Jumat, Maret 29, 2024

Pulang Kampung Oh Pulang Kampung!

Amri Ikhsan
Amri Ikhsan
Saya seorang guru yang hobbi menulis

Nabi Muhammad SAW mengingatkan umatnya untuk 10 hari terakhir hendaknya diperbanyak ibadah karena hari-hari itu justru akan menentukan kualitas dan keutuhan ibadah Ramadan. Namun, yang banyak dipikirkan adalah ialah pulang mudik dan ‘meramaikan’ mall. Semoga saja mudik Lebaran pun akan tercatat sebagai ibadah.

Itulah keunikan Indonesia menjelang lebaran, yakni tradisi mudik. Bagi masyarakat ini merupakan momen paling yang ditunggu-tunggu. Kata “mudik” dan “lebaran” menjadi dua kata yang sering muncul pada bulan Ramadhan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri. “Mudik” berasal dari kata “udik” yang berarti kampung. Mudik juga diartikan sebagai aktivitas pulang ke kampung halaman.

Pulang kampung atau mudik menjadi tradisi yang terus berulang setiap Lebaran. Bagi mayoritas umat muslim, merayakan Idulfitri bersama keluarga bahkan bisa dibilang merupakan sebuah keharusan. Karena itu, di hari-hari terakhir menjelang Lebaran, jutaan orang menempuh berbagai jalur untuk pulang kampung.

Menurut survei yang digelar Balitbang Kemenhub belum lama ini, enam hari menjelang Lebaran (H-6) jadi puncak arus mudik. Kemenhub memprediksi total jumlah pemudik di Lebaran 2018 ini bisa mencapai 22 hingga 25 juta orang, naik sekitar 10-12% dibanding tahun lalu. Pemudik terbagi lewat berbagai moda transportasi umum dan pribadi. Menurut perkiraan, puncak arus balik akan terjadi pada H+3 (19 Juni) dan H+4 (20 Juni).

Para perantau kembali ke kampung halaman, melepas rindu, dan berkumpul dengan keluarga besar. Namun, dalam perkembangannya, mudik pada zaman dahulu dengan zaman sekarang terdapat perbedaan. Pada zaman dulu, mudik dilakukan secara natural untuk mengunjungi dan berkumpul dengan keluarga.

Pada era sekarang, perantau yang mudik sekaligus menunjukkan eksistensi dirinya selama di perantauan. Mereka yang balik ke kampung akan membawa sesuatu yang membanggakan diri dan keluarganya (Kompas). Pada era ini kebanyakan pemudik memaksakan diri untuk tampil sebaik mungkin, bagaimanapun caranya, demi prestise.

Ditemukan, ada beberapa alasan yang menjadi tujuan para pemudik pulang kampung. Pertama, dorongan keagamaan yang telah menjadi budaya. Begitu kuat tarikan keagamaan yang telah menjadi budaya, karena Islam mengajarkan bahwa mereka yang sudah berpuasa akan diampuni dosa-dosanya.

Akan tetapi, yang diampuni hanya dosa di hadapan Allah, sedang dosa kepada orang tua, saudara kandung, tetangga dan sekampung, tidak akan diampuni kecuali saling bermaaf-maafan dengan jabat tangan melalui silaturahim antara satu dengan yang lain (Komarudin Hidayat).

Kedua, terjalin proses interaksi sosial (social contact), mudik merupakan panggung bagi pemudik untuk mengungkapkan perasaan kepada orang lain: kedua orang tua, keluarga, sanak saudara, tetangga dan orang ‘sedusun’ dengan mengucapkan maaf lahir batin atas kesalahan yang pernah di lakukan selama ini.

Ketiga, update status, bagi generasi melinia, mudik adalah momen untuk ‘menggunakan ’smartphone’ canggih yang dimiliki. Sudah bosan update status tentang pekerjaan atau situasi dikota. Waktunya ‘back to nature’, memotret setiap langkah dari menit ke menit, mencari sudut pandang yang ‘agak kampungan’, mulai dari tempat, makanan, kegiatan dan orang kampung. Semuanya di-upload dengan berbagai gaya ke berbagai macam media sosial.

Keempat, rindu kampung dan masakan kampung (masakan Mak). Rutinitas pekerjaan dan suasana kota membuat pulang kampung adalah ‘obat rindu’ dan kesempatan untuk menikmati suasana kampung sekaligus menikmati masakan kampung (masakan ‘mak’). Tidak ada masakan yang paling nikmat kecuali masakan ‘mak’ walau masakan itu masakan dibuat secara tradisonal.

