Rabu, April 24, 2024

Ramadhan Di Layar Kaca

Benni Setiawan
Benni Setiawan
Benni Setiawan, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan P-MKU Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute, Penulis Buku Keterasingan Pendidikan Nasional (2019).

Tayangan televisi saat Ramadhan seringkali mendapat catatan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). MUI dan KPI tahun lalu menilai tayangan Ramadhan kurang mendidik. Tayangan Ramadhan masih dipenuhi acara hiburan remeh-temeh. Seperti lelucon dengan kekerasan, hiburan penuh penanda “kapitalisme”, dan kuis yang tidak mendidik.

Pengaruh Negatif

Barrie Gunter, Jackie Harrison, Maggie Wykes (2002) dalam Violence on Television: Distribution, Form, Context, and Themes menyebut kekerasan yang dipancarkan oleh televisi menjadi alat menghantarkan pengaruh negatif yang tak disadari. Karena peristiwa terus berulang, maka penonton tidak sadar bahwa ia sedang melakukan kekerasan kepada orang lain. Sebagaimana mereka menyaksikan kekerasan yang bisa dipraktikan oleh artis di layar kaca.

Kekerasan ini dapat dilakukan oleh siapa saja, karena luasnya jangkauan televisi. Semua usia dapat menyaksikan layar kaca secara bebas. Sehingga, saat tayangan lelucon dibumbui dengan adegan kekerasan dan menjadi bahan tertawaan, maka secara tidak langsung seseorang memahami bahwa kekerasan merupakan sarana mengekspresikan diri. Kekerasan menjadi sarana komunikasi menertawakan kekeliruan orang lain.

Menertawakan orang lain menjadi penanda bahwa manusia sudah kehilangan kesejatiannya. Manusia diciptakan berbeda-beda dari berbagai suku bangsa untuk saling mengenal dan bekerjasama. Saat kesalahan orang lain jadi bahan tertawaan, maka manusia telah kehilangan kemanusiaan. Manusia kian sulit saling mengenal dan tolong-menolong. Pasalnya, salah satu mereka merasa paling benar dan yang salah.

Efek kekerasan yang dipraktikan oleh televisi telah begitu dahsyat merusak alam bawah sadar manusia. Manusia sudah tidak lagi peduli dengan orang lain. Padahal, saat puasa kita diminta untuk lebih peduli kepada sesama hidup. Mengasah kepekaan sosial menjadi makna tersendiri dari bulan Ramadhan. Saat kepedulian sosial telah hilang di bulan Ramadhan, maka dapat dibayangkan betapa rusaknya tatanan kehidupan berbangsa di luar bulan mulia ini.

Perilaku Konsumtif

Layar kaca saat Ramadhan pun masih saja menampilkan penanda kemegahan. Puasa Ramadhan dipenuhi dengan berbagai iklan yang mendorong seseorang berlaku konsumtif. Produk makanan dan minuman menjadi menu andalan iklan. Tak mau kalah, produk pakaian pun hadir dengan ragam pesta potongan harga.

Saat masyarakat termanjakan oleh iklan, maka keinginan membeli masyarakat tinggi. Inflasi pun terkeret naik. Padahal, kelas menengah ke bawah sedang kelimpungan untuk mempertahankan hidup di tengah harga bahan pokok yang membumbung tinggi.

Padahal Ramadhan mengajak umat untuk meningkatkan derma dan berhemat. Ramadhan mengajarkan agar uang jatah makan yang sekali dapat diinfakkan untuk menggerakkan kehidupan kebangsaan. Saat banyak uang yang terkumpul selama sebulan, maka masyarakat miskin akan terayomi, berdayaguna, dan di bulan selanjutnya mampu melanjutkan hidup dengan lebih baik. Diharapkan tahun depan, mereka sudah sejahtera dan mampu menyapa dan membantu saudara lain yang belum mencapai taraf itu.

Televisi tanpa sadar telah mengubah pola hidup masyarakat. Masyarakat tidak lagi peka terhadap kehidupan orang lain. Mereka cenderung lebih individualis. Padahal Islam mengajarkan kebermaknaan hidup manusia adalah saat ia banyak bermanfaat bagi orang lain.

Manipulasi Berpikir

Lebih lanjut, layar kaca saat Ramadhan pun seringkali menyajikan kuis yang tidak bermutu. Pertanyaan kuis seringkali “ngaco” dan sangat mudah dijawab tanpa harus berpikir. Padahal, manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah sebagai yang paling sempurna. Manusia hebat karena ia dibekali akal oleh Allah. Kelebihan manusia (Adam) dengan makhluk lain, karena ia mampu menyebut nama-nama benda yang tidak diketahui oleh malaikat sekali pun.

Sebagaimana tercermin dalam al-Qur’an Q.S. al-Baqarah (2: 31-33). “(31) Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat seraya berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama (semua) benda ini jika kamu yang benar!”. (32) Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (33) Allah berfirman, “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama itu.” Setelah dia (Adam) menyebutkan nama-namanya, Allah berfirman: “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?”

Kuis Ramadhan telah mendistorsi keagungan manusia dalam berpikir dan bertindak. Masyarakat dianggap bodoh oleh penyelenggara siaran atau produk sponsor. Sehingga tidak perlu harus bersusah payah guna mendapat hadiah jutaan rupiah, cukup dengan menjawab pertanyaan yang tidak bermutu.

Praktik siaran televisi inilah yang kemudian dikritik oleh Pierre Bourdieu, dalam On Television. Bourdieu menyebut bahwa televisi telah menghilangkan wacana intelektualitas manusia. Ia telah mengalihkan/memanipulasi kebebasan dan kehebatan berpikir manusia. Televisi dengan demikian mengajarkan “kebodohan”.

Literasi

Oleh karena itu, selayaknya umat sadar bahwa Ramadhan adalah momentum tepat untuk kembali kepada gerakan literasi. Ramadhan adalah bulan literasi, di mana masyarakat diminta kembali ke masjid membaca kita suci, mengkaji, dan juga mengamalkannya.

Ramadhan menjadi bulan yang efektif melakukan dakwah yang menggembirakan. Pasalnya, di bulan ini masyarakat terdorong dan tergerak untuk hadir ke berbagai kajian (ta’lim). Menggelorakan dakwah melalui kajian di masjid, akan menjadi wacana tandingan televisi yang sangat masif merasuk dalam alam bawah sadar manusia.

Pada akhirnya, mari memaknai Ramadhan dengan cara yang berbeda. Yaitu, kembali menggairahkan literasi melalui masjid sebagai pusat peradaban umat. Marhaban Ya (Televisi) Ramadhan.

Benni Setiawan
Benni Setiawan
Benni Setiawan, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan P-MKU Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute, Penulis Buku Keterasingan Pendidikan Nasional (2019).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.