Senin, Oktober 14, 2024

Puasa dan Titik Temu Antar Agama

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.

Puasa adalah salah satu dari ibadah pokok (mahdhah) yang diwajibkan dalam Islam. Kewajiban ini tertera dengan jelas dalam al-Qur’an melalui firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (al-Baqarah: [2]; 183).

Biasanya, memasuki bulan puasa ayat tersebut kerap terdengar di atas mimbar-mimbar masjid dan musala yang didengungkan oleh para mubalig kota maupun desa. Maklum—sependek wawasan penulis—hanya ayat itu yang menyinggung kewajiban berpuasa. Namun, tahukah anda bahwa ketentuan berpuasa tak hanya dimiliki oleh umat Islam, tetapi juga dimiliki oleh sejumlah agama-agama besar dunia?

Secara redaksional isyarat ketentuan berpuasa atas agama-agama lain itu—atau “orang-orang sebelum kamu”—tersurat dengan jelas pada firman-Nya “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”. Informasi quranik tersebut tak berseberangan dengan fakta historis yang ada.

Ketika menafsirkan ayat ini, Prof. Quraish Shihab, dalam tafsirnya, al-Mishbah, misalnya menulis demikian, “Pakar-pakar perbandingan agama menyebutkan bahwa orang-orang Mesir kuno—sebelum mereka mengenal agama-agama samawi—telah mengenal puasa. Dari mereka, praktik puasa beralih kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Puasa juga dikenal dalam agama-agama penyembah bintang. Agama Budha, Yahudi dan Kristen demikian juga”. [Tafsir al-Mishbah, vol 1, hal. 485)

Senada dengan uraian Quraish Shihab itu, Ibn al-Nadhim dalam bukunya, al-Fihrist, menjelaskan bahwa agama para penyembah bintang (al-Shâbi’ûn) berpuasa selama tiga puluh hari dalam setahun, selain itu ada pula puasa sunnah sebanyak 16 hari dan juga ada yang 27 hari. Puasa tersebut dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada bulan, juga kepada bintang Mars yang mereka yakini sebagai “bintang nasib”, dan juga kepada matahari.

Tak hanya itu saja, dalam ajaran agama Budha kita juga mengenal adanya puasa dengan apa yang mereka istilahkan “uposatha”. Mereka melakukan puasa empat hari dalam sebulan. Begitu juga dengan agama Yahudi, mereka mengenal puasa selama empat puluh hari, bahkan dikenal beberapa macam puasa yang dianjurkan bagi para penganut agama ini, khusunya dalam konteks mengenang nabi-nabi dan momentum tertentu dalam sejarah mereka.

Orang Kristen pun sama; walaupun dalam Perjanjian Baru tak ada teks jelas mengenai kewajiban tersebut, tetapi dalam praktik keberagamaan mereka dikenal aneka ragam puasa yang ditetapkan oleh para pemuka agama.

Lepas dari kepastian hal tersebut, sekurangnya melalui informasi di atas kita akan sadar bahwa syariat berpuasa bukan barang baru yang dikenal dalam sejarah umat beragama. Dengan kesadaran itu, paling tidak kita akan menangkap dua poin penting.

Pertama, kita tak perlu merasa berat dalam berpuasa, karena sesungguhnya ia sudah dilakukan oleh orang-orang atau umat beragama terdahulu; ia bukan kewajiban agama yang baru yang harus diterima dengan berat apalagi dengan keluh-kesah. Bukankah melaksanakan sesuatu yang sudah dilakukan orang lain itu bisa lebih ringan?

Kedua. Dengan adanya kesadaran tersebut juga kita bisa saling menghargai antar satu dengan yang lain. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural tentu saja kesadaran ini penting.

Dengan menyadari bahwa puasa itu adalah “kewajiban bersama”, maka orang non-muslim kiranya bisa menghargai umat Islam yang berpuasa, pun sebaliknya umat Islam juga patut membalas dengan sikap serupa; menghargai upacara-upacara keagamaan yang dilakukan oleh saudaranya yang non-muslim. Sekurangnya, sikap ini akan mengurangi ketegangan dan sentementalitas antar umat beragama.

