Kamis, April 25, 2024

Revolusi Ekosistem Pendidikan Indonesia

Miftahussururi
Miftahussururi
Tenaga Eksternal Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan, Kemendikbud RI Alumni Pengajar Muda IX Indonesia Mengajar Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Seorang Guru

Beberapa minggu lalu bahkan sampai hari ini, ruang media kita dihebohkan dengan kebijakan sistem zonasi pendidikan yang diterapkan pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran 2019/2020.

Kebijakan ini heboh karena ada banyak orang tua yang protes dengan aturan Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 jo Permendikbud Nomor 20 Tahun 2019 yang memprioritaskan peserta didik untuk mendapatkan bangku sekolah menggunakan jalur zonasi dengan kuota maksimal 80% dan bukan jalur prestasi yang hanya maksimal 15%.

Jalur lain adalah perpindahan orang tua dengan kuota maksimal 5%. Bagi pemerintah daerah yang melanggar regulasi ini, sanksinya berupa pengurangan bantuan pemerintah pusat dan/atau realokasi dana bantuan operasional Sekolah. Hal tersebut ternyata mampu ‘memaksa’ pemerintah daerah untuk melaksanakan PPDB sesuai aturan.

Dengan menekankan jalur zonasi, jarak domisili peserta didik dengan sekolah akan menjadi semakin dekat. Hal ini diyakini meningkatkan peran orang tua dan masyarakat.

Seperti disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat Rapat Koordinasi dengan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi (Jakarta, 14/6/2019), “Pendekatan zonasi diyakini akan menjadikan ekosistem pendidikan lebih baik, dimana orang tua dan masyarakat sekitar ikut terlibat dalam pendidikan karakter anak”.

Ide dan penerapan zonasi pendidikan sangat sejalan dengan gagasan Ki Hajar Dewantara tentang Tri Pusat Pendidikan yang menerangkan bahwa proses belajar berlangsung di tiga lingkungan, baik di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Proses belajar peserta didik tidak boleh hanya berada dan ditanggung kepada salah satu lingkungan tersebut.

Dewasa ini, banyak orang tua masih beranggapan bahwa proses belajar anak hanya ada pada lingkungan sekolah sehingga orang tua menyerahkan seutuhnya tanggung jawab pendidikan anak tersebut kepada sekolah.

Orang tua dan masyarakat juga harus diedukasi bahwa pendidikan bisa didapatkan anak tidak hanya sekolah. Seperti pandangan John Dewey, filsuf dan pemikir pendidikan bahwa pendidikan merupakan suatu proses pengalaman. Anak-anak harus diizinkan untuk menjelajahi dan mendapatkan pengalaman dari lingkungan mereka. Proses pengalaman tidak hanya berada di lingkungan sekolah.

Prinsip mendekatkan domisili peserta didik dengan sekolah pada kebijakan sistem zonasi akan menghemat biaya dan waktu perjalanan pulang pergi rumah ke sekolah menjadi lebih efektif. Anak bisa memiliki waktu lebih untuk bermain dan belajar di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat menjadi lebih besar.

Kebijakan zonasi pendidikan ini menerangkan bahwa negara mendorong anak-anak untuk lebih banyak mendapatkan pengalaman belajar di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Sekolah harus mengambil peran untuk mengelola dan mengintegrasikan pengalaman belajar anak pada semua lingkungan.

Kebijakan zonasi pendidikan juga akan memperkuat peran kebudayaan untuk pendidikan yang telah mengakar dan tumbuh di lingkungan masyarakat. Berbagai aktivitas kebudayaan dapat semakin hidup dan mengambil peran besar untuk memberikan pengalaman dan pembelajaran bermakna sehingga membentuk karakter anak. Melalui aktivitas kebudayaan, anak-anak secara tidak langsung diajarkan untuk mencintai daerahnya. Tidak melupakan identitas dan jati dirinya sebagai individu yang tumbuh besar di wilayah itu.

Selain itu, dengan diprioritaskannya jalur zonasi pada PPDB membuat sekolah memiliki karakteristik peserta didik yang sangat beragam. Baik dari sisi akademik-nonakademik maupun sisi sosial-ekonomi. Dengan input siswa yang beragam, akan membongkar bertumpuknya peserta didik yang memiliki kemampuan akademik dan sosial-ekonomi yang tinggi di suatu sekolah. Selama ini sekolah-sekolah tersebut sering dianggap sekolah favorit oleh masyarakat.

