Akhir-akhir ini Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) sedang menjadi perbincangan publik. Ada optimisme, ada pula pesimisme menyelimuti berbagai wacana mengenai perkembangan penyebaran virus ini.
Bagaimana tidak, hingga Maret 2020, virus corona telah menyebar ke 108 negara, termasuk Indonesia. Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) pun telah mengumumkan status Covid-19 menjadi pandemi global.
Di Indonesia sendiri, penyebaran virus corona baru (Covid-19) sangatlah masif. Sejak terdeteksi 2 orang positif Covid-19 pada 2 maret lalu, hingga Sabtu sore (21/3), pasien positif Covid-19 telah mencapai 450 orang. Dari jumlah tersebut, 38 di antaranya meninggal dunia dan 20 orang lainnya dinyatakan sembuh. Ironisnya, Covid-19 juga telah menyebar ke 17 provinsi yang ada di Indonesia
Seiring meningkat dan meluasnya penyebaran virus Corona, Pemerintah Indonesia langsung mengambil beberapa kebijakan strategis. Beberapa langkah tersebut diantaranya menetapan Covid-19 sebagai bencana nasional, menerapkan strategi pelacakan (contact tracking) dalam mendeteksi penyebaran, serta membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang di pimpin langsung oleh Kepala BNPB Doni Monardo.
Jurnalis The Washington, Post Harry Stevens dalam artikelnya berjudul “Why outbreaks like coronavirus spread exponentially and how to ‘flatten the curve'” menjelaskan ada empat skenario dalam menangani pandemi corona. Skenario itu adalah tanpa pembatasan gerak sosial, isolasi penuh satu kawasan (lockdown), pembatasan gerak sosial dua per tiga dari penduduk di suatu kawasan (semi lockdown), dan jarak sosial (social distancing).
Dari empat skenario yang dijelaskan Stevens, pemerintah indonesia memilih kebijakan pembatasan aktivitas sosial atau social distancing guna menakan penyebaran virus Covid-19 di Indonesia. Kebijakan ini dianggap lebih cocok dibandingkan kebijakan lockdown atau semi lockdown.
Sebab, kebijakan lockdown barangkali bisa cepat memicu kecemasan publik bahkan chaos ekonomi, sosial, maupun keamanan. Negara yang berhasil menerapkan strategi social distancing ini adalah Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura.
Istilah “social distancing” memang baru popular beberapa waktu terakhir ini. Spesialis penyakit menular Steven Gordon, MD dari Cleveland Clinic menjelaskan bahwa social distancing adalah masyarakat diminta untuk menghindari pertemuan besar atau kerumunan orang dan jaga jarak dengan orang lain sekitar 6 kaki (2 meter)”. Sederhananya, cara ini mengharuskan kita untuk menjaga jarak satu sama lain sehingga virus tidak dapat menyebar dari satu orang ke orang lain.
Namun apabila melihat realitas dilapangan, kebijakan pembatasan sosial (social distancing) ini nampaknya belum berjalan optimal. Terbukti dengan masih ramainya jalan-jalan besar, supermarket dan mall yang belum menerapkan jarak antar orang. Bahkan dalam beberapa kasus, banyak orang tua yang menggunakan waktu libur sekolah anaknya untuk liburan keluarga. Agaknya masyarakat Indonesia masih belum terlalu punya kesadaran untuk menerapkan hal itu.
Di sisi lain, masih ada jutaan buruh industri padat karya di Indonesia yang harus menjalankan aktivitas pekerjaan seperti biasa. Mereka kerja berdempetan dalam satu ruangan untuk waktu yang lama tanpa disediakan masker dan sanitizer, menyebabkan mereka rentan terinfeksi dan terancam nyawanya.
Padahal, Marcus Cicero bernah berujar “salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi)”. Artinya, sebuah kebijakan harus menciptakan keamanan, ketertiban, kesejahteraan serta kemakmuran rakyat.
Pada kondisi seperti ini, kehadiran dan ketegasan pemerintah sangat di perlukan. Pemerintah perlu membuat regulasi yang jelas dan mengikat guna melokalisir, menetralisir dan mitigasi lokasi-lokasi rawan Covid-19 dari aktivitas publik. Tanpa adanya regulasi itu, mobilitas publik akan selalu tetap ramai. Hal ini membuat kurva penyebaran virus antar orang akan berjalan lebih cepat dan meningkat.
Selain penerapan social distancing yang belum maksimal, kecepatan Indonesia mendeteksi virus Covid-19 dengan strategi pelacakan (contact tracking) juga masih berjalan lamban. Dalam protokol yang dijalankan pemerintah, uji spesimen hanya bisa dilakukan terhadap PDP yang telah mendapat rujukan dari tenaga kesehatan. Akibatnya, kasus Covid-19 yang terdeteksi hanyalah pada pasien yang telah menderita gejala berat, sementara orang-orang yang terinfeksi namun belum menunjukkan gejala tidak terverifikasi dengan baik.
Oleh karenanya, rencana pemerintah untuk melakukan skrining massal dengan metode “rapid test” merupakan langkah yang tepat. Skrining ini dapat dilakukan terhadap masyarakat luas (community based) yang berada di wilayah yang diduga menjadi tempat penyebaran Covid-19. Tentunya strategi ini harus dibarengi dengan persiapan matang, fasilitas medis dan layanan kesehatan yang memadai, serta sinergitas dari berbagai pihak.
Dalam hal ini, kita bisa belajar dari strategi Korea Selatan yang berhasil melakukan deteksi dini secara masif. Disana setiap hari ada sekitar 20 ribu warga yang melakukan uji laboratorium, bahkan di Kota tertentu terdapat “drive thru clinics” untuk menjangkau semua masyarakat melakukan tes virus. Strategi ini berhasil membawa Korea Selatan untuk meminimalisir jumlah korban yang terpapar virus Covid-19 tersebut.
Perlu Kesadaran Bersama
Berkaca dari negara-negara yang terpapar parah pandemi corona seperti Korea, Italia, China, dan negara lainnya, pelajaran yang dapat kita petik ialah virus corona menyebar begitu cepat dan sangat mematikan. Virus itu bisa menginfeksi siapa pun tanpa mengenal usia, jabatan, ras, dan agama. Karena itu, harus ada kesadaran bersama untuk mengambil bagian dalam melawan musuh mematikan itu.
Dalam konteks ini, pemerintah memiliki peran sebagai “political power” dalam membuat kebijakan. Penanganan secara serius, terstruktur, dan sistematis perlu dilakukan pemerintah secara cepat sebelum spektrum virus semakin sulit dikendalikan. Layanan mobile kesehatan tiap daerah perlu dioperasikan secara intens dan masif. Pemerintah juga perlu memaksimalkan peran teknologi informasi untuk membuka akses peta persebaran virus corona secara transparan kepada masyarakat
Selain peran pemerintah, keterlibatan tokoh poblik dan pemuka agama juga memiliki peranan penting dalam menanggulangi persebaran Covid-19. Mereka bisa berperan sebagai “knowledge power” dalam mengedukasi masyarakat akan bahaya Covid-19. Tentunya upaya ini harus sinergis dengan strategi pemerintah. Tak ada waktu lagi untuk berdebat dan saling menyalahkan, kecuali bergerak bersama-sama menangkal covid-19.
Di atas semua itu, mari kita biasakan pola hidup sehat mulai dari diri dan lingkungan kita. Jaga selalu kebugaran diri dan kebersihan lingkungan sebagai ikhtiar kita melawan berbagai macam virus mematikan. Karena dalam kondisi darurat virus seperti saat ini, hidup sehat dengan lingkungan sehat sudah bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan.