Sore yang terik itu saya berada di salah satu sudut kota Jogja. Di kota ini para wisatawan berdatangan untuk mengabadikan kunjungan mereka. Seseorang yang baru saya kenal untuk sebuah urusan, mengajak saya mencari kelapa muda (degan) untuk mengobati rasa dahaganya.
Kami berlima berjalan layaknya wisatawan menuju lapak es degan. Saya sering berkunjung ke tempat ini, bukan untuk minum es degan, tetapi untuk ngangkring di bagian lain di tempat ini. Saking seringnya kesini, tukang parkir tertentu kadang tidak meminta uang parkir ke saya.
Di bawah pohon beringin yang rindang, kelapa muda bertumpukan di sampingnya, dengan meja kecil dan bangku plastik, seorang nenek menjajakannya. Walaupun sudah berumur, Ia masih sanggup membuka kelapa dengan parang yang bahkan anak-anak milenial tidak bisa melakukannya. Air kelapa harus diminum terlebih dahulu baru bisa ditambahkan gula cair dan es batu agar tidak tumpah.
Pembicaraan pun dimulai saat rekan saya menanyakan apakah berjualan di sini harus ada perijinannya. Ia berjualan sedikit mengambil area trotoar di antara pedagang lain yang berjualan di pendopo. Ada kesenjangan antara pedagang yang berjualan di pendopo dengan yang bukan di pendopo.
Pedagang yang berjualan di pendopo bisa dipastikan berbisnis, karena memiliki investasi yang relatif besar karena mereka terlihat memiliki aset yang lebih banyak. Mereka memiliki menu makanan yang lebih banyak didalam buku menunya, mereka memiliki alat masak dan alat seduh minuman yang beragam, mereka juga memiliki meja, bangku, dan ornamen-ornamen yang artistik.
Nenek itu menjawab kalau berjualan di sini tidak perlu meminta ijin, yang penting kebersihan tetap dijaga kata dia. “Oh, ya?” Saya bertanya dalam hati berharap nenek itu mendengarkannya karena melihat botol air mineral, bungkus makanan ringan, sedotan dan puntung rokok bertebaran di belakang tempat ia berjualan, memang tidak terlihat tempat sampah di sekitar.
Sementara karyawan yang bekerja di pendopo sedang membersihkan meja dengan kain lap dan cairan pembersih, karyawan yang lain sedang menyalakan lampu-lampu taman yang digantung membentang dari pendopo ke pohon beringin. Melalui lampu-lampu itu, sepertinya mereka ingin mendekatkan bintang di langit Jogja yang sulit terlihat karena banyaknya cahaya lampu di jalan dan gedung-gedung tingginya.
“Cukup minta ijin ke Allah saja” kata Nenek itu bercerita. Ia menambahkan bahwa segala sesuatu itu milik Allah, kepada siapa lagi kita meminta ijin selain kepadaNya. Ia meneruskan khotbah-khotbah singkatnya, tetapi saya tidak mendengarkan karena mengingat kembali peristiwa yang terjadi di angkringan tempat biasa saya nongkrong. Angkringan dan tempat berjualan es degan ini dipisahkan oleh hamparan yang cukup luas, namun keduanya seakan mengelilingi hamparan tersebut.
Di tengah hamparan itu terdapat dua pohon beringin seperti sebuah gapura menuju pintu masuk istana. Tadinya banyak orang berjualan di hamparan luas tersebut sebelum mereka dipindah di sekeliling hamparan ini. Ingatan saya berhenti di situ untuk menjelajah memori diri sendiri mencari tahu apa yang terjadi pada saat itu.
Sebelum pendopo digunakan untuk berdagang, tempat itu digunakan oleh siapa saja yang ingin mencari tempat berteduh. Orang-orang yang dianggap miskin, telantar, pengumpul barang bekas atau yang melakukan pekerjaan kasar biasa menggunakan tempat ini. Saat ini, orang-orang itu entah ada dimana, hanya sedikit yang tersisa.
