Sabtu, April 20, 2024

Redefinisi Kemiskinan

I Dewa Made Agung Kertha Nugraha
I Dewa Made Agung Kertha Nugraha
• Entrepreneur • Parttime Lecturer at Indonesia Banking School • MSc in Economics from Université Paris 1 Panthéon-Sorbonne • MBA in Business Strategy from ENSTA ParisTech •

“Spare no effort to free our fellow men, women, and children from the abject and dehumanizing conditions of extreme poverty”

Perang melawan kemiskinan global telah digemakan oleh organisasi internasional lebih dari satu dekade yang lalu. Pada bulan September 2000, pemerintah 189 negara mengadopsi Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa. Semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah sepakat untuk memberantas pemberantasan kemiskinan sebagai tujuan utama tujuan pembangunan global melalui sebuah konsensus yang dikenal sebagai Tujuan Pembangunan Millennium (MDGs), yang kini telah menjadi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG).

Di Kompas.com (7/1/2018) terdapat berita mengenai kemiskinan dengan judul “Anies: Kemiskinan di Pelosok “Nothing”, Dibandingkan Kemiskinan di Sini”. Merujuk pada berita tersebut, muncul pertanyaan memangnya beda kemiskinan di kota dan di pelosok? Apa bedanya dan mengapa berbeda? Serta bagaimana menentukan miskin atau tidaknya seseorang? Berujung pada pertanyaan bagaimana cara mengurangi kemiskinan tersbeut?

Perjuangan pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan selama ini memang telah membuahkan hasil. Namun, yang menjadi pemasalahan adalah perbedaan hasil perhitungan garis kemiskinan tersebut karena dapat memengaruhi kebijakan atau program yang akan ditempuh nantinya. Perbedaan ini disebabkan oleh satu dan lain hal yakni metode pengukuran yang digunakan oleh masing-masing institusi.

Seseorang dianggap berisiko mengalami kemiskinan bilamana mereka menghadapi risiko kemiskinan moneter relatif, sangat kekurangan material dan tinggal di rumah tangga dengan intensitas kerja yang sangat rendah. Maka dari itu, orang lebih baik jika mereka memiliki kontrol menyeluruh atas sumber daya.

Fokus utamanya adalah apakah rumah tangga atau individu memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka, dengan membandingkan pendapatan dan pengeluaran individu dengan ambang batas kemiskinan tertentu. Yang kedua adalah apakah orang bisa mendapatkan jenis konsumsi tertentu yang baik. Ini melampaui dari pendekatan tradisional dengan memeriksa nutrisi dan pendidikan (JH Haughton, SR Khandker, 2009).

Ada juga versi tingkat kemiskinan dari pemerintah daerah berdasarkan garis kemiskinan yang kadangkala terlalu rendah, ada beberapa versi tingkat kemiskinan dari lembaga internasional yang berbeda. Aneh dan sering menimbulkan kebingungan. Pada tahun 2010, misalnya, ADB melaporkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia berjumlah 43,67 juta (Menggunakan 2 dolar PPP) sementara Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hal yang sebaliknya. BPS mencatat bahwa pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin mencapai 31,02 juta sedangkan pada tahun 2008 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 34,96 juta.

Kita tidak tahu metode dan hasil mana yang paling akurat untuk menggambarkan kondisi kemiskinan secara keseluruhan. Kenyataannya, masih ada orang miskin yang belum tercatat sedangkan yang tidak layak dianggap miskin malah tercatat. Belum lagi fakta bahwa indikator kemiskinan adalah sesuatu yang sangat normatif karena masing-masing daerah memiliki karakteristik kemiskinan yang berbeda.

Dengan demikian, kita tidak bisa menjeneralisasi kemiskinan di daerah perkotaan dan pedesaan. Indikator kemiskinan berdasarkan perspektif masyarakat setempat harus digunakan. Masyarakat lokal sendiri yang lebih tahu siapa yang miskin dan masalah apa yang dihadapi masyarakat miskin, oleh karena itu kemiskinan tidak dapat dihitung secara pasti, tapi harus juga bersifat humanis.

