Oleh M. Dudi Hari Saputra, MA.
Pengurus Kahmi Samarinda
Jujur, saya termasuk orang yang menolak anggapan bahwa Islam ini terkotak-kotak kedalam aliran atau kebangsaan tertentu (misal: Islam-Lebanon, Islam-Iran, Islam-Arab atau Islam-Indonesia, dsb.).
Karena prinsip Islam sendiri yang universal, dan tidak terbatasi oleh konsep negara (ala Westphalia), sehingga terminologi agama Impor-Ekspor menjadi fallacy karena nya.
Tapi, secara filosofis memang ketika sebuah prinsip atau nilai universal, diaplikasikan pada tataran metodologi atau aplikasi, akan terjadi partikularisasi, baik itu karena pengaruh epistemologi, maupun budaya.
Sehingga menolak Islam yang terfragmentasi itu sulit, karena ibaratnya seperti: seorang guru menyampaikan sebuah pelajaran ke 50 muridnya, tentu sang murid tak semuanya sama dalam memahami pelajaran guru, karena ada pra-kondisi dan epistemologi murid yang membentuk penilaian nya sendiri terhadap konsep (tashawur) yang dia terima dari guru.
Maka, ada 2 poin yang ingin saya sampaikan:
1. Bahwa Islam dengan sendirinya, pasti mengalami percabangan, tapi bukan berarti tidak ada tiitk temu, sekedar meminjam terminologi Kuntowijoyo: jika di Barat, Sosialisme dan Liberalisme pun memiliki banyak aliran, begitu halnya dengan Islam sebagai sebuah paradigma maupun ideologi.
2. Walau Islam itu sendiri terfragmentasi, tapi penggunaan istilah/terminologi agama ekspor-impor itu tidak tepat, karena kita mendapati realitas bahwa nilai-nilai yang ada sudah bercampur baur dan membentuk karakteristik tersendiri: sehingga dalil bahwa ini agama atau paham impor, tertolak dengan sendirinya, pernyataan ini tidak benar (menurut saya pribadi), karena pengetahuan dan nilai itu bersifat immaterial, yang tidak mengenal sekat atau batas negara.
Adapun tambahan bagi saya:
Sebenarnya, saya lebih nyaman dengan penyebutan akan adanya diskursus Islam-Keindonesiaan, tapi ia sendiri terbuka, inklusif, rahmatan lil alamin (Universal), dan menerima perbedaan (karena secara epistemologis, sulit menolak fragmentasi, tapi bukan berarti nilai-nilai universal tidak bisa dipegang).
Daripada, mengklaim Islam sebenarnya (sehingga Islam atau kredo diluar pemahamannya pasti salah), sehingga menjadi sempit (eksklusif), tertutup, dan sulit menerima perbedaan.
Jadi yang diperjuangkan adalah pengetahuan dan nilai-nilai universal itu sendiri, walau pasti tersekat kedalam bentuk-bentuk atau identitas partikularnya, daripada memiliki pengetahuan dan nilai-nilai sempit, tapi memaksa bentuk atau identitas partikularnya menjadi universal.