Jumat, April 19, 2024

Raja Ampat dan Mereka yang Tak Dapat Bersekolah

Rusydan Fathy
Rusydan Fathy
Research Center for Society and Culture - Indonesian Institute of Sciences (P2KK - LIPI) | Email: rusydan.fathiy@lipi.go.id / rusydanfathy@gmail.com

Sejak krisis 1998, angka kemiskinan di Indonesia per Maret 2018 diklaim merupakan keberhasilan Pemerintah mengentaskan kemiskinan sejak dua dasawarsa terakhir. Berdasarkan survey yang dilakukan BPS, angka kemiskinan di Indonesia berada pada angka 9,82 persen atau 25,95 juta penduduk miskin (BPS, 2018). Namun demikian, statistik dan angka kuantitatif tersebut tidak seutuhnya menggambarkan kondisi ril kualitas kehidupan masyarakat Indonesia.

Bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, berada pada posisi pertama dan kedua tertinggi angka kemiskinannya. Tak kurang dari 1/5 masyarakat Papua hidup di bawah garis kemiskinan versi BPS. Khusus Papua Barat, komoditi penyumbang angka kemiskinan terbesar baik di perkotaan maupun di perdesaan pada tahun 2018 adalah makanan, masing-masing sebesar 72,29 dan 80,58 persen (BPS Papua Barat, 2018). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua Barat adalah yang terendah kedua setelah Papua, yaitu sebesar 62,99.

Terkait dengan IPM, Kabupaten Raja Ampat memiliki angka beban ketergantungan sebesar 58,15 persen (BPS Raja Ampat, 2019). Artinya, setiap 100 penduduk usia produktif menanggung sebanyak 58 sampai 59 penduduk usia non produktif. Di sektor pendidikan pada kelompok penduduk usia 7-24 tahun, terdapat 30,91 persen (laki-laki) dan 27,06% (perempuan) yang tidak bersekolah lagi (BPS Raja Ampat, 2018). Untuk kelompok usia 19-24 tahun baik laki-laki maupun perempuan, sebanyak 75,37 persen tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi (BPS Raja Ampat, 2018). Kabupaten Raja Ampat sendiri, hanya terdapat 109 unit SD, 36 unit SMP dan 21 Unit SMA yang tersebar di 24 kecamatan (BPS Raja Ampat, 2018).

Pendidikan formal merupakan hal penting untuk meningkatkan kualitas modal manusia. Oleh karena itu, pendidikan yang diukur melalui angka partisipasi sekolah menjadi indikator dalam menentukan IPM. Tingginya angka putus sekolah di Raja Ampat merupakan masalah serius bagi pemerintah.

Di sisi lain, pertautan yang global dan lokal menuntut setiap lokalitas meningkatkan kapasitas dan daya saing masyarakatnya. Terlebih, pengembangan pariwisata Kepulauan Raja Ampat yang terus dilakukan mau tidak mau harus diimbangi dengan perkembangan masyarakatnya. Pemerintah dituntut untuk melakukan pembangunan infrastruktur fisik yang beriringan dengan pembangunan infrastruktur sosial (kesehatan dan pendidikan).

Masyarakat Papua umumnya memiliki potensi modal sosial yang baik yang diukur misalnya dari kekayaan nilai-nilai dan norma-norma informal termasuk di dalamnya kelembagaan informal. Jika pengetahuan dan keyakinan lokal tersebut dipadukan dengan keterampilan dan keahlian personal (modal manusia), percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.

Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang dimiliki Papua seharusnya dapat dimaksimalkan, bukan hanya di sektor ekonomi dan pariwisata, melainkan juga di sektor pendidikan. Dalam periode 2002-2016, secara kumulatif jumlah dana otsus yang diterima oleh Papua mencapai 59,2 Trilyun, yang terdiri dari dana otsus 47,9 Trilyun dan dana tambahan infrastruktur 11,3 Trilyun.

Kabupaten/Kota mendapatkan porsi 80 persen dari dana otsus tersebut, dimana minimal 30 persennya harus dialokasikan untuk pendidikan. Dengan anggaran yang begitu besar, tentu sangat berbanding terbalik dengan kondisi sebagian besar masyarakat Papua yang  masih terjerat kemiskinan.

Di sisi lain, Kabupaten Raja Ampat memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) setahun sebesar 15 Milyar, dimana 3 Milyar berasal dari industri pariwisata. Namun, dibalik gemerlapnya Raja Ampat sebagai destinasi wisata dunia, wajah kemiskinan yang terefleksikan oleh masyarakat asli begitu jelas terlihat.

\Keterisolasian membuat tingginya biaya hidup, sehingga menyulitkan pemenuhan layanan dasar. Terdapat masyarakat yang termarjinalisasi dari pendidikan, khususnya masyarakat Kabupaten Raja Ampat menilai pendidikan sebagai barang mewah. Di Pulau Mainyafun misalnya, untuk melanjutkan ke sekolah menengah, harus pergi ke Waisai, dengan biaya sekitar Rp1,3 juta satu arah dan sekitar empat jam naik perahu kaca fiber, dan kerap tanpa peralatan keamanan (https://theconversation.com/di-balik-keindahan-raja-ampat-ada-yang-miskin-dan-telantar-85912).

Dibalik keindahan surga dunia gugusan kepulauan Raja Ampat, banyak rumah tangga berjuang untuk keluar dari jerat kemiskinan (Yunus, 2014). Padahal, dana sebesar 34 milyar telah digelontorkan dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Hal tersebut, menurut Scout (dalam Yunus, 2014) disebabkan bahwa PNPM lebih berwujud sebagai proyek ketimbang program karena tidak didukung dengan peraturan undang-undang yang jelas serta buruknya koordinasi antar lemabaga terkait.

Selain itu, menurut Scout (dalam Yunus, 2014) PNPM juga masih memunculkan peluang terjadinya korupsi di setiap jenjang oleh elit lokal karena dana yang disalurkan melalui struktur birokrasi. Kondisi itu diperparah dengan diabaikannya partisipasi masyarakat dalam program PNPM. Dengan demikian, masyarakat telah diabaikan dari skema kebijakan. Padahal, dalam upaya pemberdayaan masyarakat harus mengedepankan kebijakan yang lebih bersifat bottom up ketimbang top down. 

Kompleksitas permasalahan di Papua perlu diselesaikan dengan cermat. Bukan hanya persoalan kemiskinan dan rendahnya kualitas sumber daya manusia, melainkan persoalan keterisolasian, konflik kepentingan, politik identitas dan kekerasan.

Dalam hal pendidikan khususnya, terdapat beberapa masalah yang dapat diidentifikasi, yaitu (1) terbatasnya jumlah sarana dan pra sarana pendidikan, (2) sulitnya mengakses layanan pendidikan, dan (3) kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Ketiga hal tersebut berimplikasi pada rendahnya kualitas modal manusia mereka. Namun, yang perlu disorot adalah bahwa masalah-masalah tersebut berkelindan dengan masalah paradigma pembangunan yang digunakan.

Paradigma pembangunan yang terlihat masih berorientasi pertumbuhan ekonomi semata, tidak tepat diimplementasikan, mengingat pembangunan atau perencanan wilayah harus juga bergerak dalam kerangka pembangunan sosial budaya. Meningkatnya pendapatan nasional ternyata mampu membuat ketimpangan ekonomi masyarakat semakin tajam.

Hal itu disebabkan adanya penguasaan akses sumber daya oleh segelintir kelompok pada strata sosial ekonomi teratas. Oleh karenanya, diperukan strategi pembangunan yang bersifat Community Based Empowerment atau Community Driven Development, yaitu inisiasi pembangunan berbasis masyarakat. Dengan pendeketan tersebut, potensi-potensi di dalam sebuah komunitas masyarakat lokal dalam upaya mengembangkan modal sosial mereka dapat dimaksimalkan. Pelibatan komponen masyarakat dalam skema kebijakan sangatlah diperlukan terutama untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan mereka.

Lebih penting lagi, hal itu diperlukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam skema kebijakan. Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan sebuah paradigma pembangunan inklusif yang memiliki beberapa kesamaan prinsip dalam pengembangan modal sosial masyarakat.

Referensi:

bps.go.id

rajaampatkab.bps.go.id

theconversation.com

Yunus, Ahmad. 2014. 15 Tahun PNPM Perdesaan (1998-2013): Pembangunan Berbasis Komunitas Terbesar di Dunia. KataData.

Rusydan Fathy
Rusydan Fathy
Research Center for Society and Culture - Indonesian Institute of Sciences (P2KK - LIPI) | Email: rusydan.fathiy@lipi.go.id / rusydanfathy@gmail.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.