Perpindahan pedagang-pedagang kecil dari hamparan luas ke sekitar pendopo sempat memberikan asa bagi mereka. Sedikit yang tersisa dari orang-orang tadi juga ikut membuka lapak karena asa tersebut. Namun yang terjadi saat ini, pedagang kecil tersebut yang sebagian besar berjualan nasi kucing di angkringan dan lapak wedang ronde tergusur oleh megahnya pedagang-pedagang baru yang menggunakan seluruh pendopo dengan konsep modern.
Dulu di tempat ini angkringan dan pendopo bisa menunjukkan sebuah demokrasi bagi para penggunanya. Semua orang bebas berbicara tanpa melihat siapa yang berbicara karena mereka tahu menjadi dewasa itu yang penting tidak melukai orang lain. Selain itu tak jarang pedagang angkringan memberikan makanan atau minuman kepada orang yang membutuhkan di pendopo secara cuma-cuma.
Ini adalah bentuk solidaritas sesama kaum “kelas bawah.” Namun saat ini angkringan telah dilokalisasi, ditempatkan di dekat toilet bawah tanah yang tidak terawat. Angkringan tidak bisa lagi dinikmati orang-orang kecil karena pendopo tempat berteduhnya telah dimonopoli untuk berdagang telah berisi meja bar, bangku, dan meja makan. Ada pergeseran pengguna pendopo dari wong cilik yang cinta demokrasi dan duduk sama tinggi di atas tikar menjadi orang-orang besar yang berduit.
Saya melihat setiap angkringan memiliki stiker perijinan dari pemerintah kota tentang kesehatan makanan yang dijualnya. Bagaimana bisa nenek penjual es degan itu bilang berjualan di situ tidak perlu meminta ijin? Apa karena dia tidak berjualan menggunakan angkringan?
Semestinya, berjualan di wilayah yang sama memiliki peraturan yang sama pula, apalagi mereka hasil penertiban dari hamparan yang luas itu. Entahlah, saya tidak benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Seperti pembicaraan teman-teman saya dengan nenek penjual es degan itu, mengapa bisa sampai ke laut selatan, sepertinya saya telah asik menikmati sebuah lamunan masa lalu.
Nenek itu kali ini bercerita tentang Nyi Roro Kidul dan Kanjeng Ratu Kidul yang berbeda. Katanya ratu yang sebenarnya disebut Kanjeng Ratu Kidul kalau Nyi Roro Kidul itu hanya anak buahnya. Entah karena bosan mendengarkan cerita atau telah habis minuman teman-teman saya, mereka segera membayar es degan.
Padahal minuman saya belum habis dan ingin mengeruk degan yang menggiurkan didalamnya. Saat teman saya bertanya berapa harga semua es degan yang kita minum, nenek itu menjawab harganya sembilan puluh ribu.
Teman saya menghitung ulang dan bertanya “Bukankah untuk lima orang harganya tujuh puluh lima ribu, ya?” karena di awal kedatangan ia sudah bertanya kepada nenek itu berapa harga satu buah es degan, dan nenek itu menjawab harganya lima belas ribu. Nenek itu menahan malu kelihatan dari raut mukanya sambil menggaruk kepalanya, ia yang gagal nglimpe pembelinya kemudian bilang “Oh, iya, mas, kirain mau nambah satu lagi”
Pedagang kecil seperti nenek itu sering disebut sebagai wong cilik oleh para politikus. Mereka sering mengatasnamakan rakyat dan wong cilik agar terlihat populis. Tak jarang mereka juga menggunakan agama, mitos, dan kebohongan untuk mengangkat popularitasnya. Namun ternyata agama, mitos, dan kebohongan tidak hanya milik politikus karena wong cilik pun juga melakukan hal yang sama. Kita semua sama saja, mengapa saling mencari kesalahan? Seharusnya saling memperbaiki diri sendiri.