Bulan suci Ramadhan tahun ini membawa nuansa yang berbeda bagi umat muslim Indonesia dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Karena pada tahun ini, bertepatan dengan penyelenggaraan pesta demokrasi pemilihan umum (Pemilu) serentak pada bulan April lalu.
Bulan Ramadhan sekaligus bulan politik. Bulan perenungan sekaligus pertarungan. Bulan refleksi sekaligus aksi. Ada nuansa politik pada bulan Ramadhan. Sebaliknya, ada nuansa Ramadhan pada pesta demokrasi
Ramadhan dan politik memiliki korelasi yang filosofis, karena sesunguhnya satu output-nya adalah untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt. Spirit dari ketakwaan dapat diterjemahkan sebagai bagian dari bentuk kejujuran, ketulusan, rendah hati dan saling peduli (care). Spirit ini, kemudian melahirkan seseorang bertindak dan bertingkahlaku yang santun, sebagai jalan menuntun seseorang muslim untuk meningkatkan hubungan antarmanusia dan dengan Allah.
Begitu juga dengan politik, ouput-nya adalah untuk melahirkan keadilan dan kesejahteraan manusia. Spirit keadilan itu, diterjemaahkan dengan sikap yang jujur, amanah, toleran, dan saling peduli sehingga menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera. Karena sejatinya, menurut Aristoteles (384 SM – 322 SM) politik itu bertujuan untuk kebaikan hidup manusia, politics is a good life. Maka jadilah puasa dan politik adalah satu jalan menuju kedamaian hidup manusia.
Penulis menjadi paham, kenapa tempo dulu manusia terpilih seperti Rosul, Nabi atau pun filsuf menjadikan puasa sebagai ibadah kesukaannya. Ternyata puasa tidak hanya dapat membangun kesalehan personal, tetapi juga sosial. Nilai-nilai ini tentu saja tidak hanya berlaku bagi umat muslim saja, tapi nilai-nilai yang ada pada puasa di bulan Ramadhan ini juga sangat berkaitan dengan kehidupan antar sesama umat manusia di seluruh penghuni jagad raya ini.
Polusi Politik Kebencian
Ironisnya, diakui atau tidak, politik kita hari ini seperti kehilangan jiwanya. Politik bukan lagi seni mengatur manusia dengan penuh sentuhan ketulusan, namun berubah menjadi medan konflik yang penuh intrik. Kita sulit menemukan lagi atmosfer politik yang hangat sebagaimana dicontohkan manusia pergerakan tempo hari. Politik berakhlak, mencerahkan, dan sarat ilmu pengetahuan, kini berubah menjadi pragmatisme politik penuh kebencian.
Pemaknaan politik pragmatis ini kian meluas seiring praktik pragmatis yang marak dilakukan oleh para politisi. Elite politik yang semestinya memberikan teladan baik malah terjerumus kedalam prilaku-prilaku yang tidak terpuji menyangkut harta negara (korupsi). Mereka terjatuh kedalam jurang kehidupan yang hedonis, ambisius dan pragmatis.
Di ruang publik, debat-debat politik kualitasnya tidak cukup menggembirakan. Cara mengargumentasikan sebuah gagasan nyaris hampa logika, miskin data dan tidak ditopang nalar meyakinkan. Elit politik yang seharusnya memproduksi diksi yang menciptakan ketenangan justru sering menjadi bensin yang disiramkan ke tengah masyarakat tunaliterasi tanpa sedikit pun memiliki tanggung jawab kebangsaan.
Alhasil, masyarakat menjadi terpecah belah akibat beda keyakinan pilihan. Polarisasi ini sudah sangat akut ditunjukan di media sosial. Setiap individu maupun kelompok semakin mengentalkan fanatisme buta, menebalkan identitas perkubuan. Bukan hanya punahnya pikiran yang koheren. Malah, yang kerap kali ditemui ialah sumpah serapah dan caci maki lengkap dengan hardikan kata binatang seumpama ‘kecebong’ atau ‘kampret’.
Media sosial tidak saja menjadi tempat jalinan pertemanan menemukan ruangnya, tapi juga sekaligus memutus perkawanan yang dipandang tak sehaluan. Antara Khotbah dan sampah saling bertukar tempat. Kebenaran dan kebatilan diikat dalam garis tipis, sangat susah untuk membedakan. Kita berjalan sesuai kebenaran masing-masing, karena tak cukup ruang untuk saling mengkonfirmasi kebenaran
Politik hari ini persis apa yang digambarkan Thomas Hobbes, hanya memberikan ruang bagi mereka yang terkuat, memberikan tempat bagi siapa pun yang tersiap. Kalau pemandangan primitif seperti ini tak dihentikan, kita sesungguhnya tengah menggali kubur sendiri untuk bersama-sama ditimbun dalam sejarah yang sepenuhnya tak layak dikenang. Akhirnya yang kalah menjadi abu dan pemenang bernasib tak ubahnya arang.
Mensucikan Politik
Puasa tentu saja bukan hanya persoalan kemampuan menahan lapar sepanjang siang, melainkan harus melampaui definisi fikih itu. Kalau sekadar itu anak kecil tak banyak mengalami kesulitan. Puasa semestinya dimaknai sebagai pintu masuk untuk “Mensucikan” kembali makna dari politik sebagai alat untuk mencapai kebaikan hidup manusia.
Dalam tinjauan tassawuf, Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin-nya berpendapat, bahwa puasa ada tiga tingkatan: Pertama shaum al- umum (puasa umum). Ialah menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat seperti makan dan minum. Kedua, shaum al-khusus (puasa khusus), atau dalam bahasa sehari-hari kita disebut puasa “kelas bisnis” yaitu menjaga lisan, mata dan pendengaran dari kemaksiatan.
Ada juga puasa yang sekaligus menjaga hati dan pikiran dari jangkitan fenomena prasangka tercela, itulah shaumu khusus al-khusus (puasa kelas orang-orang tertentu) puasa kelas tertinggi, atau dalam bahasa keseharian kita; puasa “kelas ekskutif”.
Terkait dengan dunia politik, khususnya dalam kontestasi pemilu serentak seyogyanya harus bermuara pada upaya mewujudkan ‘tertib politik’ maupun tertib sosial. Karena rakyat memerlukan keseimbangan langkah untuk mewujudkan ketertiban dalam berpolitik dan keteraturan dalam bermasyarakat.
Imam Asy-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat mengatakan bahwa, seseorang yang bekerja dalam kancah politik, setidaknya harus memiliki lima hal yang wajib dipelihara atau dijaga, yaitu: (1) Menjaga agama (hifdzu ad-din); (2) Menjaga jiwa (hifdzu an-nafs); (3) Menjaga nasab (hifdzu an-nasl); (4) Menjaga akal (hifdzu aql); (5) Menjaga harta (hifdzu al-mal).
Dengan demikian, dalam Ramadhan ini keadaban politik harus dijadikan agenda. Perilaku machiavellianisme seperti berburuk sangka, berbohong, ghibah, hasud harus segera kita sudahi. Selain akan mengurangi kualitas ibadah puasa kita, perilaku buruk seperti itu berpotensi merusak tenun kebangsaan yang telah lama disemai oleh para pendahulu kita.