Kamis, Maret 28, 2024

Relasi Dinamik Islam dan Adat

Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah
Advokat dan Peneliti Hukum I Tertarik menggunakan pendekatan multidisplin & interdisplin (Socio-Legal) untuk telaah hukum.

Relasi antara adat (tradisi) dan Islam pada masyarakat Melayu-Indonesia, khususnya Minangkabau adalah dinamik. Awalnya, pemahaman tentang relasi dua sistem norma tersebut dijelaskan dalam konsep reception in comflexu. Konsep ini menjelaskan bahwa norma-norma adat adalah penyaringan dari prinsip dan norma-norma syariah, sehingga norma-norma adat adalah resepsi dari norma-norma Islam.

Dalam perkembangannya, konsep tersebut dikritik berbagai sarjana yang menghadirkan tesis baru, yaitu bahwa perkembangan Islam di dunia Melayu melahirkan dinamika baru Islam. Dinamika baru lahir dari konflik dan akomodasi antarnilai antara budaya Islam dengan tradisi (adat) yang menciptakan varian Islam baru atau dikenal dengan “Islam Lokal” (Fathurrahman, 2008).

Islam lokal adalah hasil sumbangsih masyarakat setempat dalam memperkaya mozaik budaya Islam dan bentuk kreatif dari suatu masyarakat untuk memahami dan menerjemahkan Islam sesuai dengan budaya dan tradisi.

Corak Islam 

Pembentukan corak Islam lokal terkait dengan sejarah penyebaran Islam di dunia Melayu-Indonesia yang utamanya melibatkan tokoh-takoh sufi dibandingkan fiqh, (Lukito, 2008). Azra (2013) menjelaskan faktor sufisme memperkuat penyebaran Islam di dunia Melayu karena kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam kemasan aktraktif, khususnya penyesuaian islam dengan kontuinitas, ketimbang perubahan kepercayaan dan praktik keagamaan lokal.

Akibatnya, pandangan dunia sufi menjadi sarana utama memperkenalkan konsep keyakinan Islam kepada penduduk asli. Dengan kecenderungan kuat mistisme dalam gagasan sufi mengenai agama, pendekatan yang longgar terhadap sistem keyakinan dan tradisi lokal (adat) tersebar sehingga wajar jika aktualisasi keberagamaan masyarakat Melayu-Indonesia lebih merujuk pada tradisi Islam lokal yang melahirkan keterjalinan adat dengan Islam yang universal.

Jalinan adat dan Islam di kalangan masyarakat Minangkabau sendiri telah dimulai sejak orang Minangkabau menerima Islam sebagai agamanya, yakni sejak berdirinya kerajaan Pagaruyung pada abad XVI yang memunculkan sistem tiga raja, yaitu Raja Alam (raja dunia), Raja Adat (raja hukum adat), dan Raja Ibadat atau raja agama islam (Ricklefs, 2008).

Jalinan Islam dengan adat ini berjalan bertahap, seiring dengan penyebaran Islam di Minangkabau, yaitu dari wilayah pesisir (rantau) ke daerah pedalaman (darek) yang dalam pepatah Minangkabau disebut sebagai “Syara’ Mandaki, Adat Manurun.”

Corak tersebut terlihat dalam proses islamisasi yang banyak ditopang oleh gerakan tarekat (tasawuf). Salah satu tarekat penting dalam islamisasi masyarakat Minangkabau adalah tarekat Syattariah.

Awalnya, tarekat Syattariah berakar sinkretis sesuai dengan asal mulanya kemunculan tarekat ini, yaitu dari India, sehingga konsep-konsep tasawuf Syattariah memiliki persamaan dengan konsep-konsep dan ritual Hindu.

Dalam perkembangannya di Melayu-Indonesia, konsep itu mengalami pembaruan oleh Abdurrauf sebagai tokoh sentral penyebaran tarekat Syattariah, yaitu dengan melepaskan citra tarekat ini yang terlalu sinkretis dan mengidentikkan tarekatnya kepada Al Qushahshi (tarekat Qushashiyyah). Tarekat Qushashiyyah sendiri adalah nama lain dari tarekat Syattariah yang diperbaharui dengan melepaskan tarekatnya dari citra awal yang sinkretis, (Azzra, 1994).

Dengan konteks tersebut, maka sifat dan corak tarekat Syattariah yang berkembang di dunia Melayu-Indonesia pada abad 17-18 M adalah kecenderungannya untuk melakukan rekonsiliasi antara tradisi tasawuf dengan tradisi syariat.

