Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari hubungan guru dan siswa, baik sebagai hubungan simbiosis mutualisme, maupun sebagai suatu ikatan emosional. Fungsi guru yang berpotensi tergantikan oleh Artificial Intelligence membuka cakrawala perdebatan baru dalam perannya sebagai pendidik. Apakah seorang guru masih dibutuhkan dalam proses belajar manusia?
Perkembangan sains dan teknologi yang telah mencapai titik kulminasinya setidaknya telah memberikan opsi yang dilematis. Bila kita tidak dapat mengikutinya maka keterlibatan bangsa Indonesia di pentas dunia tidak berdaya jual, namun di sisi lain ketergantungan kepada sains dan teknologi tanpa melibatkan moral niscaya menjadi backfire.
Telah banyak penelitian yang mengungkapkan betapa AI tidak hanya berpotensi menciptakan disparitas sosial, akan tetapi juga menyebabkan hilangnya hubungan kultural dalam suatu masyarakat. Kecerdasan buatan mungkin saja mengajarkan manusia untuk saling menyapa, tetapi pengajaran itu tidak melibatkan jiwa sebagai penopangnya. Alhasil, tidak ada ikatan yang kuat dalam konstruksi budaya.
Tulisan ini bertujuan merefleksikan fungsi guru dalam tinjauan khazanah Islam, untuk menjawab tantangan perkembangan sains dan teknologi. Agar apa yang menguntungkan bagi kita ke depan dapat berjalan sesuai karakter dan kepribadian bangsa Indonesia.
Guru Sebagai Pendidik Jiwa
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 pasal 8, kompetensi guru meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki seorang guru di antaranya adalah kompetensi pedagodik, yakni kemampuan untuk memahami karakteristik peserta didik.
Fungsi guru sebagai pendidik lebih dari sekadar pengajar. Jika kita mencari frasa pendidikan dalam Al-Qur`an, kata yang paling mendekati dengan makna pendidikan adalah kata rabb yang terdapat pada surah Al-Fatihah ayat kedua. Menurut para ahli Tafsir, kata rabb adalah turunan dari kata tarbiyah yang berarti pendidikan. Meski dalam hal ini banyak ulama bertentangan mengenai makna rabb dalam arti pendidikan sebagai transfer of knowledge atau pendidikan sebagai pengasuhan fisik.
Jika mengutip pendapat Imam Al-Maraghi, kata rabb bermakna pemelihara dan pendidik yang membimbing orang yang dididiknya dan memikirkan keadaan perkembangannya. Menurut kandungan ayat tersebut, pendidikan adalah proses pemeliharaan seseorang kepada orang lain atau kepada sesuatu selain dirinya, sebagaimana seseorang memelihara sebuah pohon di halaman rumahnya, orang itu harus memperhatikan berapa kali sehari pohon itu harus disiram, diberi pupuk dan diperhatikan pertumbuhannya.
Secara filosofis, konsep rabb mengharuskan seorang guru agar menjalankan fungsinya sebagai pemelihara, perawat atau pembimbing. Hal itu memungkinkan terjadinya interaksi yang lembut, interaksi yang dilandasi kepedulian untuk berkembang. Sehingga dalam konsep ini, guru didorong oleh emosinya untuk membuat siswa memiliki perkembangan kepribadian, bukan atas dorongan kewajiban profesi semata. Maka, pembiaran terhadap siswa yang melenceng dari nilai dan norma sosial, baik disengaja atau tidak disengaja adalah sesuatu yang keliru.
Konsep tarbiyah tidak hanya mengedepankan transfer of knowledge dan transfer of value, akan tetapi konsep ini juga meliputi transfer of soul (baca : jiwa). Hal tersebut setidaknya berimplikasi kepada perbaikan diri seseorang yang berasal dari dalam. Sementara di dalam Al-Quran makna jiwa dapat ditemukan pada kata nafs. Misalnya pada surah As-Syams ayat 7 “demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya,”.
