Bahasa daerah merupakan bahasa awal yang digunakan manusia dalam berkomunikasi. Melihat bahasa daerah di Indonesia sangat banyak ragamnya dan merupakan kekayaan budaya Indonesia, seiring berjalannya zaman, pengaruh terhadap budaya luar dan budaya lain kerap terjadi.
Pengaruh itu menjadikan penggunaan bahasa daerah mulai terkikis dan tergerus. Sehingga saat ini banyak anak-anak muda lebih banyak menguasai bahasa Indonesia ataupun bahasa asing. Mereka fasih berbahasa asing namun tidak fasih berbahasa daerah kelahirannya. Sedikit yang menguasai bahasa daerah.
Penggunaan bahasa daerah yang terus menurun membuat pendidikan di Indonesia berupaya agar bahasa daerah tetap lestari. Yakni, memberikan mata pelajaran muatan lokal seperti bahasa daerah dan kesenian daerah. Namun, upaya tersebut masih lemah untuk kembali membumikan bahasa daerah. Karena pembelajaran bahasa daerah yang terbatas pada jam tertentu, belum lagi pengaruh penggunaan bahasa Indonesia yang lebih dominan di kelas dan kurangnya pembelajaran secara praktik.
Pondok pesantren menjadi salah satu lembaga pendidikan agama yang masih mempertahankan metode pendidikan tradisional sampai saat ini. Menurut Majid (1997:5) pendidikan yang ada di pondok pesantren merupakan pendidikan yang unik dengan kekhasan tersendiri dalam penyelenggaraan pendidikan. Salah satu keunikan itu berupa metode pembelajaran, sistem pembelajaran, dan aturan pendidikan yang independen.
Proses penyelenggarakan pendidikan di pondok pesantren juga memiliki kurikulum tersendiri. Proses pendidikannya lebih banyak menggunakan muatan lokal dalam penyelenggaran pendidikan. Muatan lokal yang berada di pondok pesantren bukan berupa pembelajaran secara teori melainkan praktik.
Sistem pembelajaran yang digunakan di pondok pesantren dominan menggunakan pembelajaran kitab kuning tanpa harokat dan arti. Selain itu, dalam mengartikan ataupun memahami isi kitab, pondok menggunakan metode maknani gandul dengan menggunakan bahasa daerah sebagai pengantarnya.
Maknani gandul merupakan metode pembelajaran yang muncul dari pendidikan pondok pesantren untuk memahami isi kitab kuning atau kitab klasik sebagai sumber pembelajaran para santri, mereka harus menerjemahkannya dengan metode itu. Santri sering menulisnya dengan tulisan pegon, yaitu bahasa Jawa ataupun daerah yang ditulis dengan aksara Arab atau huruf Hijaiyah. Sistem pembelajaran ini rutin dilakukan, tidak hanya dalam penulisan tapi pengantar dari kyai atau pengajarnya pun menggunakan bahasa Jawa ataupun bahasa daerah.
Metode pembelajaran maknani gandul yang digunakan para santri dalam mempelajari kitab kuning efektif dalam keberlangsungan bahasa daerah. Santri akan lebih mengetahui ataupun memahami isi kitab dengan bahasa daerah dibandingkan menggunakan bahasa lainnya. Maka dari itu penggunaan metode maknani gandul merupakan hal yang penting untuk melesatarikan bahasa daerah kembali.
Sejatinya memang tradisi di pondok pesantren baik dalam keseharian maupun metode pembelajarannya lebih banyak menggunakan bahasa daerah. Kemampuan literasi kitab kuning yang diterapkan di sana cukup memberikan dominasi penggunaan bahasa daerah. Kemampuan berbahasa daerah ini tentunya karena sikap konsistennya pondok pesantren dalam melestarikan budaya pembelajaran yang khas pondok pesantren. Seperti bandongan dan sorogan, yang tidak lepas kaitannya dengan maknani gandul sebagai penerjemah isi kitab ke dalam bahasa daerah.
Menggunakan bahasa daerah tentunya sudah menjadi rutinitas bagi santri di pondok pesantren. Keseharian santri dalam pondok pesantren, interaksi mereka baik sesama santri dan juga dengan para kiai, lebih dominan menggunakan bahasa daerah. Bukan hanya dalam proses pembelajaran saja namun dalam interaksi sosial juga.
Maka banyak tradisi dan pembelajaran muatan lokal di pondok pesantren akan lebih terdefinisikan atau dipahami oleh santri dengan bahasa daerah terlebih Jawa. Karena kosa kata dalam bahasa Jawa ataupun daerah lebih banyak dibandingkan bahasa Indonesia. Keragaman kosa kata ini dipengaruhi kultur kiai dalam proses memperoleh ilmunya.
Hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa kitab kuning karya ulama nusantara yang telah banyak digunakan pondok pesantren di Indonesia. Kitab tersebut ada beberapa yang sudah mengalami proses penerjemahan secara metode makna gandul. Seperti Kitab Tafsir Al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa, kitab tafsir ini menggunakan metode terjemahan dengan makna gandul. Sehingga setiap kata per kata di bawah Al-Qur’an lengkap dengan kedudukan dan fungsi kalimat tersebut yang dituliskan dengan huruf pegon arab Jawa. Begitu pula dalam kitab-kitab klasik lainnya.
Bahasa adalah ruh suatu negara, terlebih bahasa daerah yang termasuk aset yang sangat bernilai untuk bangsa. Bagi santri, tradisi makna gandul, bahasa Jawa maupun bahasa daerah adalah suatu rutinitas. Santri sebagai penyambung untuk tetap melestarikan bahasa daerah dengan segenap cita rasa tradisi khas pondok pesantren. Dengan begitulah santri berkontribusi besar dalam pelestarian bahasa daerah dan menghidupkan semangat mencintai NKRI. Kini dan nanti. Selamat Hari Bahasa Ibu Internasional.