Jika kita lihat pada era kolonial Belanda, pengelompokan sekolah favorit dan non favorit sudah terjadi. Praktik kastanisasi sekolah yang mendiskriminasikan kesempatan anak untuk mendapatkan pendidikan dirumuskan secara terstruktur dan masif. Dulu kesempatan anak untuk bisa bersekolah ditentukan oleh kasta, kedudukan, status ekonomi, dan keturunan. Baik disengaja maupun tidak disengaja, praktik kastanisasi sekolah terus dilanggengkan sampai saat ini.

Tengok saja, bentuk perhatian pemerintah pusat dan pemerintah daerah selalu saja pada sekolah yang berada di daerah strategis, bagi sekolah yang berada di pelosok, pinggiran atau daerah tidak strategis selalu diberikan perhatian ‘sisa-sisa’.

Dari sisi sarana prasana, sebaran kualifikasi dan kompetensi guru selalu tidak berimbang. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan praktik diskriminasi terhadap kesempatan anak untuk memperoleh akses layanan pendidikan yang berkualitas sejak era kolonial Belanda.

Dengan sistem zonasi pendidikan, praktik kastanisasi dan diskriminasi sekolah akan terkikis. Penumpukan sumber daya manusia berkualitas di satu sekolah atau satu wilayah tidak akan terjadi lagi karena sekolah akan semakin heterogen. Dengan beragamnya karakter peserta didik di kelas, guru dituntut lebih kreatif untuk menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan.

Nanti, jika input peserta didik di sekolah sudah sama-sama heterogen, pemenuhan-persebaran guru merata, serta sarana prasara mendukung, kompetisi antar sekolah bisa bersaing dengan sehat dan adil. Tidak peserta didik dari sekolah itu itu saja selalu juara dan selalu mewakili sekolah-daerahnya untuk berlomba.

Zonasi pendidikan juga mendorong antar sekolah untuk berbagi sumber daya atau fasilitas pendidikan. Antar sekolah bisa saling memanfaatkan fasilitas laboratorium, perpustakaan, lapangan olahraga, dan lain sebagainya. Sekolah harus sadar bahwa fasilitas itu semua milik negara —milik rakyat— sehingga pemanfaatannya tidak boleh diklaim menjadi milik sekolah. Sekolah harus terbuka dan mendorong pemanfaatan fasilitas secara bersama-sama.

Melalui sistem zonasi pendidikan, pemerintah bisa mendeteksi atau menemukan anak putus sekolah lebih dini dan mendorong agar kembali bersekolah. Saat ini, secara nasional ada 223.882 anak putus sekolah (Neraca Pendidikan Daerah, 2018). Dalam beberapa tahun kita bisa lihat, apakah sistem zonasi pendidikan secara signifikan akan menurunkan angka tersebut.

Kini tiba saatnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah bergandengan untuk mengawal kebijakan revolusioner ini. Peta zona masing-masing daerah harus segera dibuat dan terintegrasi dalam sistem yang bisa diakses bersama. Kebijakan pemenuhan guru, rotasi guru, dan redistribusi guru harus segera dikonsolidasikan. Pemberian bantuan untuk pemenuhan sarana prasarana di sekolah yang selama ini terpinggirkan, terpelosok, dan yang kurang diperhatikan harus segera dilaksanakan.

Dengan semakin dekat jarak domisili peserta didik dan sekolah dapat semakin menghubungkan, mempererat dan mengintegrasikan lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai lingkungan belajar yang baik.

Semoga kebijakan revolusioner ini dapat menciptakan ekosistem pendidikan Indonesia yang lebih baik, dimana seluruh pihak terlibat, baik itu pemerintah, guru, orangtua, tokoh masyarakat, tokoh budaya, tokoh seni, hingga figur publik dapat turut serta membangun pendidikan Indonesia yang adil dan berkualitas.

Miftahussururi
Miftahussururi
Tenaga Eksternal Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan, Kemendikbud RI Alumni Pengajar Muda IX Indonesia Mengajar Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Seorang Guru
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.