Senin, Oktober 14, 2024

Representasi Agama dalam Tradisi Syawalan Lopis Raksasa di Pekal

Ranah, Rantau dan Jokowi

Membedah Anxiety

Shusnaa
Shusnaa
Lahir di Pekalongan, Jawa Tengah. Mahasiswi Program Studi Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tanah surga. Begitulah yang orang-orang katakan tentang Indonesia. Bahkan bukan hanya tanahnya saja yang kaya, lautnya, hingga kebudayaan  pun demikian. Tidak bisa dipungkiri memang Indonesia memiliki beraneka ragam budaya yang otentik di setiap daerahnya, termasuk di kota Pekalongan, Jawa Tengah. Pekalongan merupakan kota kecil yang dikenal sebagai Kota Batik.

Meskipun merupakan kota yang kecil dan mungkin masih banyak orang yang tidak mengenal kota ini, namun sejatinya terkait dengan kebudayaan kota ini tidak kalah dengan kota-kota lain, seperti Yogyakarta ataupun Bali.

Setiap tahunnya, Pekalongan selalu memiliki acara-acara kebudayaan, seperti tradisi lopis raksasa yang diselenggarakan setiap hari ketujuh bulan Syawal (dikenal dengan sebutan Syawalan), pagelaran seni teater, pameran seni, pawai khitanan massal yang diadakan setiap bulan Rabiul Awal (Mulud; dalam bahasa Jawa), pawai obor gema takbir pada malam hari raya Iduladha, festival balon, karnaval batik dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun yang akan saya kupas di sini ialah mengenai tradisi lopis raksasa.

Lopis merupakan makanan yang terbuat dari beras ketan, sekilas mirip lontong yang diikat dengan tali namun lebih padat dan lengket. Lopis ini biasanya dimakan dengan parutan kelapa atau bisa juga dengan gula jawa yang sudah dilarutkan (kincau; dalam bahasa Jawa).

Pada hakikatnya lopis merupakan jajanan tradisional zaman dahulu yang biasa dijual di pasar Namun berbeda jika pada bulan Syawal atau hari raya IdulFitri, lopis tersebut dibuat dengan ukuran yang sangat besar sehingga disebut lopis raksasa. Lopis raksasa ini dibuat bersama-sama oleh warga kecamatan Pekalongan utara tepatnya daerah Krapyak.

Pembuatan lopis ini memakan waktu kurang lebih hingga lima hari bahkan sepekan lamanya, dimulai sehari setelah lebaran di lapangan Krapyak. Selanjutnya pada hari ketujuh bulan Syawal, sebagai puncaknya, lopis ini dibagikan kepada semua warga yang hadir di tempat. Ukurannya yang sangat besar tentu juga dikukus dengan kuali yang besar pula. Lopis ini dibungkus dengan beratus-ratus lembar daun pisang kemudian diikat dengan tambang dan dilapisi dengan rotan agar tetap kokoh berdiri.

Adapun dana dalam pembuatan lopis sendiri biasanya berasal dari masyarakat Krapyak secara sukarela yang juga mendapat bantuan dari pemerintah Wali Kota Pekalongan. Biasanya mulai pagi, bahkan saat subuh, daerah Krapyak ini sudah ramai oleh warga yang ingin melihat prosesi pemotongan lopis serta antre untuk mendapatkan potongan lopisnya. Sebab masyarakat percaya bahwa lopis ini dapat membawa keberkahan, bahkan sebagian menganggap daun pisangnya juga demikian.

Pada tahun 2019 kemarin, ada dua lopis raksasa yang dibuat dengan tinggi sekitar 200 sentimeter dengan berat mencapai satu ton lebih. Acara ini diawali dengan berdoa bersama. Selanjutnya prosesi pemotongan lopis dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.

Setelah itu barulah dibagi-bagikan kepada seluruh masyarakat yang hadir. Untuk menghindari keributan dan aksi saling dorong, panitia meminta masyarakat untuk antre menunggu giliran potongan lopisnya, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Warga yang hadir pun tidak hanya datang dari Pekalongan saja, melainkan juga dari luar Pekalongan. Menurut Ganjar, tradisi ini sangat kreatif dan patut untuk terus dilestarikan bahkan kedepannya mungkin bisa dikemas kembali sehingga prosesi pemotongannya bisa dilakukan oleh orang asing.

