Partai Golongan Karya (Golkar) kembali heboh, seperti tiada habisnya, seakan semua terjadi untuk mempertahankan kata Golkar berbunyi di telinga rakyat. Baru-baru ini informasi pemecatan kader menambah bumbu wacana terkait Golkar.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa DPP Partai Golkar telah memberikan putusan ‘pemecatan’ terhadap Ahmad Doli Kurnia (Doli) selaku pimpinan Gerakan Muda Partai Golkar (GMPG). Keputusan ini disampaikan oleh Idrus Marham (Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar) seperti dikutip di beberapa media berita.
Dari pemberitaan yang muncul, Doli dinyatakan telah melanggar aturan partai yang telah diputuskan dalam rapat Pleno DPP Partai Golkar terkait masalah hukum yang membawa nama ketua umum, Setya Novanto. Perlawanan Doli dianggap pembangkangan hasil pleno. Nah, bagaimana pembangkangan ini terjadi?
Ribut-ribut Pemecatan
Untuk menjawab hal ini, kedua pihak yang bersengketa yakni DPP Partai Golkar dengan GMPG, harus menyampaikan alasannya masing-masing. Sepanjang yang saya ketahui, Surat Keputusan tersebut memuat materi ‘mengingat-menimbang-memperhatikan-memutuskan-menetapkan’.
Untuk itu, berkas organisasi atau lembaga harus dibuat dengan kehati-hatian. Apalagi dokumen SK terkait kebijakan partai yang sangat penting atau menyangkut hak-hak keanggotaan. Menurut Muchtar Said, Dosen Hukum Universitas Nahdhatul Ulama Indonesia (UNUSIA), dokumen lembaga menganut asas ‘praduga sah’, jadi setelah diterbitkan langsung sah untuk dilaksanakan. Walaupun ketentuan “SK ini akan dilakukan peninjauan kembali apabila terdapat kekeliruan didalamnya”.
Jadi, penjelasan yang saya terima dari Muchtar Said memang tidak terkait SK Pemecatan Ahmad Doli Kurnia. Tetapi SK dilembaga penyelenggaraan pemilu. Namun, saya kira persoalan sahnya SK bisa disamakan.
Kemudian, di dalam SK tentu dijelaskan pasal-pasal Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga atau hasil munaslub DPP Partai Golkar yang dilanggar oleh Doli. Setelah menimbang dan memperhatikan juga memutuskan aksi Doli bertentangan dengan semua aturan partai. Barulah keputusan pemecatan dimuat demi mengetahui kepastian status keanggotaan kader.
Oleh sebab itu, Doli pun bisa melakukan pembelaan sesuai dengan dalil aturan yang dinyatakan dilanggar. Karena Doli tentu menjawab dan membela terfokus materi SK Pemecatannya.
Muncul pertanyaan, bagaimana Doli bisa membela diri di internal partai yang dikuasai oleh DPP Partai Golkar? Lalu bagaimana perbaikan regulasi partai kedepan untuk menjaga kepastian hukum?
Sepanjang yang saya ketahui, pembelaan Ahmad Doli Kurnia melalui dua tahapan. Tahapan pertama adalah jawaban tertulis yang menjawab pasal dengan pasal. Pembedanya adalah tafsiran pasal antara DPP Partai Golkar dengan Ahmad Doli Kurnia. Semua orang berhak menafsirkan AD/ART sepanjang dia memiliki alasan yang jelas terkait tafsir sesuai dengan materi pembahasan dan pengesahan pasal tersebut di Munas Partai Golkar.
Kedua, Doli akan dipanggil di sidang atau forum yang disediakan oleh DPP Partai Golkar untuk pembelaan Doli. Akan tetapi, proses persidangan pembelaan Doli harus lah mengedepankan asas praduga tidak bersalah. Sehingga pimpinan forum/sidang bisa menerima penjelasan Doli untuk dinusyawarahkan dan memutuskan status keanggotaannya.
Menurut saya, posisi pimpinan forum/sidang sangat dilematis. Apakah dia akan menerima pembelaan Doli? Padahal Doli belum tentu memiliki pembela diantara para pimpinan sidang. Namun, usaha harus tetap diikhtiarkan selama dianggap memenuhi hak untuk mendapatkan keadilan.
Pembaharuan Ragulasi Internal
Membaca persoalan pemecatan kader partai, selain kasus Ahmad Doli Kurnia, masih ada kasus pemecatan kader di partai lain. Biasanya, kader partai dipecat karena dianggap melawan keputusan DPP Partai.
Masalahnya, jarang terdengar kader partai mampu melawan ketetapan DPP Partai. Umumnya kader yang dikeluarkan mengambil jalan pindah partai. Kalau pun ada, baru Fahri Hamzah lah yang mampu melawan partainya. Fahri dinilai lihai melawan untuk mempertahankan posisinya sebagai Wakil Ketua DPR RI.
Dengan begitu, saya bermimpi partai-partai kedepan membentuk lembaga peradilan sendiri seperti Lembaga Peradilan yang ada. Memang kita ketahui bahwa partai memiliki Mahkamah Partai untuk menegakkan aturan partai. Hanya saja, saya belum melihat Mahkamah Partai mampu menyelesaikan masalah penegakan hukum dan tafsir aturan partai.
Apabila membaca kasus pemecatan Ahmad Doli Kurnia, sebaiknya putusan pemecatan berasal dari putusan Mahkamah Partai, bukanlah keputusan DPP Partai. Jadi, Mahkamah Partai diperluas kewenangannya untuk menyelesaikan sengekta administrasi, regulasi atau perseteruan antar kader dan/atau antara kader dengan pengurus.
Perluasan kewenangan Mahkamah Partai tentu saja harus diikuti dengan penguatan lembaga berupa kantor, perlengkapan dan staf serta hal lain yang menunjang kinerja Mahkamah. Jadi, Partai tidak hanya memaksankan semua aturan sesuai penafsiran sendiri, melainkan sesuai ketentuan dan tafsir hukum yang jelas dan detil.
Apabila hukum dimaknai sesuai penafsiran pengurus, maka pengurus harus belaku adil sedari pemikiran, perkataan dan perbuatan. Sehingga kader pun tunduk dan patuh terhadap aturan tanpa melakukan aksi yang berlawanan dengan keputusan pengurus partai.