Kendati kata nafs memiliki makna lain sebagaimana dalam surah Ali Imran ayat 185 yang berarti nyawa (life), akan tetapi menurut Abdul Mujib dalam disertasinya, nafs adalah gabungan antara jasad dan ruuh. Sehingga hal itu tetap tidak mengesampingkan eksistensi jiwa sebagai sesuatu yang tidak berdiri sendiri, melainkan membutuhkan unsur jasmani.
Sementara menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah ruh dan jiwa adalah satu substansi yang sama, hanya saja yang membedakan adalah sifatnya. Ruh bersifat lāhūtiyah (ketuhanan) dan jiwa bersifat nāsūtiyah (kemanusiaan). Sehingga, dalam makna sebagai jiwa, nafs berarti memiliki sifat membedakan baik dan buruk. Bisa jadi, makna jiwa dalam ayat tersebut dekat dengan makna psikologis yang juga dianggap sebagai kondisi emosi dan kejiwaan seseorang.
Karenanya, kemudian pada ayat selanjutnya, surah As-Syams ayat 8 disebutkan “maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya.”. Menurut ayat tersebut, jiwa manusia berpeluang dihadapkan dengan dua kemungkinan, pertama melakukan kebaikan dan kedua melakukan kejahatan. Sehingga makna nafs di sini berarti kesadaran akan moralitas yang berasal dari proses, alih-alih bermakna nyawa yang bersifat given.
Dalam konsep ini, seorang guru tidak hanya dituntut menjalankan fungsinya untuk mengajarkan ilmu (knowledge), lebih dari itu ada tuntutan bagi dirinya untuk memperbaiki diri dalam rangka menyucikan jiwa. Misalnya, ketika seorang guru hendak mengajarkan kepada siswa bahwa berbohong bukanlah perilaku yang baik, maka pengajaran itu harus terlebih dulu dimulai dari inti jiwa orang yang mengajarinya. Pengajaran itu harus berangkat dari kesucian hatinya, dan tidak didasari atas kebaikan untuk muridnya semata.
Kesucian jiwa harus berangkat dari kesadaran akan kebutuhan hati yang tulus, bukan karena dibebani label sebagai orang yang patut ditiru. Jika seseorang merubah perilakunya karena merasa akan diikuti, ditiru dan dicontoh orang lain, maka perubahan itu mestilah bersifat temporer.
Menuju Karakter Siswa yang Kuat
Suatu hari, mungkin fungsi guru sebagai pendidik dapat tergantikan oleh AI, yang dapat juga menginformasikan mana hal baik dan mana hal buruk, akan tetapi tanpa keterlibatan jiwa, pendidikan itu seperti berada di ruang hampa. Jiwa seseorang amat mudah terpelanting, karenanya kekuatan untuk mempertahankan nilai itu ada pada jiwa yang diberikan oleh seorang guru.
Pendidikan yang disertai jiwa akan menghadirkan prinsip kolaboratif, menumbuhkan sikap empati dan saling menghargai. Hal ini berguna bagi keberlanjutan ekosistem alam di Indonesia, yang terancam rusak oleh manusia itu sendiri dengan daya dukung sains dan teknologi yang tak mengenal nilai. Hadirnya jiwa dalam pendidikan diharapkan juga membentuk karakter kepribadian yang bijaksana.
Oleh karena itu, sebagai bangsa dengan beragam kearifan budaya, keberagaman suku dan perbedaan keyakinan, teknologi harus bisa membuat itu semua bertahan dalam lanskap kebinekaan. Tentunya penggerak dan pengatur peta jalan itu dimulai dari peran guru sebagai pendidik manusia Indonesia.
Akhirnya dengan berpegang pada prinsip ini mengutip Buya Hamka, dengan ilmu, manusia akan mampu mengenal tuhannya. Harapan akan tertanamnya karakter yang berbudi luhur tidak hanya didasari atas etika moral semata, melainkan berasal dari keinginannya menjadi seorang hamba yang taat sesuai dengan sila kesatu Pancasila. Kepribadian yang utuh sebagaimana disebutkan sebelumnya, tentu bukan hanya berlaku antar sesama manusia lebih jauh lagi akan berdampak pada alam sekitarnya.