Di lain sisi, penting juga disadari bahwa fakta akan adanya kewajiban berpuasa atas agama-agama lain itu juga selaras dengan konsep dasar syariat Islam yang memiliki titik kesamaan (al-Ushûl al-Musytarakah) dengan syariat-syariat sebelumnya.

Para ulama Muslim berpandangan bahwa tak semua syariat Islam itu datang dengan hal yang baru; sebagian ada yang merupakan proses kontinuasi dari syariat-syariat sebelumnya, sebagian yang lain ada yang berupa proses diskontinuasi, yakni pembatalan dari syariat-syariat sebelumnya. Puasa masuk dalam kategori yang pertama ini. Ia bukan syariat yang baru, tetapi ia adalah ketentuan yang “telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu”.

Agama-agama, khususnya agama semitik (abrahamic religion), memiliki keterkaitan antar satu dengan yang lain. Syekh Ahmad al-Thayyib, Grand Syekh al-Azhar, bahkan pernah mengatakan bahwa Islam dan Kristen itu pada hakikatnya “bersaudara” (syaqîq). Atas dasar itu—demikian al-Thayyib—tidak relevan kita mempertanyakan bagaimana hubungan antara Islam dan Kristen (la yashih al-Suâl; ma al-‘Ilâqah baina al-Islam wa al-Masîhiyyah?), karena pada mulanya mereka berdua berada dalam satu ikatan monoteistik.

Beliau menyitir sebuah hadits riwayat Bukhari yang berbunyi, “Aku adalah orang yang paling dekat dengan Isa putra Maryam. Nabi-nabi semuanya bersaudara, syariatnya berbeda-beda, tapi agamanya satu” (HR. Bukhari). Lembaran pendek itu tentu tak akan cukup mengurai panjang kompleksitas teologi agama-agama semitik itu. Namun, yang pasti adalah bahwa Agama-agama semitik itu pada mulanya berada pada satu rumpun, hanya saja pada tahap selanjutnya mengalami evolusi, kalaulah enggan berkata “deviasi”.

Kisah yang sama juga dialami oleh agama Yahudi. Persoalannya dewasa ini banyak orang yang mencampur adukan antara (ajaran) Yahudi dengan Zionisme (baina al-Yahûd wa al-Shahyûniyyah). Padahal—masih kata Syekh Thayyib—dua terma tersebut sebaiknya harus dipisahkan. Sikap mengeneralisasi suatu kelompok sesungguhnya bukan sikap yang diajarkan oleh al-Qur’an.

Walaupun dalam banyak ayatnya al-Qur’an menyatakan ketak-setujuannya atas dasar teologi dua agama semitik itu, namun dalam sejumlah ayat ia tak bermaksud untuk mengeneralisasi semuanya. Sebab, tak semua kalangan non-muslim itu buruk, sebagaimana tak selamanya para pemeluk Islam itu baik. Bahkan, lebih dari itu al-Qur’an sendiri menjuluki mereka dengan panggilan yang sangat cantik, yakni Ahl al-Kitab, sebagai bentuk penghargaan akan eksistensi dan rujukan mereka atas kitabnya masing-masing.

Dengan wawasan semacam ini, kita akan sadar bahwa puasa bukanlah tradisi keagamaan yang hanya dimiliki oleh kita, dan pada saat yang bersamaan masing-masing kita bisa saling menghormati antar satu dengan yang lain karena sejujurnya kita semua adalah saudara. Bahwa setiap agama memiliki partikularitas dan keunikannya sendiri, jelas tak bisa ditolak. Namun di lain sisi kita juga tidak bisa menutup mata akan adanya semen perekat yang menyatukan antar kita semua.

Kita semua berasal dari bapak yang sama, dan kita semua diciptakan oleh Tuhan yang sama. Dengan kesadaran ini, semoga kita semua tergerak untuk bersatu padu dalam menciptakan kebaikan di muka bumi ini.

Tanpa harus ada “teologi pengkafiran” yang berujung pada upaya diskriminasi, intoleransi dan intimidasi atas nama keyakinan. Dengan menyadari bahwa praktek berpuasa bukan hanya dimilki oleh kita, semoga umat beragama bisa saling menghormati antar satu dengan yang lainnya. Demikian, wallahu ‘alam bisshawab.

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.