Para pemimpin dari G-7 yang merupakan negara dengan ekonomi maju melakukan pertemuan secara virtual. Pertemuan tersebut bertujuan untuk membahas apakah mereka akan memberikan sanksi atau mengakui pemerintahan Taliban yang baru. Mereka juga sepakat untuk terus bersatu guna menyatukan pandangan seperti yang disebutkan oleh salah seorang diplomasi Eropa.
Sejak Afghanistan dikuasai Taliban pada Agustus 2021, para pemerintah asing berbondong-bondong melakukan eksodus dari negara tersebut. Berita ini sempat viral dan menyebabkan orang seluruh dunia panik. Diketahui sebelum Taliban mengambil alih neara tersebut, pasukan Amerika Serikat telah mundur bahkan presiden Ashraf Ghani sebagai pemerintah yang sah melarikan diri.
G-7 sendiri terdiri dari beberapa pemimpin negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, Prancis, Italia, Kanada, Jepan dan Jerman. Mereka masih dalam proses membuat kesepakatan apakah akan memberi pengakuan atau memberi sanksi baru. Namun, mereka sepakat mendorong negara tesebut untuk berjanji menjaga hubungan internasional dan menghormati Hak Asasi Manusia, khususnya hak-hak perempuan.
Keputusan yang akan dibuat oleh beberapa negara berdaulat tersebut sangat menentukan, termasuk kemungkinan Taliban memperoleh bantuan dari negara lain. Mengingat sebelumnya, pemerintah Afghanistan mengandalkan bantuan semacam itu. Ketika Dolald Trump masih membawahi AS pada 2020, ia menandatangani perjanjian bahwa Amerika Serikat tidak akan menakui Taliban sebagai negara atau pemerintahan.
AS Karen Pierce yang merupakan Duta Besar Inggris mengungkap bahwa pembicaraan tersebut melibatkan Sekjend NATO dan Sekjend PBB. Menurut Boris Johnson, Perdana Menteri Inggris, pembicaraan G-7 tersebut lebih menitikberatkan pada pendekatan terpadu.
Harapannya, akan ada planning yang jelas sehingga dapat mengatasi rezim Afghanistan baru secara lebih baik. Penilaian mereka akan diwujudkan dalam bentuk tindakan. Namun, mereka menuntut pemerintahan baru memiliki kebijakan yang inklusif dan berkomitmen atas HAM.
Diketahui hingga akhir bulan Agustus, negara-negara asing masih mengevakuasi warga negaranya serta penduduk asli yang membantu pasukan AS dan NATO. Termasuk masyarakat-masyarakat lain yang berisiko. Selain itu, pemimpin G-7 juga berupaya meningkatkan keamanan, membangun pemukiman untuk pengungsi hingga bantuan kemanusiaan.
Pihaknya juga tidak ingin Afghanistan menjadi sarang faham terorisme yang bisa menghancurkan dunia. Mengingat tidak sedikit kawasan dan negara-negara yang menjadi sasaran teroris.
Misi lain dari G-7 adalah meningkatkan bantuan dana untuk donasi kemanusiaan. Dengan harapan, kesulitan-kesulitan yang dihadapi di kawasan tersebut akan membaik dalam beberapa pekan selanjutnya.
Kepada wartawan, Biden menyampaikan bahwa AS telah melakukan konsolidasi dengan Taliban. Hasilnya, Taliban bersedia untuk memfasilitasi proses evakuasi. Namun, ternyata pihak Taliban meminta legitimasi yang artinya mereka membutuhkan bantuan untuk proses ekonomi, perdangan dan sebagainya. Namun, bantuan tersebut masih dievaluasi secara internasional, tergantung bagaimana tindakan Taliban itu sendiri.
Pandangan Biden Mengenai Desakan Sanksi atas Taliban
Setelah Inggris mendesak negara sekutu menjatuhi sanksi terhadap Taliban pada pertemuan forum G-7, Joe Bidan, Presiden AS berusaha mendukung, namun dengan melihat terlebih dahulu bagaimana langkah Taliban berikutnya.
Namun, Inggris berpandangan bahwa Taliban harus mendapat sanksi berat dan tidak mendapat bantuan dari negara manapun. Sanksi berat tersebut dikhususkan jika Taliban melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat. Ini merupakan pernyataan yang disampaikan oleh salah satu pejabat.
Sebelumnya, presiden AS mengaku Taliban tidak akan melawan pasukan Amerika Serikat di Bandara Kabul. Para warga Amerika juga akan diberi jalan hingga kawasan bandara dengan selamat. Karena itulah, Biden menjawab desakan Inggris dengan “iya” namun masih tergantung sikap Taliban dahulu.
Misi untuk mengevakuasi orang-orang di Afghanistan dilancarkan dengan perintah terhadap militer AS guna membantu.
AS Berhasil Menarik Total Pasukan dari Afghanistan
Setelah AS berhasil menarik semua pasukannya dari Afghanistan, Washington akhirnya mengancam saksi terhadap penguasa baru Taliban. Namun, sebagaimana yang dikatakan oleh Biden, Jen Psaki yang merupakan Juru Bicara Gedung Putih menyatakan bahwa penerapan sanksi kepada Taliban tergantung dari bagaimana perilaku kelompok tersebut selanjutnya. Ibaratnya, saat ini dunia hanya perlu menonton terlebih dahulu untuk melihat apa yang akan mereka lakukan.
Penilaian tersebut akan berlangsung selama beberapa pekan. Tetapi, akan ada pengaruh ekonomi yang cukup signifikan beserta sanksi yang sudah ditetapkan secara global. Taliban saat ini sedang menghadapi tantangan besar berupa krisis uang tunai di negaranya. Mereka juga akan kekurangan akses milyaran dollar dari IMF (Dana Moneter Internasional). Mengingat dana tersebut mayoritas dibawah kendali Amerika Serikat serta lembaga internasional.
Permasalahannya adalah Taliban tidak mempunyai struktur secara institusi untuk menerima dana tersebut. Dengan demikian, ketika akan mengatur perekonomian mereka kemungkinan akan menghadapi tantangan. Dampaknya adalah krisis ekonomi yang dapat merambah kepada krisis kemanusiaan kepada puluhan juta warna Afghanistan yang saat ini tinggal di sana.
Kondisi Taliban Terkini
Beralihnya kekuasaan Afghanistan ke tangan Taliban menyebabkan banyak rakyat menderita. Bahkan, baru-baru ini berita internasional merilis banyaknya pengungsi dari kawasan tersebut. Setidaknya ada sekitar 634.000 jiwa yang mengungusi akibat konflik yang terjadi di Afghanistan.
Sebagian dari mereka telah menerima bantuan sosial. Kabar terbaru Taliban saat ini adalah menerima sejumlah uang yang didapatkan dari eks pejabat di kawasan tersebut. Di antaranya adalah uang sejumlah 175,4 milyar yang didapat dari rumah mantan Wakil Presiden Afghanistan, Amrullah Saleh. Lantaran mulai terjadi krisis keuangan, rakyat setempat diminta untuk menggunakan jenis mata uang lokal Afghanistan.
Adapun tentang bagaimana kebijakan G-7 terkait sanksi atau pengakuan, hingga hari ini masih belum muncul kabar tentang hal tersebut. Hanya saja, mayoritas pimpinan G-7 mendorong negara-negara kuat untuk memberikan sanksi kepada pemerintahan baru di negara tersebut. Dengan harapan tidak akan ada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya hak-hak perempuan dan anak.