Tradisi ini juga beriringan dengan tradisi yang disebut open house, yang bisa dimaknai sebagai terbukanya rumah warga untuk siapapun. Jadi selepas pembagian lopis, warga bisa mengunjungi rumah warga sekitar yang mana tidak harus saling kenal. Dengan demikian jelas bahwa tradisi ini begitu kental akan makna kekeluargaan dan persatuan. Hal ini juga tergambar dari fisik lopis itu sendiri, yang lengket dan padat serta diikat dengan kuat. Demikianlah seharusnya masyarakat Pekalongan terbentuk, yakni bersatu padu tanpa mengenal adanya perbedaan.

Ditinjau lebih lanjut mengenai tradisi ini, ada dua aspek utama yang melingkupinya, yaitu aspek sosial dan agama. Agama sebagai salah satu elemen kunci yang membedakan antara kehidupan manusia dengan makhluk hidup lainnya, sekaligus menjadi alasan yang paling dasar dan dekat dalam setiap tindakan sosial manusia.

Hal ini terbukti dalam tradisi lopis raksasa yang digelar untuk merayakan kemenangan yang mana secara historis, masyarakat Krapyak melakukan puasa sunnah pada tanggal dua sampai dengan enam Syawal. Maka pada tanggal-tanggal tersebut tidak ada kegiatan silaturahmi sebagaimana masyarakat pada umumnya. Dengan demikian tradisi lopis raksasa ini dapat menjadi simbol kemenangan bagi warga Krapyak, layaknya baru saja lebaran.

Sebelum prosesi pemotong lopis ada sesi doa bersama untuk mendoakan para sesepuh warga Krapyak yang telah meninggal, terutama yang menjadi pelopor adanya tradisi ini. Lopis raksasa juga menjadi bentuk rasa syukur warga Krapyak terhadap nikmat dari Allah SWT berupa usia, kesehatan, rezeki dan kemampuan sehingga dapat menggelar acara tersebut.

Ditinjau dalam aspek sosial, tradisi ini mejadi sarana bagi masyarakat Krapyak untuk berbagi kepada sesama manusia, tanpa pandang bulu. Tidak hanya itu, proses pembuatan lopis sendiri juga melibatkan semua warga yang bahu-membahu membantu baik dalam bentuk bantuan dana, material maupun tenaga. Tradisi ini turut membantu memperkuat jalinan kekeluargaan antar warga Krapyak secara khusus, sekaligus mempererat tali silaturahmi dengan warga di luar Krapyak itu sendiri.

Dalam konteks tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam teori fungsionalisme agama menurut Emil Durkheim, bahwa agama memiliki fungsi sosial, bukan suatu khayalan melainkan sebuah realita sosial yang dapat diidentifikasi serta memiliki kepentingan sosial. Fungsi agama sendiri diantaranya mampu meningkatkan solidaritas, loyalitas serta hubungan yang harmonis bagi masyarakat melalui ritual-ritual keagamaan.

Dalam kaitannya dengan tradisi lopis raksasa ini menunjukkan bahwa tradisi ini mampu meningkatkan kesadaran dan loyalitas masyarakat. Tradisi ini juga menunjukkan bahwa yang dilihat dari sebuah agama adalah bagaimana realisasi atau praktek seseorang dengan agamanya itu, jadi bukan sebuah khayalan.

Selain itu, tradisi ini menjadi sebuah contoh dari ritual periodik yang menurut Durkheim dapat menimbulkan gairah hidup kolektif. Dalam hal ini keterlibatan praktek keagamaan berperan penting guna menguatkan hubungan antar masyarakat sehingga membangun gairah hidup yang kolektif kendatipun berasal dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda.

Selain itu, agama juga mampu mengikat masyarakat dalam satu tujuan bersama yang mana juga diikuti dengan terbentuknya solidaritas mereka. Sebab proses pembuatan lopis sendiri turut dilakukan oleh semua warga Krapyak yang pada puncaknya dihadiri oleh ribuan masyarakat diikuti dengan pembagian lopis serta tradisi open house tadi.

Jika boleh berlebihan, mungkin bisa dikatakan bahwa lebaran bagi masyarakat Pekalongan akan terasa hampa jika tanpa adanya makanan lopis ini. Terlebih jika melihat kondisi sekarang di tengah pandemi, maka besar kemungkinan acara ini akan ditiadakan sebagaimana acara lainnya.

Shusnaa
Shusnaa
Lahir di Pekalongan, Jawa Tengah. Mahasiswi Program Studi Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.