Di tengah derasnya arus konten viral yang kebanyakan penuh gimmick dan sensasi, nama Rayyan Arkan Dikha mencuat bak oase. Bocah 11 tahun asal Riau ini mendadak mendunia karena video dirinya menari di atas perahu Pacu Jalur — dengan wajah datar, tanpa senyum, tanpa ekspresi, namun justru penuh aura yang menyihir jutaan orang.
Netizen menjulukinya “Aura Farming”. Sebuah istilah baru yang menggambarkan keheningan penuh daya tarik. Dalam video yang kini viral di TikTok, Instagram, hingga Twitter global, Rayyan berdiri tenang di ujung perahu tradisional Kuansing. Diiringi tabuhan gendang, ia menari mengikuti alur budaya leluhur, bukan demi penonton — tapi demi warisan yang telah lama hidup di tubuhnya.
Budaya yang Bicara Sendiri
Tidak ada lighting studio, tidak ada filter AR, dan tidak ada suara narasi yang menjelaskan apa yang terjadi. Tapi dunia mengerti. Di situlah letak keajaibannya.
Rayyan seolah menegaskan bahwa budaya tidak butuh dijelaskan, cukup ditampilkan. Dan dunia pun paham. Media-media internasional seperti India Times dan Economic Times menyebutnya sebagai “anak penari dari Riau yang membawa aura budaya ke mata dunia”. Bahkan warganet luar negeri membandingkannya dengan karakter anime atau pejuang dalam film silat klasik.
Pemerintah Daerah Bergerak, Tapi Apa Setelah Itu?
Rayyan kini ditetapkan sebagai Duta Wisata Kuansing dan mendapat beasiswa penuh dari pemerintah. Ini tentu kabar baik. Tapi kita harus jujur bertanya:Apakah ini murni penghargaan, atau justru euforia sesaat terhadap viralitas?
Banyak anak Indonesia yang hidup dalam kebudayaan yang dalam, namun tak pernah terekspos karena tak viral. Apakah perhatian terhadap Rayyan akan membuka mata kita pada potensi lokal lain yang selama ini terlupakan?
Ataukah kita hanya akan terus menunggu algoritma TikTok yang memilih siapa yang pantas diangkat?
Di Tengah Bisingnya Dunia, Rayyan Diam — dan Dunia Mendengarnya
Fenomena Rayyan adalah ironi yang menyentuh. Di tengah dunia yang menjerit minta perhatian, seorang bocah berdiri diam — dan justru didengar. Ia tidak merancang viralitas, tidak mengatur narasi. Ia hanya menjadi bagian dari budaya.
Dan itulah kekuatan paling sejati dari seorang anak Indonesia yang tumbuh bersama tradisi: mereka tidak perlu menjual budaya, karena mereka adalah budayanya itu sendiri.