Jumat, April 26, 2024

Raja dan Ratu Anti Korupsi

Marjono
Marjono
Alumnus Pascasarjana Universitas Semarang (USM), 2006, Kasubbag Materi Naskah Pimpinan Biro Umum Setda Provinsi Jawa Tengah, 2015-Sekarang, dan Penulis lepas

Sudah berapa orang koruptor yang menghuni lembaga pemasyarakatan? Sudah berapa modul pencegahan korupsi dicetak? Sudah berapa film dibuat untuk memasyarakatkan gerakan anti korupsi? Sudah berapa kali seminar, diskusi, workshop, pakta integritas dihelat dan dihelat? Sudah berapa kali OTT KPK?

Sejumput pertanyaan pendek itu rasanya semakin menghunjam manakala nyaris setiap hari ada saja para elit yang berperkara hukum dengan kejaksaan, kepolisian dan KPK akibat terlibat kasus korupsi. Komisioner KPU, Wahyu Setiawan ternyata tidak bersetia, karena menjadi tersangka koruptor terbaru di negeri ini.

Rompi orange tak pernah membuat jera, pemberitaan kasus di media hingga putusan hakim pun seolah tak mampu memutus mata rantai praktik korupsi. Nampaknya, pemberantasan korupsi itu hilang satu tumbuh seribu. Syafii Ma’arif memberikan predikat para koruptor tersebut dengan label tuna budaya.

Korupsi adalah salah satu dari sekian banyak tantangan besar yang kini sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Tidak ada jalan pintas untuk memberantasnya dan tidak ada jawaban yang mudah. Korupsi, tidak saja mengancam lingkungan hidup, hak asasi manusia, lembaga-lembaga demokrasi dan hak-hak dasar kemerdekaan, tetapi juga menghambat pembangunan dan memperparah kemiskinan jutaan orang. Itu semua lebih pada keringnya praktik nilai kebudayaan Jawa kita.

Untuk itu, tak kurang baiknya kita kembali kepada falsafah budaya yang sarat dengan kearifan lokal. Kita pernah diberikan warning oleh Ranggawarsita, “Jaman edan, yen ora ngedan ora keduman.” Kalimat tersebut tentu bukan ajakan untuk ikut arus, tapi sebaliknya mengingatkan kita untuk tidak ikut gila. Pada konteks luas, korupsi mungkin saja menjadi bagian tanda jaman edan. Ironisnya, praktik korupsi itu tak sedikit dilakukan oleh orang terpelajar, berpendidikan tinggi dan mapan.

Kita punguti nilai-nilai falsafah yang luhur, yang sekurangnya bisa menjadi rambu dan atau kopi pahit penyadaran agar kita tak terjebak pada praktik penyimpangan korupsi. Gusti ora sare. Kalimat seksi ini begitu bermakna dan bernyawa ketika kita mengedukasi anak-anak kita bahwa dimanapun, kapanpun kita selalu diawasi, dan Tuhan Maha Melihat apa yang kita perbuat, termasuk jika melakukan korupsi.

Nilai lainnya, yaitu sapa salah bakal seleh (siapa yang bersalah akan jatuh dan mundur), Aja cidra mundhak cilaka (jangan ngapusi biat tidak celaka). Sing nandur bakal ngundhuh (siapa berbuat bakal menikmati), jika menanam kebaikan maka keselamatan dan berkah selalu melekat, sebaliknya jika korupsi maka sanksi sosial dan hukum juga pengadilan Tuhan selalu menanti), maka jika berkorupsi balasan ketiganya selalu menunggu.

Kita buka lembaran Serat Wulangrehnya Sri Pakubuwana IV dalam pupuh Kinanthi, yaitu : Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, keprawiran den kaesthi, pesunen sariranira, sudanen dhahar lan  guling. (Latih dan biasakanlah dalam hati nuranimu, agar peka terhadap  pesan-pesan keutamaan, jangan hanya makan dan tidur, utamakan keperwiraanmu, kekang dan kendalikanlah ragamu, kurangi makan dan tidur).

