Sabtu, April 27, 2024

Reformasi Kewenangan Legislasi DPD

Dea Tri Afrida
Dea Tri Afrida
Mahasiswa Program Studi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai anak kandung reformasi telah berusia 16 tahun. Lembaga negara buah amandemen ketiga UUD 1945 mengalami banyak goncangan. Isu pembubaran DPD sempat mencuat ke permukaan, sebab eksistensinya yang antara ada dan tiada. Sejatinya, DPD sebagai lembaga negara yang dibentuk dengan semangat demokrasi untuk lebih mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan rakyat di daerah dalam kebijakan nasional memiliki legitimasi yang kuat sebab dipilih langsung oleh rakyat.

Namun sayangnya, kondisi ini berbanding terbalik dengan kewenangannya yang amat terbatas. Kedudukan DPD sebagai penyeimbang DPR guna memperkuat mekanisme check and balances di cabang legislatif realitanya hanya sekedar pelengkap penderita bagi DPR, kewenangannya tidak memberikan implikasi politik apapun.

Marwah DPD terhempas tanpa arah, sehingga dibutuhkan model penataan kewenangan dalam fungsi legislasi yang ideal bagi DPD agar tidak menjadi suatu lembaga yang “datang  tidak menambah, pergi tidak mengurangi”  Penguatan kewenangan DPD dalam fungsi legislasi diharapkan mampu membuat DPR bekerja secara optimal untuk memperjuangkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat di daerah.

Pelemahan Kewenangan DPD

Kendala yuridis baik melalui  UUD 1945 maupun UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) merupakan akar masalah yang menyebabkan DPD tidak optimal dan efektif kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 D UUD 1945 dan UU MD3, maka kewenangan DPD terbatas hanya untuk mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, serta melakukan pengawasan atas pelaksanan UU tesebut di atas.

Dari keseluruhan wewenang di atas terlihat bahwa porsi kewenangan DPD hanya berkisar pada tahap pembahasan dengan DPR, DPD tidak berwenang untuk menyetujui atau menolak RUU yang berkaitan dengan daerah. Parahnya lagi, di dalam ketentuan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ( UU MD3) dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ( UU PPP) keterlibatan DPD dibatasi hanya sampai pembahasan tingkat I. Kewenangan DPD yang berbanding terbalik dengan legitimasinya yang kuat, setidak-tidaknya akan mengakibatkan tiga hal sebagai berikut:

  • DPD akan kehilangan status dan kondisinya sebagai lembaga representasi daerah (territoriale repsentation)
  • Aspirasi masyarakat daerah berpotensi terabaikan sebab daerah kehilangan sarana optimal untuk menyalurkan aspirasi dan melindungi kebutuhan dan kepentingan daerahnya dalam kebijakan nasional
  • Tidak terdapatnya mekanisme check and balances yang dikehendaki dari pembentukan sistem perwakilan bikameral, karena DPD hanya diberikan kewenangan yang terbatas sebagai jelmaan dari fungsi legislasi yang lemah;

Miskinnya kewenangan DPD dalam fungsi legislasi yang ditegaskan dalam Pasal 22 D UUD 1945 kemudian  direduksi oleh UU MD3 dan UU PPP berpotensi mengabaikan aspirasi masyarakat daerah, sebab usulan dan masukan DPD terkait RUU yang berkaitan dengan daerah belum tentu ditindaklanjuti oleh pemerintah dan DPR. Hal ini terbukti dengan minimnya  jumlah RUU usulan DPD yang kemudian disahkan oleh DPR menjadi undang-undang. Sejak Oktober 2004 hingga Oktober 2014, DPD telah mengajukan 57 RUU, namun hanya RUU kelautan sebagai usul inisiatif DPD yang akhirnya menjadi undang-undang.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-X/2012 yang kemudian diperkuat dengan Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014 memang telah mengembalikan penguatan fungsi legislasi DPD dalam tiga aspek, yaitu: pertama, kewenangan DPD dalam mengusulkan RUU yang berkaitan dengan daerah; kedua, kewenangan DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan daerah; dan ketiga, keterlibatan DPD dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Namun, hal ini tidak memberi dampak yang berarti.

Berkaca pada UU Minerba yang baru ini disahkan dan saat ini sedang diujikan ke MK. Dalam proses pembahasannya, DPR mengabaikan partisipasi DPD terbukti dengan tidak adanya Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang berasal dari DPD. Muatan pasal demi pasalnya menciderai semangat otonomi daerah, jelas bertentangan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat daerah, namun DPD tidak berdaya untuk menolak UU tersebut. Bukti ini diperkuat dengan minimnya RUU usulan DPD periode 2019-2024 dalam prolegnas, dari 56 RUU yang diajukan DPD hanya satu RUU yang masuk ke dalam prolegnas 2020.

Hal ini menunjukkan bahwa upaya penguatan kewenangan fungsi legislasi DPD melalui putusan MK tidak cukup, untuk itu amandemen kelima UUD 1945 menjadi sangat relevan untuk menata ulang fungsi legislasi DPD secara komprehensif.

Upaya Penguatan Kewenangan DPD

Eksistensi DPD sebagai lembaga representasi daerah harus ditingkatkan melalui penguatan fungsi legislasi DPD, sebab fungsi tersebut merupakan sarana utama bagi masyarakat daerah untuk menyampaikan aspirasi, kebutuhan dan kepentingannya dalam kebijakan nasional. Penguatan kewenangan DPD dalam fungsi legislasi sejalan dengan upaya menjaga  konsep desentralisasi dan potensi serta keunggulan daerah agar  mendapat perhatian penuh dari pemerintah pusat.

Tujuan awal pembentukan DPD sebagai lembaga representasi daerah sekaligus sebagai bentuk perwujudan mekanisme check and balances dalam kekuasaan legislatif akan sulit tercapai dengan kewenangan yang terbatas. Agar mekanisme check and balances dapat berjalan dengan baik, menurut Kevin Evans DPD seharusnya diberi ruang untuk mengoreksi dan/atau menolak RUU yang telah disetujui oleh DPR (Saldi Isra & Zainal Arifin Moctar: 2007).

Amandemen kelima UUD 1945 untuk menata ulang fungsi legislasi DPD secara komprehensif demi penguatan kehidupan demokrasi sekaligus penguatan sistem pemerintahan presidensial melalui mekanisme check and balances yang maksimal antara DPD dan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi sebuah keniscayaan. Melalui amandemen UUD 1945, kewenangan DPD tidak hanya terbatas pada tahap pembahasan namun sampai tahap memberikan persetujuan atau penolakan terhadap suatu undang-undang. Dengan demikian, ekspektasi masyarakat yang tinggi terhadap kinerja DPD yang memiliki legitimasi kuat dapat terwujud.

Momentum amandemen konstitusi ini harus dilakukan secara suci tanpa ditumpangi oleh kepentingan kelompok tertentu agar dapat memberi manfaat yang luas bagi masyarakat.. Dalam prosesnya,  harus ada panitia yang betugas mendalami persoalan, mengkaji apa yang akan diamandemen, pola apa yang hendak dituju, sistem apa yang akan dianut guna memberikan arahan yang jelas demi perbaikan sistem ketatanegaraan Indonesia ke depannya. Sementara itu, DPD juga  harus memperbaiki berbagai polemik internal kelembagaannya dan terus melakukan sosialisasi secara luas dan efektif untuk mendorong dilaksanakannya amandemen konstitusi yang kelima.

 

Dea Tri Afrida
Dea Tri Afrida
Mahasiswa Program Studi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.