Sejak berlangsungnya pandemi covid-19 pada tahun 2020, tren Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) mengalami peningkatan tajam di Indonesia. Laporan akhir tahun Komnas Perempuan pada tahun 2020 mencatat kenaikan sebesar 348%, yakni dari 490 kasus pada tahun 2019 menjadi 1.425 kasus pada tahun 2020. Jenis KBGS yang paling banyak terjadi adalah kasus revenge porn.
Berbicara statistik, umumnya pelaku revenge porn adalah laki-laki, dan korbannya adalah perempuan. Banyaknya korban revenge porn yang berasal dari kalangan perempuan menunjukkan adanya keterkaitan antara tindakan revenge porn dengan masalah praktik maskulinitas pada laki-laki.
Revenge porn biasanya diawali ketika korban dianggap telah memegang kekuasaan dalam sebuah hubungan. Contohnya, perempuan yang menyudahi atau menolak menjalin hubungan romansa dengan pelaku. Pelaku kemudian merasa tersinggung atau sakit hati, sehingga melakukan tindakan untuk merebut kembali kontrol atas hubungan mereka. Perebutan kontrol tersebut juga dikenal dengan istilah compensatory manhood acts (tindakan kompensasi kejantanan) (Hall & Hearn, 2019). Dalam kasus revenge porn, tindakan ini berupa pelecehan atau teror kepada korban baik dalam dunia maya, maupun dunia nyata.
Jika ditilik lebih dalam, revenge porn sangat berkaitan erat dengan sistem patriarki di masyarakat. Patriarki menghasilkan ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan. Di satu sisi, laki-laki dituntut untuk memiliki otoritas tinggi dan menjadi pembuat keputusan. Sementara perempuan dituntut untuk menjadi pihak yang menerima keputusan. Hal itu akan menormalisasi kontrol laki-laki terhadap kehidupan perempuan dalam berbagai hal, salah satunya dalam hubungan romansa. Maka, ketika kontrol dianggap telah berada di tangan perempuan, laki-laki akan merebut kembali kontrol tersebut. Contohnya, dengan melakukan revenge porn.
Mirisnya, justru seringkali korbanlah yang harus menanggung beban jika kasus revenge porn terkuak di masyarakat. Kentalnya budaya victim blaming di masyarakat menghasilkan banyaknya nyinyiran dari masyarakat yang tak punya empati dan merasa paling benar sendiri. Lebih parahnya, victim blaming tidak hanya dilakukan oleh laki-laki ke perempuan, namun juga oleh perempuan kepada perempuan lain.
Di samping itu, perilaku aparat penegak hukum juga seringkali bersifat seksis. Perilaku yang demikian hanya akan menambah penderitaan korban yang melapor. Lebih lagi, hukum yang tersedia saat ini juga kurang berpihak pada perempuan, sehingga lebih banyak yang mempersekusi korban alih-alih pelakunya. Salah satu contohnya adalah UU Pornografi yang ada saat ini.
Tak heran, sangat sedikit kasus revenge porn yang diproses dan berhasil menghukum pelaku. Apabila kondisinya demikian, maka bagaimana menghentikannya? Apakah sanksi sosial cukup untuk menghukum pelaku? Perlu untuk diingat lagi bahwa menceritakan pengalaman traumatis seperti revenge porn membutuhkan keberanian yang besar dari korban. Terutama ketika menceritakannya di tengah masyarakat yang tidak ramah terhadap korban dan gemar untuk menghakimi. Pada akhirnya, korbanlah yang akan menderita. Pilihannya, jika korban menceritakan maka ia akan dihakimi, namun jika tidak menceritakan maka pelaku tidak akan berhenti.
Lantas bagaimana cara mengatasi revenge porn yang telah menempatkan korban dalam situasi serba menderita? Sepertinya perlu upaya perubahan yang mendasar dan menyeluruh dalam struktur masyarakat. Dikatakan mendasar karena kita harus berani menghadapi dan melawan budaya patriarki yang sudah mengakar kuat pada struktur masyarakat.