Ajaran Abdurrauf tersebut kemudian diikuti oleh ulama-ulama sufi Minangkabau, dibawa oleh Tuanku Burhanuddin Ulakan yang menjadi murshid bagi ulama-ulama sufi Minangkabau. Rekonsiliasi antara tradisi tasawuf dengan fiqh ini sendiri merupakan bentuk dari tanggapan konflik antara ulama sufi (ahl-haqiqah) dengan para ulama fiqh (ahl al-shari’ah), (Fathurrahman, 2008).

Rekonsiliasi Pasca Padri

Gerakan Padri pada abad ke-19 M adalah fenomena sosial penting masyarakat Minangkabau tentang bagaimana merespons konflik dan mengakomodasi sisi lainnya pada nilai Islam. Gerakan ini sendiri terinspirasi dari penaklukan Mekah (awal 1803) oleh kaum pembaharu pemurniaan Islam Wahabi yang menggunakan metode kekerasan (Ricklefs, 2008). Konflik ini menggambarkan pergolakan sosial dan intelektual akibat cara pandang generasi pembaharu terhadap agama, “penghakiman” pada tradisi, dan cara pandang kelompok mayoritas tradisional (Schrieke, 1973).

Kritik utama kelompok Padri adalah pada praktik perjudian, sabung ayam, aspek-aspek adat yang berdasarkan garis ibu (matrileneal), penggunaan candu, minuman keras, tembakau dan buah pinang, serta lemahnya ketaatan, umumnya terhadap kewajiban-kewajiban Islam formal. Namun, mereka tidak sepenuhnya mengikuti pemurnian gerakan Wahabi terkait pemujaan terhadap orang-orang suci atau tempat-tempat keramat (Rickles, 2008).

Akhir dari konflik Padri melahirkan akomodasi antara adat dengan Islam di masyarakat Minangkabau. Pada konteks ini, Padri meninggalkan bekas mendalam dan abadi kepada masyarakat Minangkabau di dalam perimbangan yang berubah-ubah antara adat dan Islam dengan tetap memperhatikan ortodoksi Islam (Ricklefs, 2008).

Konsensus antara adat dan Islam pascakonflik Padri dituangkan dalam perjanjian “Bukit Marapalam” yang fenomenal itu dan termanifestasi dalam adigium “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”.

Masyarakat Minangkabau meyakini bahwa di dalam sistem sosial mereka, Islam dan adat telah terjalin dengan baik. Prinsip ini kemudian diturunkan dalam pepatah “Syara’ mangato, Adat Mamakai” yang bermakna bahwa segala bentuk ajaran agama, khususnya yang bersumber dari Alquran dan hadis nabi, diterapkan melalui adat.

Atau pepatah lain “Syara’ batalanjang, Adat basisampiang” yang bermakna bahwa apa yang dikatakan agama adalah tegas dan terang, tetapi setelah diterapkan dalam adat, dibuatlah peraturan pelaksananya yang sebaik-baiknya; atau pepatah lain “Adat yang kawi, syarak yang lazim” yang bermakna bahwa adat tidak akan tegak jika tidak diteguhkan oleh agama, sedangkan agama sendiri tidak akan berjalan jika tidak dilazimkan (diterapkan) melalui adat (Fathurrahman, 2008).

Wacana adat dan Islam umumnya mencakup konsistensi menjaga sistem kekeluargaan adat yang bersifat matrilineal, yang kontras dengan sistem kekerabatan Islam yang patrilineal. Masyarakat Minangkabau memperlihatkan keteguhan menganut Islam dan di sisi lain tetap mempertahankan sistem kekerabatan adat ini. Oleh Taufik Abdullah disebut dengan “Tradisi Integrasi” dalam proses islamisasi di dunia Melayu, khususnya Minangkabau.

Ketegangan relasi adat dengan Islam tidak berarti memudar pasca-Padri. Ketegangan terjadi terutama pada awal abad ke-XX yang lebih pada pertentangan intelektual antara kelompok pembaharu (kaum muda) dengan kelompok tradisionalis (kaum tua).

Namun, pada umumnya, kecenderungan tradisi keberagamaan dan pemikiran Islam pada masa-masa selanjutnya sampai sekarang adalah saling mendekatkan tradisi tasawuf dengan tradisi syariah (fiqh) yang memperkuat kecenderungan “neosufisme,” (Fazlur Rahman, 1997), yaitu ulama-ulama ahli syariat sekaligus hakikat yang mengontrol sufisme berlebihan (Fathurrahman, 2008).

Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah
Advokat dan Peneliti Hukum I Tertarik menggunakan pendekatan multidisplin & interdisplin (Socio-Legal) untuk telaah hukum.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.