Rabu, Oktober 9, 2024

Razia Buku dalam Iklim Demokrasi

Ahmad Ashim Muttaqin
Ahmad Ashim Muttaqin
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.

Dunia perbukuan Indonesia dalam dua bulan terakhir ini sedang mengalami situasi yang mengkhawatirkan. Setidaknya terjadi di dua daerah, Kediri dan Padang, yang dimana aparat merazia atau mengamankan beberapa buku yang dianggap berhaluan kiri dan membahayakan stabilitas negara serta bertentangan dengan ideologi bangsa.

Kejadian semacam ini bukanlah hal baru, tapi mengingat tahun ini berkaitan dengan tahun politik, sehingga muncul indikasi pengamanan buku tersebut merupakan grand design dari actor-aktor politik yang berkepentingan.

Melihat lebih lanjut mengenai tindakan aparat yang merazia buku tersebut, sebenanrnya Mahkamah Konstitusi sendiri telah menjelaskan dalam putusan No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 pada pengujian UU 4/PNPS/1963 tentang Pelarangan Barang-Barang Cetakan, berpendapat bahwa pelarangan dan penyitaan buku yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung tanpa proses peradilan merupakan bentuk pelanggaran terhadap negara hukum.

Dengan demikian, segala tindakan penyapuan dan pelarangan terhadap buku-buku kiri, sesungguhnya telah kehilangan legitimasi dan dasar hukum, serta menyalahi prinsip-prinsip due process of law. Putusan MK di atas menghendaki setiap tindakan pelarangan, haruslah terlebih dahulu diputuskan melalui suatu proses peradilan. Pengadilan harus digelar secara terbuka dan akuntabel, kedua belah pihak harus didengar keterangannya secara berimbangserta putusannya dapat diuji pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi.

Setiap tindakan pelarangan harus melalui suatu proses penegakan hukum, untuk menentukan ada tidaknya unsur pelanggaran hukum di dalamnya. Artinya, tindakan penyapuan dengan alasan pengamanan, yang dilakukan oleh aparat militer, dapat dikatakan sebagai suatu tindakan yang melampau wewenang.

Sebab, jika mengacu pada UU No. 34/2004 tentang TNI, militer bukanlah bagian dari penegak hukum. Walaupun berdasarkan pernyataan Kapuspen TNI Brigjen TNI Sisriadi yang mengatakan bahwa posisi TNI dalam pengamanan buku tersebut adalah sebagai warga negara, sehingga mempunyai hak untuk menegakkan aturan sipil.

Bisa dikatakan tindakan aparat dalam hal ini TNI dan Jaksa tidak bijak. Pasalnya, buku merupakan produk intelektual yang semestinya disikapi dan direspon dengan cara yang juga intelek. Kalau merespon dengan cara merazia atau mengamankan artinya ada kemunkingan aparat ini punya sikap anti-intelektual dan ini bahaya untuk peradaban kita

Sekalipun warga negara, dalam menegakkan aturan seharusnya melewati proses peradilan yang sah. Sehingga tidak ada tindakan semena-mena meski dalam rangka menegakkan peraturan. Alangkah baiknya apabila dalam proses pengamanan buku tersebut, diawali dengan penelitian akan isi buku yang ditarget, apakah benar kandungan buku tersebut membahayakan. Yang tentu penelitian tersebut dilakukan oleh tim ahli dan akademisi, bukan oleh aparat maupun kejaksaan. Karena aparat tidak memiliki kapasitas untuk menilai isi suatu buku.

Apabila memang benar isi dari buku tersebut membahayakan, dan hasil dari peradilan melarang peredaran buku itu, maka barulah aparat bertindak untuk mengamankan buku-buku tersebut dari peredaran. Sehingga para penjual buku tidak kaget apabila aparat mendatangi toko mereka dan menyita buku-buku yang dianggap membahayakan. Karena secara psikologis, penyitaan buku secara mendadak dapat membuat penjual buku menjadi trauma untuk berjualan lagi.

Begitu juga masyarakat yang gemar membaca dan membeli buku. Mereka menjadi ketakutan untuk membeli dan memiliki buku-buku karena kekhawatiran akan menjadi sasaran aparat selanjutnya. Dengan kejelasan mana judul buku yang dilarang, penjual dan penikmat buku bisa nyaman dan tidak diselimuti ketakutan ketika menjalani hobi mereka.

Dan juga masyarakat harus cerdas dalam memilah buku, meski judul covernya tertulis kata komunis atau kata-kata lain yang identic dengan komunis, belum tentu isi buku tersebut menyebarkan ideologi komunis. Banyak buku yang memiliki judul sedemikian rupa, tapi isinya menyudutkan dan membeberkan sisi negative dari ideologi komunis. Bahkan beberapa buku yang diamankan tidak ada sangkut pautnya dengan komunis.

Masyarakat harus sadar perihal pentingnya proses pengungkapan kebenaran dan penyelesaian tuntas atas berbagai dugaan kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.

Publik memiliki hak untuk tahu, atas berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu, sehingga mendapatkan narasi sejarah bangsa yang lebih berimbang. Situasi hari ini memperlihatkan, bangsa ini masih terbelenggu dengan berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu, khususnya dalam konteks komunisme/marxisme, yang kerap digunakan sebagai instrumen politik elektoral, yang imbasnya justru mencederai jaminan kebebasan warga negara.

Selain itu, masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa saat ini kita sedang memasuki era demokrasi, dimana kebebasan berpikir dan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan itu seharusnya dijamin oleh negara. Yang menurutnya, tidak akan menjadi masalah jika ruang kebebasan untuk membaca, berdiskusi dan mempelajari gagasan apa pun, baik itu paham berhaluan kanan atau kiri.

Toh apabila ide-ide gagasan marxisme ataupun komunisme ketika dibaca dengan ruang kebebasan yang memadai, kita justru bisa melihat kelemahan-kelemahan dari gagasan tersebut,

Ahmad Ashim Muttaqin
Ahmad Ashim Muttaqin
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.