Kelima, mencari tempat ‘curhat untuk bernostagia. Masa kecil di kampung halaman adalah masa-masa yang paling indah dan menyenangkan dan pulang kampung adalah media untuk ‘me-rewind’ momen bahagia itu. Disamping itu, pulang kampung bagi sebagian pemudik tempat bercerita, curhat suka duka selama berada dikampung orang.

Keenam, kembali ke keluarga. Berkumpul dengan keluarga adalah puncak dari mudik. Keluarga adalah tempat memupuk nilai-nilai ketentraman, kasih sayang, dan cinta kasih yang fitri. Mudik menjadi momentum untuk berbakti pada kedua orang tua, setelah sepanjang tahun sibuk dengan urusan dunia.

Kembali ke keluarga juga dengan ziarah ke kubur. Telah menjadi budaya di kalangan masyarakat bahwa menjelang puasa Ramadan dan Idul Fitri, anak-anak, menantu, keluarga dan famili pergi berziarah ke kubur orang tua, kakek, nenek dan leluhur serta keluarga terdekat sambil mendoakan. Itu tidak mungkin dilakukan kalau tidak mudik.

Ketujuh, pamer kesuksesan di perantauan. Namanya juga manusia suka ‘pamer’, maka pulang kampung adalah etalase untuk melakukan itu. Budaya pamer berlaku kepada semua tingkatan sosial. Maka momentum Lebaran, pulang kampung, niat ‘pamer’ akan mudah dipuaskan.

Pulang kampung adalah salah satu cara untuk melegitimasi keberhasilannya di kampung rantau: baju baru, jam tangan, ponsel terbaru, hingga menyewa mobil dan menggunakan transportasi mahal untuk sampai ke kampung halaman. Sampai ampai sudah berada dikampung tapi aksen bahasa dan perilaku sosial masih  bergaya ‘kota’ agar terlihat keren.

Bagi pemudik yang memiliki niat untuk pamer, maka muncul konsumerisme, pamer kemewahan, boros dan berbagai perilaku yang tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam dan tujuan puasa itu sendiri. Di mana hasil puasa selama sebulan penuh, seharusnya semakin menghadirkan ketakwaan yaitu kedekatan kepada Allah dan sesama manusia yang sebagian besar masih mengalami kesulitan hidup. Akibatnya, bisa mengundang cemburu dan iri hati para penduduk kampung.

Oleh karena itu bagi pemudik ‘luruskan’ niat bahwa mudik adalah kegiatan personal untuk bersilaturrahmi dengan keluarga, berziarah ke makam orang tua tua. Jangan salah fungsikan makna mudik untuk ‘pamer’ keberhasilan diperantauan dengan menunjukkan, memakai barang barang yang mewah dan mahal dan tentu menunggu dipuji oleh orang sekampung.

Di lain pihak, banyak kegiatan manusia yang sering digantikan dengan smartphone. Tapi tidak dengan mudik lebaran. Kendati seiring kemajuan teknologi untuk menyambung silaturahmi di lebaran, baik lewat messenger, video call maupun media sosial lainnya. Namun ini belum bermakna jika tidak bertemu langsung bentuk fisik anggota keluarga.

Ada beberapa hal yang menyebabkan teknologi tidak bisa menggantikan tradisi mudik: 1) mencari berkah dengan bersilaturahmi dengan orangtua, kerabat, dan tetangga; 2) lebaran untuk refreshing dari rutinitas pekerjaan sehari-hari; 3) mengingat asal usul; 4) unjuk diri, bahwa mereka telah berhasil mengadu nasib di kota besar.

Kita berharap mudik tetap mengedepan perilaku rendah hati, berbagi dengan kaum dhuafa, bersikap santun, damai, dan mampu menahan diri dari berbagai godaan duniawi yang bisa ‘mengganggu’ silaturrahmi.

Khusus bagi pemudik yang termasuk daerah yang mengikuti Pilkada Serentak 2108, dua minggu pasca lebaran, mudik pastinya memiliki konten politik. Mudah mudahan pemudik bisa menjadi pendingin suasana dikampung yang mulai ‘panas’ menjelang hari pencoblosan. Amin!

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1439 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin!

Amri Ikhsan
Amri Ikhsan
Saya seorang guru yang hobbi menulis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.