Akhir-akhir ini gerakan mahasiswa semakin masif dilakukan beberapa kota di Indonesia, ini didasarkan atas kondisi materiil saat ini yakni pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi. Sebagian besar gerakan mahasiswa menuntut untuk pembebasan penuh uang kuliah.
Kemendikbud sebenarnya telah menyesuaikan uang kuliah tunggal (UKT) ditengah pandemi dengan mengeluarkan Permendikbud 25 Tahun 2020. Tetapi kebijakan ini dinilai tidak menjawab esensi permasalahan, karena hanya berisi beberapa penggolongan sebagai syarat penilaian apakah UKT digratiskan atau diberikan potongan saja. Kebijakan ini juga dinilai akan sangat bias administratif, juga terdapat masalah dalam hal mekanisasi dan birokratisasi.
Untuk itu beberapa gerakan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi menginginkan UKT di gratiskan saat pandemi dan harusnya UKT gratis ini diperuntuhkan bagi seluruh mahasiswa tanpa terkecuali.
Tetapi seringkali gerakan mahasiswa, tidak melihat akar permasalahan yang membuat uang kuliah sulit untuk digratiskan, ini tidak terlepas dari kurangnya analisis teoritis akan hal itu. Untuk itu, tulisan ini akan membahas penekanan pentingnya analiis teoritis dalam persoalan polemik UKT di masa pandemi, tetapi sebelum itu, saya akan menyinggung ‘’penyakit” dalam gerakan mahasiswa, yakni memisahkan antara teori dan praktik.
JTulisan ini juga memberikan tesis bahwa menuntut pendidikan gratis haruslah didasarkan pada analisis struktur ekonomi yang melandasinya, dan juga tak kalah penting, yakni diperlukannya penyatuan teori dan aksi dalam gerakan mahasiswa, pemisahan diantara keduanya adalah suatu kekeliruan yang mendasar.
Pentingnya Penyatuan Teori dan Aksi
Dalam pidato Ernest Mandel di New York pada tahun 1968, tepat saat menghadiri Majelis Gerakan Mahasiswa Mahasiswa, dimana pidato itu dijadikan tulisan yang berjudul “Gerakan Mahasiswa Revolusioner Teori dan Aksi”,di Marxis.org. Mandel dalam pidatonya menekankan pentingnya penyatuan diantara teori dan aksi, menekankan yang satu dan membuang yang lainnya akan menimbulkan masalah dalam gerakan mahasiswa. Berikut kata Ernest Mandel:
‘‘Aksi tanpa teori tidak akan efisien atau tidak akan berhasil melakukan perubahan yang mendasar, kita tidak dapat membebaskan manusia tanpa sadar. Di pihak lain, teori tanpa aksi tidak akan mendapat watak ilmiah yang sejati karena tidak ada jalan lain untuk menguji teori kecuali melalui aksi’’.
Analisis Pendidikan Harusnya Didasarkan Pada Struktur Ekonomi yang Melandasinya
Berkenaan dengan aksi penuntutan pendidikan yang gratis, gerakan mahasiswa harusnya mempertimbangkan dengan menggunakan analisis melihat basis struktur ekonomi (kapitalistik) yang membuat pendidikan seakan-akan menjadi mustahil untuk di gratiskan.
Tentu ini mendesak adanya analisis yang teoritis. Karena perlu diketahui aktor-aktor organisasi internasional seperti World Bank dan IMF, berperan penting dalam liberalisasi pendidikan tinggi kita saat ini, yang membuat uang kuliah dari tahun ke tahun terus meningkat dengan tentunya berbalut ilusi-ilusi kapitalisme yang coba dihadirkan seperti otonomi kampus yang tertuang dalam terma “PTN-BH”.
Ini berawal dari terjadinya stagflasi tahun 1970-an yang membuat kebijakan ala Keynes (Diperlukannya intervensi pemerintah) perlahan-lahan sudah tidak digunakan lagi dalam beberapa negara. Kebijakan ala Keynes ini digantikan oleh proyek ekonomi yang disebut dengan neoliberalisme.
