Dalam sejarah Islam, gerakan puritan paling tidak muncul ketika Khawarij muncul. Prinsipnya, setelah Nabi Muhammad wafat umat Islam kembali tergantung pada kesukuan, bukan kepada agama. Purifikasi bertujuan memurnikan ajaran agama dari noda-noda yang diakibatkan dari ketergantungan kesukuan.
Sebenarnya munculnya gerakan puritan bukan dimulai saat Islam muncul. Kita tentu ingat dulu, Galileo Galilei dihukum oleh gereja, dianggap melawan Gereja karena menyebarkan paham bumi mengelilingi matahari.
Bukan matahari yang mengelilingi bumi. Saat itu gereja beranggapan bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Secara formal apa yang dilakukan gereja tidak disebut sebagai gerakan puritan. Tetapi sikap defensif gereja menunjukkan bahwa mereka menginginkan ajaran mereka murni menurut pandangan mereka.
Di luar itu semua, saya kira kecenderungan untuk menjaga kemurnian selalu dimiliki oleh penganut agama apa pun. Khawarij yang perlahan hilang dimakan sejarah tidak sepenuhnya hilang. Prinsip purifikasi diteruskan. Seakan memang sengaja dilestarikan. Sampai sekarang.
Di satu sisi sebenarnya tidak buruk. Asalkan prosesnya berprinsip pada kemaslahatan. Namun tidak jarang yang terjadi bukan seperti itu. Bagi penganutnya ada yang terlupa. Agama dianggap sebatas ritual, juga rumbai-rumbai yang berorientasi pada tanda–tanda fisik tertentu yang sebenarnya tidak substantif.
Ritual agama dan akhlak tidak terpisah. Ritual agama adalah jalan dan akhlak adalah tujuan. Ritual agama bertujuan supaya berakhlak baik. Kalau seseorang berakhlak baik ritual ibadah pun akan dengan sendirinya dilaksanakan tanpa perlu dipaksa. Ritual dan akhlak sosial bersifat ulang alik dan terikat.
Oleh karenanya agama tidak melulu ibadah, tidak melulu persoalan fiqih, yang entah mengapa seringkali baik ibadah secara khusus atau persoalan fiqih secara umum dilinierkan dengan tanda–tanda fisik yang bersifat Arabic, misalnya dalam pakaian, atau tanda fisik seperti jenggot.
Nabi Muhammad telah mengabarkan, “Innamaa bu’itstu liutammima makarimal akhlaq.” Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq, kata beliau. Bukan untuk maniak fiqih atau maniak fashion Arab.
Gerakan puritan, terutama yang kekinian, dapat dilihat, gejala yang berkembang seringkali hanya berurusan dengan ibadah dan fiqih. Persoalan akhlaq diabaikan. Bahkan, ibadah dan fiqih yang terkesan dipisahkan dari akhlak jadi berpotensi melanggar akhlak.
Islam dan Arab berbeda. Islam memang lahir di tengah budaya Arab. Islam adalah agama yang datangnya langsung dari Allah. Budaya Arab ada hasil kreatifitas manusia Arab. Maka, Islam seharusnya tidak terikat oleh budaya Arab. Islam bisa masuk di budaya mana pun.
Islam bisa masuk ke suatu daerah karena telah melakukan penyesuaian – penyesuaian yang dinamis. Sehingga Islam bisa diterima dengan mudah tanpa menimbulkan gesekan – gesekan dengan masyarakat dan budaya lokal yang berakibat fatal.
Dalam hal itu, kita bisa lihat Wali Songo. Penyebar agama Islam di Nusantara.
Pada abad 7 – 8 Masehi Agama Islam masuk di Nusantara dibawa oleh pedagang Arab. Islam tidak berkembang pesat. Pada abad 14 Masehi islam dibawa oleh para Wali. Dan berkembang pesat tanpa gesekan – gesekan yang berarti.
Itu bisa terjadi karena para wali melakukan penyesuaian yang dinamis. Misalnya, Sunan Kalijaga dengan wayang kulit dan tembang-tembangnya.
Jauh sebelum itu Allah, dan Rasulnya sudah melakukan itu, bahkan di ritual wajibnya, haji. Orang Quraisy yang pagan sudah melakukan thawaf. Oleh Allah dan Rasulnya thawaf yang awalnya syarat akan kemusyrikan, tidak tertuju kepada Allah, diganti dengan ketauhidan yang seharusnya.
Jika dilihat dari segi niatnya, purifikasi tidak buruk. Menghilangkan kerikil – kerikil yang menghalangi jalan menuju Allah. Tetapi jika dilihat gejala kekinian, saya kira purifikasi menjadi tampak membingungkan dan tidak tepat sasaran.
Gerakan purifikasi, terutama di Indonesia, selalu berfokus menghilangkan kolaborasi antara islam dan budaya jawa seperti tahlilan kematian, ziarah kubur, nyadran. Selain itu juga ilmu – ilmu dan budaya leluhur lain (yang dianggap musyrik oleh kaum puritan) diganti dengan Islam yang Arab.
Mereka selalu menyuarakan bahwa yang melakukan sesuatu tidak seperti yang dilakukan Nabi Muhammad akan masuk neraka, dan kalau bisa persis, mungkin sampai sesuatu yang detail dalam kehidupan Nabi, seperti posisi tidur, cara berjalan akan masuk surga.
Kalau seperti itu, mengapa Allah menakdirkan kita lahir di Indonesia, dengan beragam budayanya, juga lahir di zaman yang jauh berbeda dengan zaman Nabi Muhammad hidup? Bukankah kita wajib menjadi seperti yang dikehendaki Allah? Apakah segala keragaman yang ada di dunia ini muaranya adalah supaya semua orang di dunia mau berproses menjadi orang Arab?
Lagi pula, daripada sibuk menyalahkan orang tahlilan, ziarah kubur, nyadran, shalawatan agaknya lebih baik menyibukkan diri membimbing akhlak para koruptor supaya tidak semakin membuat negara bangkrut.