Diskusi perihal radikalisasi masih menjadi topik yang menarik untuk dibahas, terlebih radikalisasi yang berafiliasi pada agama, terutama Agama Islam. Setidaknya ada beberapa sebab musabab yang membuat topik ini masih menarik untuk dikaji dan dibahas lebih komprehensif.
Pertama, Indonesia menjadi negara dengan keragaman dan perbedaan yang cukup tinggi. Ada banyak bahasa, budaya, bahkan agama sendiri juga tumbuh subur dengan variannya masing-masing. Sehingga keberadaan radikalisasi Agama Islam cenderung akan mengancam eksistensi keanekaragaman dengan jargonnya kembali pada sumber asli. Keanekaragaman tersebut banyak diperangi melalui ideologi, fisik, maupun opini yang ada di berbagai media.
Kedua, Agama Islam menjadi agama mayoritas yang dianut oleh warga negara Indonesia. Lebih dari 80% warga Indonesia beridentitaskan Islam, minimal jika ditilik dari kartu tanda penduduk.
Oleh karena itu, umat Islam memiliki peran penting dalam keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara, meskipun tidak menafikkan peran umat dari agama yang lain. Idealnya, dalam konteks berbangsa dan bernegara, tidak peduli mayoritas maupun minoritas, ‘harusnya’ saling bekerja sama. Tapi radikalisasi Agama Islam justru menghendaki berdirinya negara Islam dengan dalih memiliki kuantitas yang banyak jika dibanding umat agama lain. Bukankah ini sebuah alasan yang cukup dipaksakan?
Saya rasa bangsa Indonesia masih beruntung. Sebab tidak semua umat beragama, khususnya umat Islam setuju dengan ide-ide kelompok radikal. Sebut saja Gus Dur, Quraisy Syihab, Amin Abdullah, Azyumardi Azra, Gus Mus, dan sederet tokoh sekaligus masyarakat awam lainnya masih memegang teguh Indonesia sebagai negara yang melestarikan keragaman di berbagai unsurnya. Bukan Indonesia sebagai negara Islam.
Namun mereka (kelompok radikal) juga tidak menyerah begitu saja untuk mewujudkan visi dan misinya. Berbagai upaya juga dilakukan untuk mempengaruhi masyarakat Indonesia agar setuju dengan ide-ide yang mereka bawa. Salah satu contoh kasusnya seperti artikel yang ditulis oleh Edi Susanto dengan judul ‘Radikalisasi Kehidupan Keberagamaan Perspektif Sosiologi Pengetahuan Di Kabupaten Pamekasan’. Artikelnya bisa ditemui di Jurnal Nuansa, volume 11, nomor 1 Januari-Juni 2014.
Artikel ini dilatar belakangi oleh banyaknya kasus pengeboman di berbagai wilayah di Indonesia yang banyak memakan korban jiwa, sekaligus menimbulkan banyak kerugian. Selain itu, arus informasi yang semakin beragam dan mudah diakses membuat masyarakat menjadi kurang selektif. Akibatnya, ide-ide radikalisasi yang menjadi salah satu bagian dari arus informasi juga ikut dikonsumsi oleh masyarakat. Dalam konteks ini masyarakat di Kabupaten Pamekasan.
Secara istilah, radikalisasi didefinisikan sebagai upaya untuk kembali ke akarnya. Istilah ini kerap disandingkan dengan fundamentalis. Dalam konteks Agama Islam dikenal dengan gerakan salafi. Gerakan salafi dianggap radikal karena gigih dan ekstrem menganggap bid’ah atau sesat terhadap praktik dan pemahaman keagamaan yang tidak sama dengan kelompoknya (hlm. 211-212).
Kehidupan umat beragama di Kabupaten Pamekasan sendiri sebenarnya cukup dinamis dan terbuka. Ada banyak aliran dari Agama Islam yang diterima oleh masyarakat disana. Tidak hanya NU dan Muhammadiyah saja, melainkan persis, LDII, dan aliran-aliran radikal juga ada. Ini bisa menjadi bukti bahwa Indonesia menjadi tanah yang subur untuk tumbuh dan berkembangnya keanekaragaman, khususnya di wilayah Kabupaten Pamekasan.
Menurut beberapa narasumber yang diwawancari dalam artikel tersebut mengungkapkan bahwa radikalisasi di Kabupaten Pamekasan sulit untuk berkembang. Kalaupun mengalami perkembangan, tidak akan terjadi secara instan dan membutuhkan waktu yang relatif lama. Sebab ajaran yang dibawa oleh kelompok radikal bertentangan dengan budaya yang ada di Kabupaten Pamekasan. Selain itu, masih banyak masyarakat yang berkiblat pada pondok pesantren dalam memecahkan berbagai persoalan agama, terutama yang terletak di pedesaan.
Wacana-wacana radikalisasi di Kabupaten Pamekasan ini didistribusikan melalui radio Raja’. Bapak Suharniyanto, salah satu narasumber dalam artikel tersebut mengatakan “di Masjid Ridwan sangat getol sekali menyuapkan paham radikal kepada jemaahnya.
Baik melalui khutbah Jum’at maupun siaran relay Radio Raja’ setiap pagi dan sore, jelas itu membentuk karakter dan perilaku keislaman pendengar dan jamaahnya. Saya pernah shalat Jum’at di Masjid tersebut karena terlambat pulang kantor, khatib di situ yang dibicarakan adalah bid’ah, khurafat dan syariah Islam perlu diterapkan agar terbebas dari suasana yang menindas dan berkeadilan” (hlm. 225).
Dampak Radikalisasi
Radikalisasi semacam ini, dimana pun tempatnya, tidak selamanya negatif untuk masyarakat. Sebenarnya juga mempunyai hikmah positif yang dapat diambil. Seperti sunnatullah yang lainnya, ada baik ada buruk, ada malam ada siang, ada laki-laki ada perempuan, termasuk keberadaan radikalisasi sendiri. Ada dampak positif dan ada dampak negatifnya.
Secara langsung, dampak negatifnya mungkin lebih banyak jika dibanding dampak positif. Munculnya gesekan-gesekan, pelaku radikalisasi tidak diterima baik oleh masyarakat, muncul konflik, mengancam integrasi dan solidaritas di masyarakat, sampai-sampai menghilangkan nyawa orang lain menjadi beberapa dampak negatif yang dapat dirasakan.
Terlepas dari itu, diakui atau tidak, upaya untuk belajar Agama Islam menjadi lebih intensif. Minimal orientasinya untuk membendung gerakan-gerakan radikalisasi. Selain itu, masyarakat juga semakin menyadari bahwa perbedaan itu niscaya adanya. Sehingga segala bentuk keseragaman yang diupayakan oleh kelompok radikal cenderung berpotensi mengalami kegagalan.
Terakhir, artikel ini bisa dijadikan rujukan dalam penelitian-penelitian serupa, terutama yang berada di Kabupaten Pamekasan. Karena artikel ini masih menyisakan ruang-ruang untuk dikaji lebih lanjut. Sejarah masuknya radikalisasi, solusi jika terjadi konflik dengan masyarakat awam, kemudian bagaimana bentuk daya tahan masyarakatnya, dan berbagai topik lainnya masih layak untuk didiskusikan lagi. Demikian.
Tulisan ini merupakan salah satu tugas
dari mata kuliah ‘Sosiologi Pengetahuan’