Mantra-mantra adalah nyanyian langit. Ditangkap oleh para mistikus sebagai nyanyian jiwa. Di dalamnya bertumpuk rahasia langit. Mungkin rahasianya rahasia. Itulah mengapa mantra oleh para pelakunya juga dihayati sebagai bisikan Ilahiah. Betapa pun rahasianya, bisikan langit itu tetap dijelmakan menjadi rapalan manusia. Sebagiannya malah dipahatkan menjadi tulisan ala bumi.
Begitulah kutipan tulisan yang berjudul Mantra, Jawa ditulis Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) IAIN Tulungagung, Akhol Firdaus.
Tulisan tersebut menjadi bahan referensi untuk mendekati fenomena Didi Kempot. Penyanyi bernama asli Diniosios Prasetyo ini mampu menempatkan genre musik campur sari dipangung hiburan nusantara. Bersama Godfather Broken Heart, campur sari melintas batas segmentasi. Tidak hanya tinjauan musikal. Tetapi batas kultural. Di mana campur sari dinyayikan dengan lafal bahasa Jawa kulonan. Dengan kosakata krama alus.
Bersama Didi Kempot campur sari menjadi identitas sosial. Sebuah artikulasi individu ditengah keterbukaan modernitas dan perubahaan paradigma selera bermusik. Hanya dengan frasa Ambyar, Didi Kempot mampu mengikat artikulasi tersebut menjadikan campur sari sebagai kiblat selera musik di era digital.
Ya, Dengan syair yang bertemakan patah hati. Didi Kempot mampu menjadi kiblat baru selera bermusik tanah air. Tanpa sungkan-sungkan, Didi Kempotpun mendeklarasikan dirinya bapak patah hati. Sebagai bentuk klaim segmentasi sosial.
Faktanya. konten syair-syair inilah yang menjadi pikat. Bahwa Didi Kempot layak dengan julukan Godfather patah hati. Syairnya menjadi mantra sakti obat pelipur lara insan yang patah hati. Mereka yang gagal bercinta akan menemukan obat. Bila mendengarkan lagu-lagu yang dinyanyikan Didi Kempot.
Fakta lain kalau syair yang dibawahkan Didi Kempot menjadi magis bagi mereka yang patah hati adalah. Campur sari ini bukan hal baru dalam peta industri musik tanah air. Didi Kempot membawahkan genre ini, sejak era 80-an akhir. Melalui label berhasil label Musica Studio’s. Tepat di tahun 1989, Didi Kempot mulai meluncurkan album pertamanya. Salah satu lagu andalan di album tersebut adalah Cidro.
Lagu Cidro diangkat dari kisah asmara Didi Kempot yang pernah gagal. Jalinan asmara yang ia jalani bersama kekasih tidak disetujui oleh orang tua wanita tersebut. Itulah yang membuat lagu Cidro begitu menyentuh hingga membuat pendengar terbawa perasaan. Sejak saat itulah Didi Kempot mulai sering menulis lagi bertema patah hati.
Bila tarik kebelakang, Didi Kempot bukan sebuah kebaruan dalam konstilasi musikal di tanah air. Namun dengan konsistensi tema lagu yang diusung. Didi Kempot baru mampu menjadikan syair-syairnya menjadi mantra dalam tiga tahun terahkir.
Puncak Mantra
Nah, ditengah-tengah puncak perjalanan Didi Kempot bermusik. Dimana, syair-syairnya menjadi alat ikat artikulasi. Dimana, syair-syairnya menjadi alat relaxasi khalayak ramai. Didi Kempot meninggal dunia karena sakit jantung.
Sang Maestro Didi Kempot meninggal dunia pada usia 53 tahun. Penyanyi kondang ini tutup usia di RS Kasih Ibu pukul 07.25 WIB dalam kondisi henti jantung.
Menurut Asisten Manajer Humas RS Kasih Ibu, Solo, dr. Divan Fernandes, pihak RS sudah melakukan berbagai upaya pertolongan. “Pukul 07.25 WIB ke IGD dalam keadaan henti jantung. Sudah dilakukan pertolongan dengan maksimal. Tapi, kondisi tidak tertolong. Almarhum dinyatakan meninggal dunia pukul 07.45 WIB,” kata dr. Divan, dikutip Solopos, Selasa (5/5/2020).
Meninggalnya Didi Kempot adalah puncak produksi mantra bagi kaum patah hati. Para sobat ambyar tidak akan mendapatkan lagi chepture kisah pilu dalam bercinta. Sobat ambyar hanya mampu menikmati karya Didi Kempot lewat youtube atau aplikasi penyedia musik digengetnya.
Meninggalnya Didi Kempot adalah puncak kisah para individu yang patah hati yang kehilangan panutan. Seorang musikus yang mampu menghadirkan nyanyian jiwa kedalam musikal yang menghibur. Ambyar, begitulah suasana jiwa para sobat ambyar.
Kembali pada lead tulisan ini tentang matra. Mantra dihayati pelakunya sebagai bisikan ilahiah yang mampu diterjemahkan dalam bahasa bumi. Seperti syair-syair lagu yang dinyanyikan Didi Kempot.
Lebih lanjut dalam tulisan Matra Jawa, dikisahkan asal muasal mantra itu sendiri. mantra berasal dari bahasa archaic, sudah lahir sejak 1500 SM. Mantra-mantra dikaitkan dengan ajaran Vedic Sanskrit, yakni bahasa Veda yang paling kuno (Frits Staal, 1996). Menjadi sangat populer di dalam sekte Tantra pada 600 M, lalu menyebar ke berbagai belahan bumi dan menjadi fenomena lintas budaya (Robert A. Yelle, 2003).
Di semua kebudayaan, bentuk-bentuk mantra dikenal secara beragam. Ada yang menggambarkan serapan Vedic Sanskrit kemudian bercampur dengan bahasa lokal, ada pula yang lepas sama sekali dengan ayat-ayat Veda. Betapapun beragamnya, mantra tetap saja diyakini sebagai ayat-ayat suci dalam bahasa paling murni. Dirapalkan oleh para mistikus sebagai sarana untuk (kembali) menyibak rahasia langit, atau demi mencapai sesuatu yang murni dan Ilahiah.
Dalam konteks meninggalnya Didi Kempot. Para sobat ambyar akan kehilangan figur yang memberikan sarana rapalan syair-syair kemurnian jiwa yang universal. Rahasia jiwa yang mampu dimodifasi dengan jujur lewat syair dan goyangan. Selamat Jalan Godfather Broken Heart. Karyamu tetap abadi.