Rabu, Desember 3, 2025

Revisi UU KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi

Muhamad Mikola Yusuf
Muhamad Mikola Yusuf
Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
- Advertisement -

Pengesahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU KPK telah memunculkan diskursus luas di tengah masyarakat. Banyak yang menilai bahwa revisi ini menandai babak baru dalam perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia—babak yang penuh pertanyaan mengenai efektivitas dan independensi lembaga antirasuah tersebut.

Secara formal, tujuan revisi adalah memperkuat tata kelola KPK agar lebih akuntabel dan selaras dengan prinsip negara hukum. Namun, sejumlah ketentuan baru justru menghadirkan kekhawatiran. Misalnya, perubahan status pegawai KPK menjadi ASN dinilai dapat mengurangi fleksibilitas dan independensi lembaga.

Selain itu, hadirnya Dewan Pengawas dengan kewenangan memberikan izin penyadapan, penggeledahan, serta penyitaan berpotensi memperlambat proses penindakan kasus korupsi yang membutuhkan gerak cepat dan kerahasiaan tinggi. Pemerintah berargumen bahwa revisi ini diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dan memperkuat kontrol internal. Sayangnya, argumen tersebut belum sepenuhnya menjawab kekhawatiran publik mengenai kemungkinan pelemahan fungsi penindakan KPK. Kepercayaan masyarakat yang selama ini menjadi kekuatan utama KPK pun terancam terkikis.

Pengesahan UU No. 19 Tahun 2019 seharusnya menjadi momen refleksi bukan hanya bagi KPK, tetapi juga bagi seluruh elemen bangsa. Korupsi adalah penyakit kronis yang membutuhkan lembaga kuat, independen, dan dipercaya. Revisi regulasi memang mungkin dibutuhkan, tetapi idealnya dilakukan secara lebih partisipatif, transparan, dan berdasarkan evaluasi kinerja yang jelas. Masyarakat perlu tetap mengawal implementasi undang-undang ini agar tidak menjauhkan KPK dari jati dirinya sebagai lembaga yang berdiri di garis depan pemberantasan korupsi. Tanpa komitmen bersama, pemberantasan korupsi berisiko berubah dari agenda bangsa menjadi sekadar slogan—keras di suara, namun lemah di tindakan.

Tanggapan Pro Pengesahan UU

Dari situs resmi KPK, Agustinus Pohan, pakar hukum dan akademisi dari Universitas Katolik Parahyangan, menggarisbawahi sejumlah alasan mengapa UU perlu direvisi. Pertama, adanya tumpang tindih antara pasal-pasal di KUHP Nasional terbaru dengan pasal-pasal di UU Tipikor—misalnya pasal suap—berakibat munculnya pilihan ancaman pidana yang bobotnya berbeda jauh, sehingga mempengaruhi kepastian hukum. Revisi dianggap perlu supaya regulasi pemberantasan korupsi di Indonesia harmonis dengan konvensi internasional (United Nations Convention Against Corruption / UNCAC) serta menyesuaikan dengan perkembangan baru dalam hukum pidana setelah terbitnya UU baru.

Romli Atmasasmita berpendapat bahwa revisi wajar untuk “mengembalikan jati diri” KPK menyesuaikan dengan realitas saat ini karena ada aspek dalam UU lama yang “tidak pas di lapangan”. Dengan revisi, diharapkan lembaga kembali efektif dalam koordinasi, struktur, dan wewenang.

Tanggapan Kontra Pengesahan UU

Menurut Manullang et al. (2023), kebebasan untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi serta supervisi atas penegakan hukum oleh pihak Kejaksaan dan Kepolisian, maupun pengambilalihan kasus tersebut jika mandek, menjadikan kekuasaan KPK sangat besar. Akan tetapi, kalaupun kinerja KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dinilai baik, belum menjamin tingkat korupsi di Indonesia menurun. Politik Hukum Pidana, baik secara penal maupun non-penal, tercermin dalam kebijakan legislasinya atau kebijakan peraturan perundang-undangannya.

Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M., proses pembuatan dan pengesahan revisi UU KPK memiliki cacat formil karena dikebut hanya dalam 13 hari. Selain itu, revisi UU KPK tidak termasuk dalam daftar prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) DPR 2014–2019. Padahal, menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 45 menyatakan bahwa setiap RUU harus disusun berdasarkan Prolegnas.


Menurut saya, pengesahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 sebenarnya adalah langkah yang baik membawa KPK menuju lembaga yang lebih sempurna. Selama ini KPK menunjukkan kinerja yang bertahap, tetapi kerumitan hukum serta dinamika politik hukum di tingkat nasional mengharuskan penyesuaian terhadap peraturan. Dalam perubahan ini, dalam pandangan saya, justru merupakan upaya KPK dalam memberikan tata kelola yang lebih terbuka, bertanggung jawab, dan sesuai dengan hukum pidana terbaru.

Beberapa alasan saya mendukung revisi UU KPK:

- Advertisement -
  1. Memperbaiki tata kelola dan struktur organisasi
    Pasal 3, 5, dan 6 pada UU Nomor 19 Tahun 2019 memberikan ruang untuk menata prosedur, hierarki, serta menghilangkan hambatan yang membuat kinerja tidak konsisten.

  2. Memperkuat tanggung jawab lembaga
    Pasal 5, Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 15 memberikan struktur pengawasan yang lebih ketat dan jelas dalam lembaga penegak hukum karena kewenangan besar sangat berpotensi disalahgunakan jika tanpa pengawasan.

  3. Meningkatkan profesionalisme pegawai
    Menurut news.detik.com, Pasal 69B dan 69C dalam ketentuan peralihan UU menyebutkan bahwa penyidik atau penyelidik KPK serta pegawai KPK yang belum berstatus ASN dalam jangka waktu 2 tahun sejak UU berlaku dapat diangkat menjadi ASN. Status ASN berarti mereka berada dalam kerangka manajemen kepegawaian resmi (rekrutmen, pelatihan, jenjang karir, tunjangan, dan regulasi ASN) yang menjadi landasan profesionalisme.

Solusi Menjaga Marwah KPK di Tengah Revisi Regulasi

Pengesahan UU 19 Tahun 2019 memunculkan kecemasan publik mengenai independensi dan efektivitas KPK. Namun, alih-alih hanya mengkritik, yang dibutuhkan adalah solusi agar KPK tetap kuat di tengah perubahan regulasi.

Salah satu langkah utama adalah memastikan Dewan Pengawas bekerja secara independen. Seleksi terbuka dan keterlibatan publik penting agar lembaga ini tidak menjadi alat intervensi politik. Independensi Dewan Pengawas akan menjaga proses pengawasan tetap objektif dan tidak menghambat upaya penindakan.

Prosedur perizinan seperti penyadapan dan penggeledahan juga harus dibuat cepat dan efisien. Mekanisme digital yang transparan dapat menjadi solusi agar kontrol tetap berjalan tanpa memperlambat kinerja KPK. Perubahan status pegawai menjadi ASN perlu disertai penguatan kompetensi melalui jalur karier khusus, pelatihan berkala, serta standar etik yang ketat.

Partisipasi publik harus diperkuat melalui kanal pelaporan yang mudah dan perlindungan maksimal bagi pelapor. Transparansi dalam proses penanganan kasus akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan mencegah intervensi.

Pada akhirnya, implementasi UU 19/2019 harus dievaluasi secara rutin. Jika terbukti mengurangi efektivitas KPK, revisi lanjutan patut dipertimbangkan. Dengan komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat, dan KPK, pemberantasan korupsi dapat tetap berjalan kuat meskipun regulasi mengalami perubahan.

Muhamad Mikola Yusuf
Muhamad Mikola Yusuf
Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.