Agenda-agenda neoliberalisme itu tertuang dalam perjanjian yang disebut dengan “Washington Consensus”. Agenda ini tentu digawangi dari aktor neoliberal seperti World Bank, IMF, dan Kementrian Keuangan AS. Pada awalnya terdapat 10 kebijakan yang dihasilkan dari agenda ini, jika diringkas ada 3 nafas yang tertuang didalamnya, yakni privatisasi, liberalisasi perdagangan, dan cabut subsidi publik.
Dari sinilah agenda reformasi dari resep ala keynes ke resep ala neoliberal yang coba dihadirkan di seluruh dunia, apalagi untuk negar berkembang di dunia ketiga yang diterpa kirisis, termasuk Indonesia.
Dalam bidang pendidikan, ini dimulai dari perjanjian pemerintah Indonesai dengan lembaga moneter internasional (IMF) yang tertuang dalam General Agreement on Tarif and Service (GATS) tahun 1994 yang berisikan kesepakatan 12 sektor jasa diliberalisasi, termasuk pendidikan.
Ini membuat perlahan-perlahan pendidikan tinggi indonesia mulau berbasis pada terma otonomi kampus, yang tertuang dalam PP No. 61/19990, tentang penetapan perguruan tinggi negri berbadan hukum, sampai dengan UU PT No 12 Tahun 2012.
Berangkat dari itu menuntut pendidikan tinggi yang gratis, mendesak diperlukannya analisis struktur ekonomi yang melandasinya, karena pendidikan kita terkondisikan oleh struktur ekonomi neoliberalisme. Hal ini penting agar perjuangan gerakan mahasiswa bisa mengetahui akar permasalahan struktural. Seperti kata Ernest Mandel:
“Penaklukan ideologis ini berarti bahwa pembebasan manusia harus diarahkan pada usaha yang sadar untuk merombak tatanan masyarakat, untuk mengatasi sebuah keadaan di mana manusia didominasi oleh kekuatan ekonomi pasar yang buta dan mulai menggurat nasib dengan tangannya sendiri. Aksi pembebasan yang sadar ini tidak dapat dijalankan secara efektif, dan tentunya tidak dapat berhasil, jika orang belum menyadari dan mengenal lingkungan sosial tempatnya hidup, mengenal kekuatan sosial yang harus dihadapinya, dan kondisi sosial ekonomi yang umum dari gerakan pembebasan”.
Bagaimana Selanjutnya? Diperlukannya Organisasi Revolusioner
Bagi saya sebaiknya analisis gerakan mahasiswa hari ini dan dalam skala jangka panjang (menuntut pendidikan gratis) harusnya berbasiskan pada analisis kelas dalam melihat struktur kapitalisme neoliberal. Karena mustahil mengharapkan hal itu terjadi, tanpa mengubah basis struktur ekonomi-nya. Ini juga penting dalam menginterupsi jawaban dari birokrat kampus yang terus menerus mengatakan bahwa pendidikan kita sekarang dan sampai kapanpun tidak mungkin gratis.
Selain itu, permasalahan yang sering dihadapi juga mengenai pernyataan bahwa jiwa perlawanan mahasiswa akan penindasan berhenti di masa saat mahasiswa sudah tidak lagi mengemban statusnya sebagai mahasiswa. Untuk itu Ernest Mandel menyarakan agar perlunya organisasi revolusioner dalam menggabungkan gerakan mahasiswa dan non mahasiswa.
“Kebanyakan orang-orang militan ini, terlepas dari keinginan mereka untuk tetap teguh dan menjadi aktivis sosialis, tidak aktif lagi dalam politik dari sudut pandang revolusioner. Jadi untuk memelihara kelanjutan aktivitas revolusioner ini, kita harus punya organisasi yang lebih luas jangkauannya dari organisasi mahasiswa biasa, sebuah organisasi di mana mahasiswa dan bukan mahasiswa dapat bekerja sama. Dan ada alasan yang lebih penting lagi, di balik kepentingan kita memiliki satu organisasi partai. Karena tanpa organisasi semacam itu, tidak akan dapat dicapai kesatuan aksi dengan kelas buruh industri, dalam pengertian yang paling umum sekalipun”(Ernest Mandel).
Ini solusif yang menurut saya diperlukan dalam gerakan mahasiswa saat ini di Indonesia agar aksi kita tidak sia-sia, diperlukannya analisis struktural yang sifatnya teoritis dalam menjawab musuh akar permasalahan struktural kita saat ini. Yah sistem ekonomi neoliberal.