Sabtu, April 27, 2024

Rekonstruksi DPD untuk Kelembagaan Legislatif Lebih Baik

Gratio Ignatius Sani Beribe
Gratio Ignatius Sani Beribe
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang.

Perubahan UUD 1945 pada tahun 1999-2002 menyebabkan sistem pemerintahan Indonesia pada bagian legislatif bergeser dari model unikameral menjadi bikameral dengan dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Perubahan ini awalnya berada pada Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang semula berbunyi MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah dan golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Kini berubah menjadi MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD dipilih melalui Pemilu dan diatur dengan undang-undang.

Dengan sama-sama dipilih oleh rakyat, menunjukan sumber legitimasi kedua lembaga DPR dan DPD adalah setara, tetapi yang membedakan adalah para anggota DPR juga merupakan wakil dari partai politik sedangkan anggota DPD lepas dari partai politik dan murni menjadi wakil dari daerahnya masing-masing. Kedua lembaga (DPR dan DPD) tentunya menjalin hubungan untuk melaksanakan tugas mereka sebagai pemegang kekuasaan legislatif dan patut untuk kita tilik lagi lebih jauh.

Hubungan antara DPR dengan DPD dalam bidang legislasi sudah tercantum di dalam Undang–Undang Dasar 1945 pasal 22D yang menyatakan bahwa DPD memiliki kewenangan sebagai berikut:

  1. DPD dapat mengajukan kepada DPR Rancangan Undang–Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah
  2. DPD ikut membahas Rancangan Undang–Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang – Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang – Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama
  3. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang – undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti

Pasal–pasal di atas menjelaskan bahwa DPD dan DPR saling berhubungan dan berkaitan keduanya. Ketika DPD “dapat” mengajukan RUU kepada DPR dan ikut membahas selama proses pembentukan, sudah berarti disana DPD memanfaatkan fungsinya sebagai alat untuk mewakili kepentingan dari daerahnya agar menjadi lebih baik dan hal itu tentu perlu diperhatikan bahwa kepentingan yang diusung tersebut harus benar–benar membawa dampak yang positif bagi daerah yang diwakili.

Namun, kata “ikut membahas” yang tertera pada kewenangan DPD di atas mempunyai arti lain yaitu hanya menjadikan DPD sebagai bahan pelengkap ketika perumusan saja, karena selebihnya kewenangan final RUU dilimpahkan kepada DPR. Bahkan menurut kajian yang dilakukan oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyatakan bahwa DPD sekedar menjadi staf ahlinya DPR.

Perubahan yang telah dilakukan oleh MPR sebagai jalan untuk terciptanya suatu sistem ketatanegaraan yang lebih baik khususnya pada kekuasaan yang telah mengalami pergeseran. Dengan perubahan tersebut maka tidak ada lagi MPR yang mengutuskan anggotanya.

Keberadaan DPD dalam sistem parlemen Indonesia dalam rangka untuk menciptakan checks and balances, mekanisme ini juga dianut dalam negara demokrasi guna menghindarkan dan mencegah kesewenang-wenangan dari salah satu lembaga negara. Namun yang terjadi malahan hubungan DPD dengan DPR bersifat asimetris dan tidak mencerminkan prinsip check and balances system, hal ini disebabkan oleh dominasi dan monopoli kekuasaan DPR dalam bidang legislasi maupun di bidang pengawasan.

Hal-hal di atas menunjukan bahwa hubungan antara DPR dan DPD adalah hubungan yang tak setara dan tidak dapat menciptakan sebuah sistem check and balances antar lembaga legislatif demi terwujudnya keseimbangan kekuasaan dan menghindari kesewenang-wenangan dalam pembuatan kebijakan.

Terlihat dalam kenyataan pelaksanaannya, DPD hanya menjadi lembaga tempelan DPR saja dalam proses pembuatan undang-undang, pengawasan, serta anggaran. DPD menjadi lembaga yang begitu termarjinalkan karena hanya mempunyai peran seperti mengajukan, memberikan saran, memberikan pertimbangan tanpa mempunyai peran untuk turuk memutuskan suatu kebijakan.

Untuk mengoptimalisasi peran dan fungsi DPD dalam sistem kenegaraan yang mendukung demokrasi, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan (Ade Khosasi, 2016). Yang pertama, DPD sebaiknya memiliki kewenangan penuh dalam bidang legislasi dengan mempunyai hak dan wewenang untuk menginisiasi, membahas, sekaligus memutuskan.

Namun, dengan mempertimbangkan dasar representasi DPD yang merupakan perwakilan daerah, maka semua kewenangan di atas dilakukan dalam cakupan urusan kedaerahan. Atau bisa juga dengan memberikan DPD hak veto untuk bisa menolak segala kebijakan yang dikeluarkan oleh DPR yang menyangkut urusan daerah. Hal ini dilakukan untuk memberikan keseimbangan terhadap wewenang DPR dan mengoptimalisasi kepentingan daerah diluar dari kepentingan partai politik.

Selanjutnya, DPD juga sebaiknya mempunyai peran lebih dalam fungsi pengawasan dengan mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat sama halnya dengan DPR. Tetapi tetap pada kebijakan yang menyangkut urusan daerah.

Dengan begini, proses check and balances juga terjadi bukan hanya antara Pemerintah dengan DPR, melainkan juga antara Pemerintah dan DPD. Hal ini akhirnya memperkuat posisi lembaga legislatif juga dalam melakukan fungsi pengawasannya. Upaya ini juga harus selaras dengan mengubah komposisi keanggotaan MPR dalam konstitusi untuk tidak lagi berbunyi terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, tapi MPR terdiri dari DPR dan DPD (Sulardi, 2012), dikarenakan jika hanya mengacu pada keanggotaan maka DPD akan sangat lemah posisinya secara politik.

Selain dua langkah di atas, DPD juga memerlukan formulasi yang dapat menyediakan sarana untuk memperkuat hubungannya dengan pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat daerah yang merupakan konstituennya. Hal ini dilakukan agar DPD lebih produktif dalam menyampaikan aspirasi dan memperkuat relevansi sikapnya dalam penentuan kebijakan sehingga benar-benar mewakili apa yang dibutuhkan konstituennya

Jika hal-hal ini dapat dilakukan maka DPD akan semakin setara dengan DPR karena mempunyai wewenang serta hak yang sama dan hanya dibedakan dengan dimensi kewenangannya di mana DPD lebih mempunyai ruang pada perumusan kebijakan yang berkaitan dengan urusan daerah.

Dengan begitu maka akan terjadi penguatan terhadap sistem check and balances antar lembaga negara di mana DPR akan diseimbangkan dengan DPD dan Pemerintah akan diawasi oleh dua lembaga negara yaitu DPR dan DPD. Akhirnya dengan ini, hubungan antar lembaga negara bisa kokoh dan setiap keputusan kebijakan dan pelaksanaannya benar-benar untuk mengusahakan terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat.

Gratio Ignatius Sani Beribe
Gratio Ignatius Sani Beribe
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.