Sepertinya hanya di era Kertanagara, penguasa Singhasari, yang menaiki tahta penuh tahun 1268 M, pergantian kabinet dalam artian para pembantu atau orang-orang dekat Raja begitu jelas dan menghebohkan.
Mengapa diganti dan bagaimana nasib mereka setelah diganti dapat kita pahami dan kita ikuti alurnya. Ini jelas berbeda dengan masa-masa raja-raja sebelumnya: pergantian posisi para pembantu raja tidak menjadi berita yang menghebohkan.
Tetapi di masa Raja Kertanagara, walau jelas pengangkatan di masa feodal itu adalah hak mutlak raja, sorak-sorai massa-rakyat Singhasari yang mengiringi pro-kontra atas pergantian kabinet itu seperti terdengar di telinga kita, selayaknya pergantian reshuffle kabinet di era reformasi setelah Orde Baru tumbang, walau jelas-jelas juga bahwa pemilihan dan penggantian anggota kabinet adalah hak prerogatif Presiden.
Di era reformasi ini, rakyat berusaha mempengaruhi presiden agar memilih menteri-menteri yang dianggap cakap bekerja untuk rakyat melalui aplikasi-aplikasi Polling atau E-voting yang disebarkan ke berbagai media sosial.
Mengapa setelah Kertanagara berkuasa menggantikan Wisnuswardhana (1248-1268 M) terjadi perombakan “kabinet” besar-besaran sehingga sepertinya rakyat Singhasari turut heboh dan terlibat?
Professor Slamet Muljana menjawab: “Di antara raja-raja Singasari, Sri Kertanagara yang pertama-tama melepaskan pandangan ke luar Jawa. Ia meninggalkan politik tradisional yang berkisar pada Janggala-Panjalu.
Ia ingin mempunyai kerajaan yang lebih luas dan lebih besar daripada sekadar kerajaan Janggala-Panjalu warisan raja Erlangga. Ia mendobrak politik tradisional dan menganut paham baru. Paham baru mendapat tantangan dari pihak penganut politik kolot, karena golongan ini telah berakar pada yang lama.
Untuk melancarkan aliran politiknya, ia tidak segan-segan menyingkirkan para pembesar yang menghalanginya dan menggantinya dengan tokoh-tokoh lain pendukung paham barunya. (Slamet Muljana, Tafsir Sejarah Negarakretagama, LKIS, Yogyakarta, 2011; 117).
Begitulah juga Bernard H. M. Vlekke dalam bukunya yang berjudul Nusantara (edisi Indonesia diterbitkan oleh Gramedia) menyatakan bahwa “Dalam satu hal, kerajaan Majapahit berbeda dari kerajaan-kerajaan sebelumnya di Jawa. Raja Kertanagara telah memperkenalkan satu unsur baru dengan kebijakan luar negerinya yang berjangkau jauh dan penerus-penerusnya tidak mau melepaskan klaim penguasaan atas Indonesia,yang ditetapkan oleh penguasa terakhir Singhasari.”
Akhirnya, kaum pergerakan kemerdekaan Indonesia, termasuk Bung Karno pun sebagaimana dalam pidatonya yang kemudian terkenal sebagai Hari Lahirnya Pancasila, menyatakan dan menggunakan klaim penguasaan wilayah Raja Kertanagara tersebut untuk mendirikan Negara Indonesia dan Mohammad Yamin, menuntut bahwa wilayah Negara Nasional yang hendak didirikan adalah bekas wilayah Majapahit yang prasasti terjauhnya juga ditemukan di Singapura dan Sumbawa; sementara yang lain menekankan hanya bekas jajahan Hindia Belanda; pun barangkali kolonialisme Belanda pun yang bernama Hindia Belanda meyakinkan dirinya sebagai pewaris dari wilayah yang ditinggalkan Kerajaan Majapahit.