Dadiya lakunireku, cegah dhahar lawan guling, lawan aja sukan-sukan, anganggowa sawatawis, ala watake wong suka, nyuda prayitnaning batin. (Jadilah lakumu, mencegah makan dan tidur, juga jangan larut dalam kegiatan bersenang-senang, bersikaplah serba secukupnya, buruk watak orang bersenang-senang, dapat mengurangi kewaspadaan batin). Saripati edukasi dari Kinanti di atas adalah sebuah upaya merebut budaya pengendalian diri untuk membasmi korupsi.

Kita bisa meneladani rekam jejak para tokoh, seperti Ratu Shima (Kalingga) dikenal adil dalam perkara hukum. Yang bersalah, baik rakyat, punggawa, maupun putra sendiri, bila bersalah dihukum setimpal. Ratu Shima merelakan hukuman potong tangan putranya karena mencuri uang.  Kemudian, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dari mulai kebijakannya membangun selokan mataram untuk irigasi dan menghindari kerja paksa (Romusha) masa penjajahan Jepang, bahkan saat ditilang Polisi pun ia pun tak mau menyuapnya, dll.

Satu lagi, Sang Pahlawan Pangeran Diponegoro yang menampar Patih Yogyakarta saat itu, Danurejo IV, dengan selopnya. Amarah Diponegoro itu, dipicu karena Danurejo berlaku korup dan menyalahgunakan kewenangan sebagai Patih. Danurejo memutus suatu kasus berdasarkan upeti yang paling banyak diberikan oleh pihak yang berperkara.

Pelajaran Besar

Tigal hal besar dari pelajaran Pangeran Sambernyowo KGPAA Mangkunegoro I (1725-1795), yakni merasa wajib ikut merasa memiliki (melu handarbeni), wajib ikut mempertahankan (melu hangrungkebi),  mawas diri dan memiliki sifat berani untuk kebenaran (mulat sariro hangrasa wani). Falsafah ini sangat cocok jika dikaitkan dengan upaya kita memberantas korupsi.

Sampai hari ini kampanye pencegahan korupsi oleh KPK laku keras, seperti sekolah KPK, LHKPN dan jalur kebudayaan lainnya apalagi penindakannya dengan OTT, pergerakan KPK selalu didukung rakyat. Bahkan ada sebuah tulisan, melawan KPK sama halnya melawan rakyat.

Untuk mengkampanyekan semangat anti korupsi dan perang melawan korupsi, bisa lewat gelaran seni budaya untuk menyebarluaskan spirit dan aksi memberantas korupsi. Baru-baru ini di Jawa Tengaha telah dikukuhkan duta integritas yang berasal dari pelajar SMA/SMK untuk menyebarkan virus pencegahan korupsi kepada generasi muda dan publik.

Apapun kegiatannya bisa dioptimalkan untuk menyebarkan nilai keutamaan anti korupsi kepada seluruh lapiran warga yang punya core universal. Misalnya, festival desa, pengajian, kerja bhakti, merti desa, ular-ular temanten, dll – dengan konten-konten spirit anti korupsi.

Sudah saatnya kita kembali ke basis, ke pangkuan ibukandung, yakni nilai falsafah budaya. Falsafah, nilai budaya itu tak cukup disematkan pada meja kerja, dinding sekolah, ruang kelas/kuliah, ruang pimpinan maupun ruang publik sekalipun, terpenting adalah praktik implementasi dan role model dari para elit yang berdampak hingga grassroots.

Jangan biarkan para koruptor berlagak bak raja dan ratu, tetapi perilakunya jauh panggang dari api sosok raja dan ratu (sesungguhnya).

Let’s against corupptions, start now

Marjono
Marjono
Alumnus Pascasarjana Universitas Semarang (USM), 2006, Kasubbag Materi Naskah Pimpinan Biro Umum Setda Provinsi Jawa Tengah, 2015-Sekarang, dan Penulis lepas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.