Jumat, April 19, 2024

Reformasi Tata Kelola Keuangan Parpol

Grady Nagara
Grady Nagara
Peneliti Next Policy

           

Wacana kenaikan bantuan keuangan negara untuk parpol menjadi sebesar Rp 1000 per suara sah melalui revisi PP No.5 Tahun 2009 perlu mendapatkan perhatian serius. Selama ini, subsidi negara yang terhitung sebesar Rp 108 per suara sah kenyataannya jauh dari cukup untuk memenuhi biaya parpol yang besar. Minimnya subsidi ini diikuti dengan lemahnya aspek pendanaan lain seperti iuran anggota dan sumbangan pihak ketiga yang sah secara hukum. Oleh karena itu, dengan revisi PP tersebut diharapkan dapat meningkatkan posisi tawar pemerintah untuk melancarkan agenda yang lebih utama, yaitu reformasi tata kelola keuangan parpol.

Persoalan klasik yang paling mengemuka adalah lemahnya transparansi dan akuntabilitas keuangan parpol. Sebut saja lembaga negara seperti KPU dan MA yang sekitar 10 tahun lalu memiliki wewenang meminta laporan keuangan tahunan parpol, namun hasilnya minim. Hanya sedikit parpol yang mengirimkan laporan keuangan tahunannya. Apalagi pasca terbitnya UU No.2 tahun 2008, tidak ada lagi lembaga negara yang secara khusus berwenang untuk meminta laporan keuangan. Alhasil, justru banyak pendanaan parpol dilakukan secara informal yang tidak jarang berujung pada praktik ilegal (korupsi).

Dengan meningkatnya subsidi negara, pemerintah nantinya memiliki posisi tawar yang besar, dan ini harus dimanfaatkan untuk memperbaiki persoalan keuangan yang ada. Misalnya rekomendasi KPK, kenaikan dana subsidi bagi parpol harus diikuti dengan perbaikan akuntabilitas tata kelola keuangan dan kelembagaan parpol secara umum. Dalam situasi demikian, parpol mau tidak mau harus mengelolanya secara profesional yang didorong oleh regulasi dari pemerintah. Perbaikan regulasi inilah yang harus dilakukan pemerintah dengan posisi tawar yang dimilikinya.

Perlunya UU Keuangan Parpol

Hanya mendorong regulasi melalui revisi PP 5/2009 tidaklah cukup. Sebab, ada dua sumber pendanaan lain yang harus mendapatkan perhatian serius; yaitu sumbangan pihak ketiga dan iuran anggota. Pertama, sumbangan pihak ketiga adalah sumber masalah transparansi yang paling utama, bahkan hampir di semua negara. Sering kali sumbangan pihak ketiga tidak terlaporkan karena banyak aliran dana lewat koneksi pribadi para elit parpol. Artinya, dana sumbangan kebanyakan tidak dapat dipertanggungjawabkan dan berpotensi korup. Kedua, iuran anggota yang selama ini hampir tidak pernah dijalankan oleh parpol. Aspek kedua ini juga harus diperhatikan pemerintah karena ikatan ideologis anggota di level akar rumput dengan parpol dapat lebih kuat dengan adanya iuran rutin. Dengan kata lain, setiap anggota akan merasa memiliki parpol karena mereka sama-sama berkontribusi melalui iuran.

Aspek lain dari keuangan yang selama ini tidak diatur dalam UU parpol adalah sisi belanja. Misalnya, jika selama ini yang dibatasi adalah besaran sumbangan pihak ketiga, sisi besaran belanja juga harusnya dibatasi. Tujuan pengaturan belanja bukan untuk mengurangi independensi parpol, melainkan agar menciptakan kesetaraan dalam persaingan antar parpol. Sebab, jika aspek belanja tidak diatur, hanya parpol besar saja yang mampu bersaing. Oleh karena itu, sisi pendanaan dan belanja dalam keuangan parpol harus diatur agar tidak ada dominasi elit maupun parpol tertentu dalam arena politik Indonesia. Tentu saja, hal ini tidak cukup hanya dengan revisi PP 5/2009, melainkan lebih dari itu perlu ada UU yang secara khusus mengatur tata kelola keuangan parpol.

Grady Nagara
Grady Nagara
Peneliti Next Policy
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.