Sabtu, April 20, 2024

Rezim Jokowi, Rezim Rational Choice

Reza Hikam
Reza Hikam
Mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga, Aktif di Berpijar.co dan Center for Extresmism, Radicalism, and Security Studies (C-ERSS)

Mungkin Foucault tidak pernah ke Indonesia, tapi pemikirannya relevan juga untuk dibahas dalam lingkup kepemimpinan di negeri agraris dan maritim ini. Indonesia telah merdeka hampir sekitar 73 tahun, sampai sekarang kita masih impor beras. Kurs rupiah terhadap dolar Amerika masih pada titik 13 ribu rupiah, meskipun pendapatan per kapita kabarnya “naik”, inflasi pun ikut naik ternyata. Permasalahan ini diselesaikan terus menerus dengan berhutang. Apakah Pak Jokowi selaku Presiden Indonesia ketujuh tidak merasa terganggu?

Bicara mengenai Joko Widodo atau kerap disebut sebagai Jokowi, beliau adalah orang yang dianggap sederhana. Pernah menjadi Walikota Solo, Gubernur Jakarta, dan sekarang Presiden Indonesia yang ketujuh. Orangnya tenang dan berasal dari kelompok sipil (bukan eks-militer), yang mengusung pun kelompok sipil melalui PDIP.

Pada beberapa titik, kebijakan yang diambil Pak Jokowi melalui menteri-menterinya kerap memicu salah paham, seperti usaha Mendagri pada awal masa jabatan yang akan menghapuskan kolom agama dalam KTP hingga Bu Susi yang hobi menenggelamkan kapal, semua adalah pilihan Pak Jokowi.

Lalu apa hubungannya dengan Foucault?

Foucault mencetuskan teori yang bernama governmentality yang unik. Teori tersebut merupakan sebuah cara untuk membedah langkah gerak dan arah sebuah pemerintahan. Dia berusaha untuk membedah pilihan-pilihan yang diambil oleh sebuah pemerintah di suatu negara dan melihat komponen-komponen apa saja yang menjadi pertimbangan sebuah keputusan itu diambil.

Secara tidak langsung, governmentality berhubungan cukup erat dengan rational choice (pilihan yang masuk akal), dimana sebuah pemerintah mengambil langkah jika memang langkah tersebut merupakan yang paling masuk akal (menguntungkan kantong pemerintah).

Teori diatas tidak terlepas dari keputusan yang diambil oleh pemimpin, dalam perkara kenegaraan yang presidensil, maka presiden lah yang menjadi obyek utamanya. Presiden Jokowi, acapkali mengambil menteri yang dianggap tidak kompeten, seperti Bu Susi diatas. Pelbagai macam hujatan muncul hanya karena Bu Susi bukanlah seorang sarjana dan beliau merokok.

Namun setelah Kementerian Perikanan yang bekerjasama dengan TNI-AL berhasil mengusir para illegal fishing di wilayah laut Indonesia, mulailah khalayak umum menerima keputusan Pak Jokowi. Keputusan tersebut tidak asal diambil melainkan melalui pilihan yang rasional, dimana Bu Susi memang dapat menghadang masalah perikanan selama lima tahun menjabat.

Kementerian lain yang mendapat hujatan besar ialah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang melaksanakan program Ujian Nasional berbasis komputer atau Unas CBT. Kebijakan ini berlangsung agar mengurangi adanya kecurangan dan selain itu juga efisiensi dimana tidak perlu lagi tiap tahun mengeluarkan dana untuk penggunaan kertas.

Banyak kritikan dilayangkan akibat susahnya melakukan Unas CBT, bahkan banyak wilayah yang belum terjamah oleh Unas jenis ini. Namun keberadaan Unas CBT ini adalah pilihan terbaik agar pendidikan di Indonesia bisa bergerak sesuai dengan era, yakni era digital. Kebijakan ini merupakan kebijakan rasional yang memang diambil oleh pemerintah Indonesia agar mengurangi kemungkinan untuk melakukan kecurangan dan juga mencoba untuk melakukan inovasi baru dengan memanfaatkan teknologi.

Beda Kementerian beda kebijakan. Ada kementerian lain yang membuat kebijakan menarik, namun memang banyak dikritik dan lumayan gagal dalam penerapannya, yakni Kementerian Keuangan. Sudah lama sebenarnya kementerian keuangan menjadi tonggak negara dunia ketiga semacam Indonesia, pernah berjaya dimasa Ali Wardhana.

Akan tetapi akhir-akhir ini goyah karena kebijakan amnesti pajaknya bisa dibilang gagal dalam menarik kembali uang Indonesia di luar negeri. Usaha untuk menghapus sangsi pajak ini tidak terlaksana dengan baik, padahal jika memang berhasil, seharusnya dapat mengembalikan banyak uang negara ini yang berada di luar. Program ini bisa saja berhasil dengan maksimal jika saja para pengemplang pajak kembali dan berusaha memperbaiki usahanya di negara ini.

Tiga contoh kementerian diatas sejatinya adalah kementerian yang benar-benar berbasis rational choice, masih banyak lagi contoh lainnya, namun dalam pengambilan keputusan, apalagi pelaksanaan program kerja, masa kerja Presiden Jokowi beserta kabinetnya bisa dibilang lebih masuk akal dan membutuhkan pandangan yang luas dalam memahaminya.

Bagi Foucault, kekuasaan ada dimana-mana, ada di tiap individu manusia namun dapat terhubung antara satu sama lain dalam sebuah jaringan kekuasaan. Penjelasan Foucault tersebut lah yang dapat mengilustrasikan secara singkat gaya kepemimpinan Pak Jokowi, dimana pilihan yang rasional tidak semata-mata dikeluarkan dan dieksekusi oleh Presiden, namun oleh para menterinya.

Hubungan kekuasaan yang terbentuk pun akhirnya membuat kementerian menjadi instrumen, bahwa penyelesaian masalah dapat dilakukan oleh tiap kementerian, tidak terfokus pada sumber kekuasaan saja, yakni Presiden.

Reza Hikam
Reza Hikam
Mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga, Aktif di Berpijar.co dan Center for Extresmism, Radicalism, and Security Studies (C-ERSS)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.