saw Her Standing There” di sebuah hajatan. Setelah tiga bulan mendekam di sel nomor 15 penjara glodok akhirnya Koes Bersaudara dibebaskan tepat sehari sebelum peristiwa G30S PKI.

Kondisi tersebut malah direspon santai oleh personil-personil Beatles. Dengan gaya a la anak muda british slengean George Harrison bilang bahwa dia sangat senag karena sebelum albumnya dibakar, Soekarno sudah beli dulu album itu. Tidak kalah tengilnya, Paul McCartney ikut-ikutan bilang bahwa Soekarno lebih baik kembalikan albumnya kepada mereka untuk dijual lagi setengah harga.

Sikap keras Soekarno terhadap musik barat tidak serta-merta membuat beliau abai soal seni musik di dalam negeri. Manifesto yang dideklarasikan pada tahun 1959 tentang melindungi budaya bangsa dari pengaruh asing benar-benar dimaksimalkan oleh beliau. Larangan soal budaya barat ini justru membuat para musisi mengasah kreativitas untuk tetap membuat karya berkualitas tanpa bergaya kebaratan. Hal ini dapat kita dengar lewat karya dari Bing Slamet, Sam Saimun, dan Oslan Husein yang berhasil memadukan irama keroncong dan melayu dengan ciamik sehingga menjadi karya populer yang bisa diterima oleh masyarakat luas.

Soekarno juga ikut terlibat langsung memperkenalkan budaya bangsa ke kultur populer. Beliau pernah mengundang tiga seniman besar yaitu Jack Lesmana, Idris Sardi, dan Bing Slamet untuk mendalami irama lenso, tarian pergaulan asli Ambon, Maluku yang artinya saputangan. Bung Karno juga ikut menggarap lagu irama lenso berudul “Bersuka Ria” yang dinyanyikan oleh Rita Zaharah, Nien Lesmana, Bing Slamet, dan Titiek Puspa di album kompilasi Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso tahun 1965.

Album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso (1965)Tidak hanya di dalam negeri, Bung Karno juga memboyong musisi-musisi seperti  Bing Slamet, Titiek Puspa, Nien Lesmana, Munif A Bahasuan, Idris Sardi, Jack Lesmana, Bubi Chen, dan beberapa lainnya ke Eropa dan Amerika Serikat di tahun 1964-1965 yang disatukan dalam proyek musik The Lensoist.Kelompok musik The Lensoist dari kiri Idris Sardi,Jack Lesmana,Munif Bahasuan,Loddy Item dan Maskan.

Kita dapat melihat Soekarno sebagai pemimpin negara yang tidak melulu sibuk mengurus birokrasi bernegara tetapi juga sangat peduli terhadap kesenian. Cara pandang beliau  yang anti-barat mungkin dinilai berlebihan oleh beberapa orang, namun kita bisa mengambil hikmah bahwasanya apa yang dilakukan Presiden Pertama RI tersebut secara tidak langsung membuahkan pendidikan berkesenian, kemandirian dalam bermusik, orisinalitas berkarya, mengoptimalkan budaya asli, serta mengasah kreativitas bangsa tanpa mengandalkan budaya asing.

Musik Tanah Air telah menemukan ciri khas nya sendiri terbukti dari karya  – karya pada era selanjutnya seperti karya dari Guruh Soekarno Putra, Eros Djarot, tongkrongan Gang Pegangsaan, serta musisi-musisi lainnya yang terdengar sangat minim pengaruh asing dan banyak memasukkan unsur-unsur suara khas nusantara serta lirik sastra yang indah. Kita patut bersyukur hidup pada jaman setelah pencekalan berakhir, dimana musik asing sudah bebas wara-wiri ditelinga kita.

Karya musik pun semakin variatif dengan perpaduan antara musik asing dengan musik asli Indonesia yang lebih matang setelah digodok hingga terbentuk jati dirinya. Sejarah inilah yang membentuk musik indonesia seperti yang kita ketahui sampai hari ini.

Ihsandhia Muhammad
Ihsandhia Muhammad
Kontributor lepas dan perintis orkes Jamarish "Pop Culture adalah sebaik-baiknya alat penggerak massa"
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.