Revenge porn sangat lekat kaitannya dengan nilai superioritas laki-laki terhadap perempuan. Superioritas ini didasari oleh pemikiran bahwa dominasi atas hidup perempuan merupakan suatu hal yang wajar dan ideal. Padahal kenyataannya tidak. Dominasi, subordinasi, dan diskriminasi berbasis gender justru merupakan suatu hal yang sangat kolot dan tidak seharusnya masih dilanggengkan oleh masyarakat.
Disadari atau tidak, budaya patriarki juga menguatkan fenomena victim blaming di masyarakat. Bahkan kampanye “Stop Sexting” dalam rangka mengantisipasi revenge porn pada dasarnya juga merupakan bentuk victim blaming. Bagaimana tidak?
Masyarakat, lebih khususnya perempuan, dilarang untuk mengirimkan konten berbau seksual kepada orang lain agar foto/videonya tidak dapat disebarluaskan. Penegasan pada perempuan terlihat dari banyaknya konten kampanye yang menggunakan narasi, gambar, atau animasi perempuan sebagai korban. Kampanye ini secara jelas menempatkan beban tanggung jawab pada korban semata. Seakan-akan jika seorang perempuan mengirimkan gambar/video dirinya, maka laki-laki secara alamiah memiliki kuasa untuk menyebarkannya. Padahal seringkali pengiriman konten tersebut didasari oleh persetujuan bahwa konten hanya akan dilihat oleh pengirim dan penerima saja.
Penyebaran konten seksual berupa revenge porn mutlak merupakan sebuah kekerasan karena tidak dilakukan berdasarkan persetujuan dari kedua belah pihak dan menyebabkan penderitaan pada korban. Lebih lanjut, terdapat manipulasi dan dominasi dalam hal tersebut. Ketika dua pihak setuju untuk membagikan konten seksual di antara keduanya, maka tanggung jawab atas konten tersebut terletak pada keduanya, tidak hanya pada satu pihak. Pelaku revenge porn seharusnya menyadari hal tersebut. Menerima konten tersebut tidak hanya sekedar perkara memiliki, namun terdapat tanggung jawab besar di dalamnya.
Dapat dipahami bahwa kampanye “Stop Sexting” untuk mengantisipasi revenge porn merupakan solusi yang paling cepat dan efisien. Namun perlu juga dipahami bahwa solusi tersebut secara tidak langsung semakin mendorong fenomena victim blaming. Karena ketika terdapat kasus revenge porn di masyarakat, banyak orang langsung tergerak untuk menghakimi, “Lagian ngapain masih kirim foto begituan, sih? Pantes aja disebar, kan udah dibilangin!”.
Perlu juga untuk dipahami bahwa laki-laki merupakan sesosok manusia yang memiliki hati, nurani, dan kesadaran. Laki-laki juga bukan merupakan robot yang secara pasif terprogram untuk melakukan sesuatu. Setiap tindakannya pasti telah melewati sejumlah pertimbangan. Maka akan jauh lebih bijak apabila edukasi dan kampanye untuk menghentikan revenge porn tidak lagi berfokus untuk mengatur tingkah laku perempuan. Perlu adanya edukasi yang masif pada masyarakat luas mengenai pentingnya konsep persetujuan (consent) dan saling menghargai untuk menghilangkan nilai-nilai superioritas dan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Memberikan persetujuan untuk membagikan konten seksual kepada seseorang tidak sama dengan memperbolehkan orang tersebut untuk membagikannya kembali kepada publik. Revenge porn tidak akan hilang dengan melarang orang untuk membagikan konten seksualnya pada orang lain. Sebab, masih banyak cara lain untuk mendapatkan konten tersebut, seperti dengan merekamnya secara diam-diam. Revenge porn baru akan hilang ketika tidak ada lagi superioritas atau relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan di masyarakat.