Beberapa hari lagi, Indonesia akan menghadapi dua peringatan besar yakni Hari Santri Nasional (HSN) pada tanggal 22 Oktober dan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober. Kedua momen ini memberikan dampak signifikan bagi pembentukan karakter bangsa. Jika peringatan sumpah pemuda mengacu kepada Kongres Pemuda II yang dilaksanakan pada 28 Oktober 1928 sebagi tonggak awal pembentukan nasionalisme Indonesia.
Sedangkan hari santri nasional berkaca pada munculnya Resolusi Jihad yang ditandatangani oleh Rais Am Nahdlatul Ulama KH Hasjim Asj’ari pada 22 Oktober 1945 sebagai bentuk dukungan kalangan santri bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tentu hal ini adalah momentum untuk merefleksikan kembali perjalanan bangsa sejak pra kemerdekaan hingga saat ini dan seterusnya. Sehingga tidak dapat berhenti pada ranah seremonial saja. Meski berasal dari latar belakang yang berbeda, namun titik temu dari kedua momen tersebut yaitu sebagai simpul perjuangan anak bangsa dalam mempertahakan kemerdekaan.
Jika berkaca dari kejadian yang terjadi beberapa hari lalu tepatnya tanggal 13 Oktober 2025, terdapat hal memilukan bagi kalangan santri yakni adanya program bernama Xpose Uncensored yang ditayangkan di Trans7 dengan episode yang bertajuk “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?” yang membahas kehidupan santri di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri ( Jawa Pos+3delik.tv+3Antara News Mataram+3).
Selain itu Tayangan tersebut dianggap menyajikan narasi dan visualisasi yang provokatif, menghina tradisi penghormatan santri kepada kiai, bahkan menyudutkan pondok pesantren sebagai institusi. (delik.tv+3Antara News Bengkulu+3Antara News Mataram+3). Tak ayal tayangan tersebut menimbulkan polemik, hingga akhirnya PBNU, MUI, HIMASAL (Himpunan Santri Alumni Lirboyo) melayangkan protes keras kepada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan Kepolisian RI atas dasar pelanggaran UU Penyiaran dan SARA (MUI+2Megapolitan ANTARA News+2). Kemudian pihak Trans7 pun meminta maaf atas gejolak yang timbul dan berjanji untuk melaksanakan koreksi kepada program tayangan (Antara News Mataram).
Kejadian ini tentu sangat disayangkan, karena selain berdampak memecah kesatuan anak bangsa, hal ini pun dapat menjadikan kalangan pesantren semakin menjadi sasaran empuk media juga masyarakat. Selain itu, kesalahpahaman akan pesantren menjadi semakin melebar. Tentu masalah ini cukuplah sampai disini saja, jangan lagi berlarut dalam kekacauan. Terlebih sebentar lagi Hari Santri Nasional akan dirayakan secara massal oleh pesantren se-Indonesia. Pastinya harapan pemuda juga santri menginginkan negara ini lebih baik dari sebelumnya. Akan tetapi, adanya peristiwa penayangan dari program dibawah Trans7 menjadikan “kado pahit” bagi komunitas keagamaan.
Memasuki tahun 2025, Indonesia berada pada fase transformasi digital yang sangat cepat. Teknologi kecerdasan buatan, media sosial, dan globalisasi informasi telah mengubah cara masyarakat berpikir, berinteraksi, dan membentuk opini publik. Di sinilah peran santri dan pemuda digital menjadi krusial.
Santri masa kini tidak lagi hanya mengaji di pesantren, tetapi juga berdakwah melalui ruang digital: membuat konten islami, mengembangkan aplikasi keislaman, atau memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan pesan moderasi. Demikian pula, pemuda tidak cukup hanya bersemangat nasionalis, tetapi harus melek digital, kritis terhadap informasi, dan kreatif menghadirkan solusi bagi bangsa.
Refleksi tahun 2025 menuntut sinergi antara spirit religiusitas dan inovasi teknologi. Islam mengajarkan “khairunnas anfa‘uhum linnas”—sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Nilai ini sejalan dengan semangat Sumpah Pemuda: meniadakan sekat primordial demi kemaslahatan bangsa.
Di era keterbukaan informasi, tantangan ideologis semakin kompleks. Radikalisme, intoleransi, disinformasi, dan degradasi moral menjadi ancaman nyata. Di sinilah nilai-nilai wasathiyyah (moderasi beragama) yang telah lama hidup di pesantren harus diperkuat. Santri diharapkan menjadi benteng moral yang menyaring nilai-nilai global agar tetap sesuai dengan prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin.
Sementara pemuda dihadapkan pada krisis identitas akibat derasnya arus budaya luar. Oleh karena itu, penguatan pendidikan karakter, literasi digital, dan nasionalisme berbasis nilai menjadi agenda strategis agar mereka tidak kehilangan arah di tengah arus globalisasi.
Semoga dengan adanya kejadian pada 13 Oktober 2025 menjadikan segenap anak bangsa untuk tetap intropeksi diri juga mencoba untuk saling memahami antara satu dengan yang lain.