Sabtu, April 20, 2024

Re-thinking 14 tahun MoU Helsinki

Eriton
Eriton
Penulis dan Mahasiswa Magister Sosiologi UMM, Malang-Aceh

Konflik berkepanjangan Aceh akhirnya surut dengan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara pemerintah RI-GAM (Gerakan Aceh Merdeka) pada 15 Agustus 2005.

MoU yang terjadi di Helsinki tersebut, kini menjelang usia yang ke 14 tahun. MoU merupakan menjadi angin segar bagi masyarakat Aceh untuk mendambakan perdamaian dalam bingkai NKRI.

Air mata dan rasa takut yang dulu ada di masa konflik telah musnah dan kini bisa tersenyum kembali menatap masa depan. Namun, perlu disadari bahwa MoU Helsniki tidak sekadar bertujuan mengehentikan konflik bersenjata atau kekerasan fisik yang ada dan mengabaikan faktor-faktor lainnya.

Akan tetapi haruslah dilihat dengan scope yang lebih luas. Artinya makna damai yang hakiki tidak bertumpu pada berakhirnya pemberontakan GAM saja.

Menurut David Hicks dalam Education for Peace, (1987), damai bukan berarati tidak ada konflik atau tidak adanya kekerasan terang-terangan, tetapi ia haruslah meliputi hal-hal yang lebih luas, misalnya keadilan sosial, ekonomi, dan politik. Maka perdamaian Aceh di usia yang ke 14 tahun ini perlu direfleksikan kembali.

Sejauh mana MoU Helsinki mengalokasikan nilai-nilai yang berdampak pada kontribusi bagi taraf hidup masyarakat Aceh. Sayangnya pertanyaan semacam ini tidak muncul dari akar rumput.

Beberapa fakta yang bisa kita sakisikan. misalnya, pemberontakan Din Minimi dengan dalih menuntut keadilan bagi korban konflik. Fenomena ini diperkuat dengan dengan paparan Badan Pusat Statistik Aceh, bahwa Aceh yang masih telaten berada peringkat pertama Provinsi termiskin di Sumtera, seperti dirilis detiknews.com., Januari lalu.

Selain itu, komitmen pemerintah daerah atau elit lokal Aceh yang juga patut dipertanyakan. Dana otonomi khusus (Otsus) untuk Aceh yang merupakan salah satu poin dari Mou Helsinki ternyata tidak banyak berpihak bagi rakyat Aceh.

Justru yang terjadi sebaliknya betapa prilaku koruptif marak terjadi, gubernur nonaktif Irwandi Yusuf kini tersandera komisi antirasuah, baru-baru ini, Drs. Darmili yang juga mantan Bupati di salah satu Kabupaten di Aceh menjadi tersangka korupsi.

Di lain sisi, kasus pelanggaran HAM Aceh di Rumah Gedong, Pidie (1998), Simpang KKA, Aceh Utara (1999), Bumi Flora, Aceh Timur (2001), penghilangan paksa, Bener Meriah (2001), dan peristiwa Jambu Kepok (2003) masih terbengkalai. Padahal penyelesaian HAM Aceh menjadi bagian prioritas dari tuntutan agenda damai Aceh. Lalu mengapa justru diabaikan?

Persoalan yang di atas menjadi PR besar bagi stakeholder dan elit lokal Aceh, yang belakangan ini justru sibuk mengurus hal recehan. Kita harus berdiri di atas posisi yang fundamental untuk bangkit bukan sebaliknya mencari sensasi dengan memanfaatkan isu-isu sektoral untuk kepentingan politik.

Oleh karenanya, 14 tahun damai Aceh (15 Agustus) terdapat pengkajian ulang (rethinking) kedudukan MoU Helsinki sebagai garansi kesejahteraan bagi masyarakat Aceh. Baik sektor pendidikan, ekonomi, keadilan sosial, hukum, hingga politik. Agar makna damai tersebut tidak sekadar menjadi isapan jempol belaka.

Eriton
Eriton
Penulis dan Mahasiswa Magister Sosiologi UMM, Malang-Aceh
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.