Isu-isu benturan antara agama dan budaya di Nusantara ini harusnya adalah kisah usang, namun ekspresi beragama mengancam ekspresi berbudaya masih saja terjadi di republik yang telah berdiri 73 tahun ini.
Kisah paling mutakhir adalah peristiwa penolakan, bahkan perusakan, terhadap ritual sedekah laut di Bantul dan Festival Gandrung Sewu di Banyuwangi, beberapa waktu lalu, hanyalah dua contoh bagaimana gesekan itu terjadi.
Tentu ini dapat menjadi gerbang petaka, sekedar memanggil ingatan konflik budaya dan agama dapat menjadi mata air bencana yang tidak bertepi, Kosovo dan Serbia dapatlah menjadi cermin.
Konflik panjang dan pelik mewarnai hubungan antara keduanya. Secara demografi, selain penduduk etnis Serbia, Kosovo juga dihuni oleh kelompok masyarakat etnis Albania. Keduanya dipisahkan oleh perbedaan agama yang dianut. Kelompok masyarakat etnis Albania mayoritas beragama Islam sejak pengaruh kekhalifahan Utsmaniyah Turki, sedangkan etnis Serbia memeluk Kristen Ortodoks Timur. Sebuah kisah pait yang terhampar hingga kini.
Oleh sebab itu gesekan yang terjadi di Bantul dan Banyuwangi, seketika menjadi perhatian bagi pemerintah. Tepat awal bulan Nopember 2018 ini ,bibit petaka tersebut coba disikapi oleh Kementrian Agama dengan memfasilitasi berlangsungnya Sarasehan Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya yang menghasilkan “Permufakatan Yogyakarta Agamawan dan Budayawan”. Permufakatan ini dirumuskan sebagai respon sejumlah tokoh agama dan budaya yang merasa gelisah memperhatikan fenomena hubungan agama dan budaya di Indonesia.
Berbincang mengenai dua kutub agama dan budaya di negeri yang majemuk seperti Indonesia adalah tema uzur, sebab sejarah peradaban di Nusantara ini telah memperlihatkan agama dan budaya telah bersanding dengan damai. Bahkan para pendiri bangsa dengan penuh keyakinan mendirikan negara berdasar keberagaman masyarakat dan budayanya, tecermin di dalam Pancasila. Semua dengan satu tujuan, yaitu mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Namun mengapa fakta miris dan kisah benturan budaya serta agama masih terjadi? Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin punya analisa yang menarik. Dia mengatakan, masih ada ketegangan antara budaya dan agama. Hal itu disebabkan, budaya yang berkembang bisa jadi justru bertolak belakang dengan agama yang ada.
Budaya sebagai produk hasil rasa karya cita manusia yang boleh jadi tidak berdasarkan agama. Sekarang tugas agamawan dan umat beragama bagaimana budaya itu tidak keluar dari nilai-nilai agama dan sekaligus keagamaan itu tidak keluar dari nuansa kebudayaan. Rekonsiliasi ini yang harus kita lakukan. Indonesia memiliki Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika untuk menghadapi kemajemukan yang ada. Namun, pemahaman terhadap dua simbol negara itu masih minim di mata masyarakat.
Guru Besar Filologi UIN Jakarta, Prof. Oman Fathurahman punya diagnosa mengenai hal tersebut. bahwa salah satu penyebab melapuknya tali relasi agama dan budaya saat ini adalah karena “komposisi” asupan materi pendidikan agama yang belum proporsional.
Pendapat Guru Besar yang juga merupakan staff ahli Kementrian Agama tersebut bersandar pada Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, akhir 2017, merilis bahwa hanya 31,36 persen materi akhlak/moral yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah, sementara 63,47 persen materi keimanan, ketakwaan, dan ibadah. Artinya, porsi materi keagamaan untuk membentuk kesalehan sosial memang jauh di bawah materi untuk membentuk kesalehan individual.
Dari sini begitu gamblang, bahwa pendidikan agama lebih berat dipahami dan diorientasikan untuk membentuk kesalehan diri belaka, sehingga masih terbentuk karakter intoleran dan konservatif adalah keniscayaan.
Memang dalam konteks Indonesia, agama dan budaya memang tidak dapat dipisah-pisahkan apalagi dibentur-benturkan. Namun, mempertemukan agama dan budaya dalam konteks Indonesia, bukan berarti kita harus mengorbankan prinsip-prinsip dasar akidah dalam setiap agama atas nama budaya.
Demikian pula sebaliknya, mendamaikan budaya dengan agama tidak lantas berarti harus mengungkung kreatifitas dan ekspresi kebudayaan yang kita miliki.
Kita masih menyimpan potret hitam tentang konflik berdarah-darah di Ambon, Poso, Kalimantan, atau yang bersifat vertikal seperti di Aceh. Merajut kemajemukan adalah jalan agar kisah pahit tersebut tidak akan terjadi lagi.
Meski pada dasarnya seluruh agama dapat menerima beragam kemajemukan sebagai suatu keniscayaan namun persoalan yang dihadapi saat ini adalah ancaman multikulturalisme atau kemajemukan itu sendiri.
Sebagai penutup ungkapan dari KH. Abdurahman Wahid dapatlah kita ingat kembali, “Sebuah bangsa yang mampu bertenggang rasa terhadap perbedaaan-perbedaaan budaya, agama, dan ideologi adalah bangsa yang besar”. Semoga kita bisa meresapi kembali sehingga semboyan yang mencengkram dalam kaki kuat Burung Garuda bukanlah wacana lagi.