Salah satu momok utama di Indonesia yang saat ini belum bisa diatasi adalah korupsi. Setiap saat terdapat pejabat yang ditangkap karena korupsi atau suap.
Peneliti Divisi Investigasi Indonesia Corrupption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan terdapat 576 kasus korupsi sepanjang 2017. Angka ini bertambah dibandingkan pada 2016 dengan total 482 kasus. Jumlah kerugian negara pun meningkat dengan angka sebesar Rp 6,5 triliun dan suap Rp 211 miliar
Jika kita telaah baik-baik, kita tahu bila pelaku korupsi kebanyakan merupakan orang-orang kalangan atas yang mempunyai jabatan di pemerintahan. Tentu saja kalangan tersebut mempunyai pendapatan lebih dari cukup bahkan hidup dalam kemewahan.
Lalu mengapa masih saja terdapat adanya korupsi? Apakah karena hukum hanya dianggap sebagai wacana saja? Ataukah dikarena sanksi hukum yang kurang berat sehingga membuat koruptor tidak jera?
Pada amandemen UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan ketentuan Konstitusi tersebut, maka negara Indonesia diperintah berdasarkan hukum yang berlaku, termasuk penguasa pun harus tunduk pada hukum yang berlaku.
Konsep Negara Hukum di Indonesia juga di dasarkan pada Pancasila. Dimana hukum tersebut menjunjung dan melindungi HAM. Perlindungan HAM yang dianggap sebagai prioritas ini yang membuat adanya batasan-batasan dalam sanksi di Indonesia. Sehingga, seberapa beratpun korupsi yang dilakukan maka hukuman yang dilakukan hanyalah penjara dan denda.
Dalam UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sanksi yang paling banyak disediakan undang-undang untuk diancamkan ke koruptor ialah sanksi penjara, denda, dan pidana tambahan.
Idealnya, ketika koruptor dijebloskan ke penjara, harus ada efek jera yang ditimbulkan. Dimana pidana penjara 4 sampai 12 tahun dan denda Rp200 juta sampai Rp1 miliar. Sanksi ini dinilai ringan mengingat kerugian Negara yang ditimbulkan bisa mencapai milyaran rupiah. Dana tersebut harusnya disalurkan pada masyarakat yang membutuhkan dan pembangunan Negara.
Atas nama kelakuan baik dan berbagai remisi demi remisi yang didapatkan pelaku koruptor yang tertangkap, hukuman yang tadinya 15 tahun bisa berakhir dengan 4 tahun saja. Dan di penjara belum tentu juga hidupnya menderita. Bukti nyatanya yaitu kasus Gayus Tambunan, yang meski dipenjara masih bisa berlibur dan menikmati hidupnya.
Sehingga pelaku korupsi tidak pernah jera untuk terus malakukan aksinya.Bahkan para koruptor ini dapat kembali menjadi pejabat setelah masa tahanannya lagi, karena dalam undang-undang tidak ada larangan bagi narapida untuk mencalonkan diri dalam pemilu.
Berbeda dengan Negara-negara lain yang memandang korupsi sebagai hal yang sangat berbahaya sehingga sanksi yang diberlakukan sangat berat agar pelaku jera dan membuat pejabat-pejabatnya takut untuk melakukannya. Contohnya hukuman mati pada Negara China.
Hal-hal tersebut menandakan hukum di Indonesia saat ini implementasi konsep negara hukum hanya sebatas formalistas belaka. Dimana, pada satu sisi, muncul berbagai kecendrungan perilaku anggota masyarakat yang sering menyimpang dari berbagai aturan yang dihasilkan oleh Negara.
Kenyataan yang berbeda terjadi pada masyarakat biasa, dimana orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan. Dengan demikian, dapat dihasilkan kesimpulan bahwa praktek hukum di Indonesia berjalan dengan diskriminatif dan seakan-akan hanya memihak golongan tertentu saja.
Orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan sedangkan sebaliknya masyarakat biasa begitu jauh dari keadilan. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat diukur dengan uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam peradilan lebih pada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.
Hukuman yang tepat untuk maling uang negara ialah menyita semua harta benda yang dihasilkan dan/atau dikembangkan dari kasus korupsinya. Masih tersambungnya akses koruptor ke harta bendanya menjadi penyebab utama potensi koruptor tak jera melakukan korupsi. Kemudian, langkah kedua ialah menerapkan hukuman penjara maksimal. Penyidik, penuntut umum, dan hakim harus memiliki paradigma keberpihakan untuk memvonis maksimal penjahat rasywah. Sebab korupsi tak hanya merugikan negara, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup generasi manusia.