Mengapa di dalam setiap wacana maupun perumusan kebijakan anak muda justru lebih dominan peran dan tafsiran “orang tua” ketimbang anak muda itu sendiri. “Orang tua” di Indonesia seolah memahami betul kebutuhan dan arah ideal bagaimana seharusnya menjadi anak muda.
“Orang tua” menjadi merasa serba tahu dan akhirnya malah sering mendikte aspirasi anak muda, yang pada kenyataan malah sering bertolak belakangan dari kebutuhan rill generasi muda saat ini.
Berangkat dari hal tersebut, relasi “orang tua” dengan negara memunculkan politisasi anak muda, terutama terkait objektivikasi diskursus anak muda. Negara yang dikuasai “orang tua” menjadi momok otoritas yang mengobjektivikasi subjek anak muda.
Tudingan ini tidak main-main, bahwa hingga saat ini, dapat dilihat banyak “orang tua” selalu mencoba menjadi “wakil resmi” untuk menyuarakan kepentingan dan hak anak muda di media sosial, jurnal, buku, koran bahkan parlemen. Bisa jadi “orang tua” tersebut mencoba berpihak walaupun tanpa alasan dan dasar yang kuat. Kencenderungan ini memperlihatkan bahwa sering kali “orang tua” memperjuangkan sesuatu yang bahkan ia tidak miliki dan hidupi secara langsung sebagai anak muda.
Akhirnya nasib anak muda hanya menjadi bahan perbincangan “orang tua” yang rajin membahas konsep generasi penerus bangsa. Peranan anak muda diremehkan dan disingkirkan dalam domain negara, alhasil anak muda selalu dianggap sebagai warga negara yang tidak pantas mengurus negara, kalau mereka belum menjadi “orang tua” dan dididik keras oleh “orang tua”.
Negara “Menjaga” Anak Muda
Pada situasi ketimpangan peran antara “orang tua” dan anak muda dalam urusan negara, tanpa disadari mencuat dan menguatlah budaya “orang tua” dan Bapakisme dalam struktur sosial masyarakat kita. Anak muda di Indonesia, harus tunduk dengan tradisi dan otoritas “orang tua”, maka tak heran terproduksilah istilah-istilah Bapak Pembangunan, Bapak Pendidikan, Bapak Pertanian, Bapak Toleransi dan semacamnya yang miliki makna terselubung terkait dominasi yang menegasikan kekuatan anak muda.
Relasi “Orang Tua” dan anak muda terus dipertahankan dan menjadi sarana hegemoni superioritas “orang tua” yang dimanifestasikan dalam setiap elemen institusi negara. Disaat bersamaan, relasi tersebut semakin menjerumuskan anak muda dalam posisi subordinat untuk memperjuangkan kesetaraan dihadapan negara.
Negara alih-alih mencetak generasi penurus bangsa dengan memberdayakan anak muda. Kenyataannya hanya menjaga anak muda sebagai perabotan antik di setiap kebijakan dan program pemerintahan, seperti hanya menjadi peserta seminar atau menjadi jargon untuk politik elektoral.
Dalam ekosistem negara “orang tua”, anak muda selalu dianggap egois, cereboh, labil, malas, belum bisa bertanggungjawab pada diri sendiri dan belum pantas memimpin publik. Hal ini yang membuat anak muda semakin redup mengaspirasikan kepentingan dan kebutuhannya pada negara walaupun dalam sistem demokrasi sekalipun.
Politik Urusan Orang Tua
Bahkan istilah politik di dalam negara orang tua berkonotasi hirarkis dan feodal. Politik menjadi begitu kaku dan kolot, seolah politik hanya pantas diakses oleh generasi berumur tua. Sementara itu, anak muda dianggap cukup dengan proses mencari jati diri tanpa perlu berurusan dengan politik. Bisa dikatakan hari ini, hegemoni diskursus “orang tua” telah menguasai, mengendalikan dan mendisplinkan perilaku politik anak muda.
Perjuangan anak muda hari ini harus dipertegas dan perjelas untuk melakukan penyetaraan politik dengan “orang tua” dalam narasi kenegaraan. Karena kesetaraan politik anak muda adalah perjuangan untuk menciptakan sebuah negara yang tidak hanya ramah tapi berani mendekonstruksi superioritas “orang tua”.
Maka dari itu, perlu disiapkan skenario, narasi, platform politik untuk menyalakan peranan anak muda di dalam negara, tentunya dengan memperkuat posisi diskursus politik anak muda diberbagai sektor dari legislatif, eksekutif dan yudikatif, partai politik, pengetahuan dan media massa.