Politik luar negeri atau paham baru Kertanagara ini yang mengklaim Nusantara sebagai bagian dari kekuasaannya dan di bawah perlindungannya pada mulanya disinyalir berkaitan dengan semakin menguatnya kuasa Dinasti Yuan di bawah Khubilai Khan di perairan Nusantara dan Kertanagara menganggapnya sebagai ancaman.
“Bukan tidak mungkin bahwa ancaman Mongol_Cina adalah penyebab obsesi Kertanagara terhadap perkara-perkara luar negeri. Hanya ada satu cara untuk menentang ancaman Cina: mempersatukan kekuatan-kekuatan Asia Tenggara dan itulah jalan yang dipilih Kertanagara.” (Bernard H. M. Vlekke, Nusantara, Gramedia, Jakarta, 2016; 59).
Begitulah kemudian pada tahun 1275 M, Kertanagara meluncurkan program Pamelayu, sebagai cara untuk mencegah pengaruh kekuasaan Kubilai Khan di Nusantara. Untuk melancarkan ekspedisi Pamelayu itu, sebelumnya Mpu Raganata diturunkan dari rakryan patih menjadi ramadhyaksa; digantikan Kebo Anengah dan Panji Angragani, Demung Wiraraja alias Banyak Wide dipindahkan ke Sumenep sebagai adipati yang bergelar arya; Tumenggung Wirakreti diturunkan menjadi Mantri Angabhaya
Reshuffle kabinet ala Kertanagara ini yang hanya menggeser–nggeser kedudukan “para menteri” yang dianggap tidak setuju terhadap Jalan Baru Kertanagara, kita ketahui gagal bahkan membuat Kertanagara sendiri menemui ajal dengan begitu tragis sebagaimana Bung Karno akibat serangan raja bawahan tanpa mampu memberikan perlawanan yang berarti sebulan sesudah Kertanagara mengumumkan keberhasilan proyek penyatuan Nusantara sebagaimana dinyatakan dalam Prasasti Camunda.
Walau begitu, kegagalan ini ternyata tidak menghentikan proyek politik Kertanagara. Setelah melalui berbagai kesulitan, Dinasti Singhasari kembali berkuasa. Gayatri, putri Kertanagara, melalui Tribhuwana, (dengan begitu: cucu Kertanagara) sebagai wali raja, kembali meneruskan dan meneguhkan cita-cita Kertanagara menyatukan Nusantara.
Sebagaimana peribahasa: “Keledai tidak mau jatuh ke lubang yang sama”, begitulah Tribhuwana, pada tahun 1336 M, dalam soal pemilihan anggota kabinet untuk mendukung program-program politik Kertanagara tak lagi mengikuti jejak Kertanagara yang berakhir tragis.
Tribhuwana tak lagi menyingkirkan dan menurunkan jabatan tokoh-tokoh Majapahit yang menentang Politik Kertanagara tetapi sebagaimana kisah yang sampai pada kita, mereka yang menentang dieksekusi mati oleh Patih Amangkubhumi Majapahit: Gajah Mada.
“…sementara Jabung Tarewes, Lembu Peteng, Ra Kembar dan Warak menertawakannya. Maka keluarlah Gajah Mada ke halaman istana. Ra Kembar yang terlalu congkak ditantang dan terjadilah perkelahian. Dalam perkelahian itu Kembar berhasil dibunuhnya. Giliran Warak juga dikalahkan dan dihabisi, Jabung Tarewes dan lembu peteng dikalahkan juga…(Agus Aris Munandar, Gajah Mada, Biografi Politik, Komunitas Bambu, Jakarta, 2010; 33)
Ketegasan dan keketatan dalam memilih anggota “kabinet” yang tidak meragukan program dan tujuan kerajaan di bawah Ratu Tribhuwana itulah yang mengantarkan Majapahit menuju puncak kejayaan dan keemasan. Presiden Jokowi yang akan dilantik sebagai Presiden periode kedua tentunya pernah mendengar tentang “reshuffle kabinet” ala Kertanagara dan Tribhuwana ini.
Keterangan gambar: Arca Mahakshobhya, perwujudan Kertanagara.