Sabtu, April 20, 2024

Puasa Ramadan dengan Pikiran Sadar

Rosidin
Rosidin
S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pendidikan Islam [2010-2012]. Dosen STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang. Penggemar Kajian Tafsir Tarbawi (Pendidikan) secara khusus dan kajian keIslaman secara umum.

Setiap tahun umat muslim Indonesia menjalankan ibadah puasa Ramadan. Namun setiap Ramadan pula, umat muslim Indonesia memamerkan gaya hidup konsumtif.

Misalnya, padatnya wisata kuliner jelang buka puasa; dan toko baju jelang hari raya. Hal ini diperkuat  hasil riset Google Indonesia terkait perilaku konsumsi pengguna internet di Indonesia yang sampai pada simpulan bahwa Ramadan merupakan “great shopping season” untuk belanja online pada lima kategori teratas: travel, pakaian, barang elektronik, telekomunikasi, dan ponsel pintar. Pada Ramadan 2016, konsumsi masyarakat dilaporkan naik 20-30%.

Data di atas menyingkap ironi ibadah puasa. Idealnya, puasa melatih pengendalian diri dari watak konsumtif. Realitanya, bulan Ramadan justru menjadi puncak watak konsumtif masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Mengapa demikian?

Tidak dapat dipungkiri, ibadah puasa sudah menjadi rutinitas tahunan bagi umat muslim Indonesia. Sedangkan rutinitas identik dengan kebiasaan (habit) yang digerakkan oleh pikiran bawah sadar. Implikasinya, kebiasaan dilakukan sangat mudah dan terjadi begitu saja, serta sangat sulit melawan kebiasaan tersebut.

Dengan kata lain, rutinitas atau kebiasaan itu bersifat spontan, tanpa pemaknaan. Dampaknya, puasa yang bersifat rutinitas atau kebiasaan ini sulit sekali mengalami peningkatan kualitas secara signifikan, kendati dilakukan bertahun-tahun lamanya, bahkan sejak kecil hingga lanjut usia.

Dalam rangka meningkatkan status puasa, dari rutinitas menjadi kualitas, umat muslim perlu memberdayakan pikiran sadar. Jika mengacu pada metode pendidikan Islam yang termaktub dalam al-Qur’an dan dipraktikkan Rasulullah SAW, yaitu Tilawah, Tazkiyyah dan Ta’lim (Q.S. al-Baqarah [2]: 151), maka ada tiga model pemberdayaan pikiran sadar untuk peningkatan kualitas puasa.

Pertama, Tadabbur, yaitu merenungkan kandungan al-Qur’an (Q.S. Muhammad [47]: 24). Misalnya, ayat yang pertama kali muncul setelah ayat-ayat tentang puasa Ramadan (Q.S. al-Baqarah [2]: 183-187) adalah ayat tentang larangan memakan harta orang lain secara batil, termasuk melalui mekanisme kekuasaan politis dan yuridis (Q.S. al-Baqarah [2]: 188). Atas dasar itu, orang muslim yang melakukan korupsi, perampokan sadis, penipuan massal, bisnis narkoba, dan sebagainya; sudah jelas puasanya digerakkan oleh pikiran bawah sadar, bukan pikiran sadar. Itu pun jika dia berpuasa.

Kedua, Tafakkur, yaitu merenungkan aib diri sendiri. Tafakkur ini akan optimal apabila dilakukan dalam situasi yang netral dari kepentingan duniawi, semisal melalui i’tikaf di masjid (Q.S. al-Baqarah [2]: 187). Salah satu manfaat i’tikaf adalah menguatnya ikatan ruhaniah dengan Allah SWT (hablum min Allah) yang diindikasikan oleh peningkatan kualitas ketakwaan. Misalnya, orang yang berpuasa itu makan bukan karena lapar, melainkan karena menaati perintah Allah SWT untuk berbuka puasa; dan dia tidak makan sepanjang hari, bukan karena kenyang, melainkan karena dilarang Allah SWT untuk makan sebelum waktu berbuka.

Ketiga, Ta’aqqul, yaitu merenungkan berbagai ilmu pengetahuan yang diperoleh selama Ramadan, untuk kemudian diinternalisasikan ke dalam diri, sehingga memiliki kompas moral yang independen. Dalam istilah Kohlberg, moral post-konvensional. Yaitu moral yang menjadi pilihan hidup berdasarkan pikiran sadar, bukan sekedar mengikuti aturan atau norma yang didasarkan pikiran bawah sadar.