Indikator lain yang tidak hanya berdasarkan kuantitatif yang dibutuhkan dalam mengukur kemiskinan adalah kearifan lokal, sebagai sesuatu yang berasal dari hati dan pikiran individu yang terbentuk dari norma dan budaya di mana orang hidup. Selain itu, kriteria moral juga perlu diperhatikan dalam menentukan masyarakat miskin.

Kearifan lokal menjadi salah satu poin utama dalam menentukan indikator kemiskinan. Ketidakakuratan data kemiskinan sebagian besar disebabkan oleh sistem atau indikator yang tidak dapat diterapkan secara tepat dan efektif dalam kenyataan. Proses penentuan indikator kemiskinan dimulai dari forum atau masyarakat lokal yang kemudian dikumpulkan dan bekerja di tingkat kabupaten. Hal ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat sendiri sehingga bisa memperkecil rasa iri di kalangan masyarakat.

Kemiskinan harus diimplikasikan pada empat konsep yang telah diketahui sejauh ini: kemiskinan absolut dan relatif, obyektif dan subyektif. Kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif adalah sebuah konsep yang mengacu pada harta benda yang terkait dengan standar kehidupan yang layak. Artinya yang berkaitan dengan perbedaan sosial berasal dari distribusi pendapatan.

Ukuran kemiskinan mutlak pertama kali ditentukan oleh angka, sementara kemiskinan relatif, ditentukan berdasarkan perbandingan antara tingkat kesejahteraan penduduk. Pendekatan objektif dan subjektif kemiskinan terkait erat dengan pengembangan pendekatan partisipatif secara kualitatif. Kebutuhan kalori adalah pendekatan yang obyektif, sedangkan kemiskinan subjektif lebih menekankan pada pemahaman konsep kemiskinan dari sudut pandang orang miskin sendiri.

Agar lebih spesifik, perlu melakukan pengamatan di lokasi yang ditargetkan: pertama, untuk mengidentifikasi orang-orang yang dianggap miskin menurut masyarakat pedesaan atau lokal dan informan kunci. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui persepsi dan konsepsi kemiskinan.

Diskusi lebih lanjut tentang pola konsumsi rumah tangga miskin. Ketiga, interpretasikan arti kemiskinan dari sudut pandang penduduk setempat. Pada fase ini, akan ada perpaduan antara konsep kemiskinan dalam literatur dengan konsep masyarakat setempat. Juga harus ada perbedaan konsep kemiskinan di antara mereka. Perbedaan ini bukanlah sesuatu yang harus ditentang namun dipandang sebagai perbedaan untuk melengkapi definisi yang ada.

Pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) dapat digunakan dalam pengamatan ini. Metode ini digunakan untuk membuat data yang diperoleh akurat dan kredibel. Pada prinsipnya, pendekatan ini lebih cenderung didasarkan pada perspektif kualitatif. Ada dua macam sumber data yang akan digunakan, data primer dan data sekunder.

Data primer diperoleh dari masyarakat dan pemerintah di desa ke kabupaten, dikumpulkan meliputi indikator kemiskinan, penyebab kemiskinan, siklus kemiskinan dan pola konsumsi (pangan dan non pangan) kemiskinan. Indikator kemiskinan penting untuk memahami kemiskinan dari sudut pandang orang miskin sendiri. Sedangkan untuk data sekunder diperoleh dari literatur yang berkorelasi dengan bidang topik

Fokus pengamatan adalah sekelompok orang miskin. Kelompok sasaran ditentukan berdasarkan pengetahuan tentang kondisi lapangan, dan informasi awal diperoleh dari informan kunci. Diharapkan bahwa definisi sinergis antara orang miskin dan kelompok luar (pemerintah, lembaga penelitian, dan swasta / bisnis) akan memperkaya dan menghasilkan definisi kemiskinan yang lebih spesifik di lokasi tertentu, juga holistik, sistemik dan dinamis.

I Dewa Made Agung Kertha Nugraha
I Dewa Made Agung Kertha Nugraha
• Entrepreneur • Parttime Lecturer at Indonesia Banking School • MSc in Economics from Université Paris 1 Panthéon-Sorbonne • MBA in Business Strategy from ENSTA ParisTech •
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.