Ketiga model pemberdayaan pikiran sadar di atas masih pada taraf pemaknaan puasa, belum penghayatan puasa. Dalam rangka menghayati puasa, paling tidak ada tiga model yang dapat diimplementasikan, berdasarkan tinjauan sosial-budaya umat muslim Indonesia di bulan Ramadan.

Pertama, Living Sunnah. Di luar Ramadan, sunah seringkali hanya menjadi aksesoris kehidupan. Sedangkan di dalam Ramadan, sunah menjadi gaya hidup yang diamalkan umat muslim secara konsisten. Misalnya, hampir dapat dipastikan, bahwa umat muslim yang berpuasa, tidak lupa untuk sahur dan menyegerakan buka puasa.

Demikian halnya, aktif melaksanakan salat tarawih dan witir yang umumnya diikuti siraman ruhani berbentuk kultum. Belum lagi, tradisi tadarus yang marak di masjid dan musala. Semua itu merupakan kesunahan yang diamalkan secara konsisten oleh umat muslim di bulan Ramadan, sehingga benar-benar menjadi Living Sunnah. Yaitu sunah sebagai gaya hidup (life style), bukan sekedar aksesoris hidup.

Kedua, Solidaritas sosial. Begitu banyak amaliah Ramadan yang bernilai sosial. Misalnya, tadarus al-Qur’an, jamaah tarawih dan witir, santunan fakir miskin dan yatim piatu, buka bersama, dan sebagainya. Terkait solidaritas sosial ini, menarik untuk mengutip potongan ayat yang menyangkut puasa, yaitu “mereka (para istri) adalah pakaian bagi kalian; dan kalian adalah pakaian bagi mereka” (Q.S. al-Baqarah [2]: 187).

Di sini, solidaritas sosial diarahkan pada unit terkecil masyarakat, yaitu keluarga, utamanya istri. Namun, fungsi sebagai “pakaian” ini dapat dikembangkan pada unit yang lebih besar, yaitu masyarakat serta bangsa dan negara. Dengan demikian, penghayatan puasa dalam konteks solidaritas sosial ini berimplikasi pada nasionalisme.

Bagaimana umat muslim dapat berfungsi sebagai “pakaian” (libasun) bagi bangsa dan negara?  Paling tidak, ada tiga fungsi “pakaian”: (a) Penutup aib; (b) Pelindung dari panas dan dingin; (c) Penghias. Jika dikontekstualisasikan dengan nasionalisme, maka umat muslim yang menghayati puasa seharusnya memiliki tiga komitmen nasionalisme.

(a) Membanggakan NKRI, bukan menjelekkan NKRI, apalagi mau membubarkan NKRI, seperti yang ingin dilakukan HTI; (b) Ikut serta melindungi NKRI dari hal-hal negatif, semisal disintegrasi bangsa yang dipicu fanatisme tokoh dan golongan tertentu, seperti debat kusir penuh ujaran kebencian, antara kubu Jokower dan Prabower yang semakin mendominasi berbagai sosial media; (c) Menjadi agen perubahan di dalam masyarakatnya sendiri, sehingga terjadi mobilitas sosial yang progresif, seperti KH. Sahal Mahfudh yang dikenal sebagai maestro Fikih sosial dan pemberdayaan masyarakat di Pati, Jawa Tengah.

Ketiga, akhlak Puasa. Puasa yang berkualitas itu bukan sekedar sah menurut standar Fikih Puasa, melainkan juga berpahala menurut standar Akhlak Puasa (Tasawuf). Misalnya, meninggalkan hal-hal yang menyebabkan hangusnya pahala puasa, seperti: menggunjing (menyebar desas-desus), mengadu-domba (provokasi), berdusta (hoax), sumpah palsu (melanggar kontrak kerja), bertutur kata kotor (hate speech) dan melihat aurat yang diharamkan (pornografi).

Walhasil, perpaduan antara pemaknaan puasa berdasarkan pikiran sadar dan penghayatan puasa berdasarkan hati nurani inilah yang berpotensi meningkatkan puasa Ramadan sebagai rutinitas atau kebiasaan, menjadi puasa berkualitas.

Rosidin
Rosidin
S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pendidikan Islam [2010-2012]. Dosen STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang. Penggemar Kajian Tafsir Tarbawi (Pendidikan) secara khusus dan kajian keIslaman secara umum.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.