Jumat, April 26, 2024

Puasa dan Kuasa

faqih albantani
faqih albantani
Manajer Kajian Publik dan Penelitian Rafe'i Ali Institute

Ramadhan merupakan bulan kebaikan dan pahala. Euforia Ramadhan disambut secara meriah dan serentak mulai dari pelosok desa sampai penjuru kota. Sebagai bulan yang penuh berkah dan ampunan, momentum Ramadhan banyak dimanfaatkan kaum muslimin Indonesia untuk melakukan aktivitas yang beraneka ragam seperti tadarus, i’tikaf, tarawih, witir dan lain sebagainya.

Kebetulan sekali, nuansa puasa Ramadhan tahun ini bagi  rakyat Indonesia terasa semakin berat. Sebab, bertepatan dengan tahun politik. Agenda Pemilu serentak (Pileg-Pilpres) 2019 nanti bisa saja menodai kesucian puasa Ramadhan itu sendiri. Kita bisa menyaksikan bagaimana momentum Ramadhan dimanfaatkan untuk kepentingan politik, menabur citra dan pesona.

Sebagai contoh: spanduk, baliho, dan poster ucapan Ramadhan dengan foto orang politik (Capres-Cawapres), safari Ramadhan bisa saja bermuatan politik, ceramah berpotensi kampanye, sedekah bermotifkan politik uang (money politic), dan kadang kala kita susah membedakan mana silaturahmi yang tulus, mana pula silaturahmi yang berharap simpati. Sebagai bulan penuh berkah, tampaknya  bagi para politikus Tuhan juga telah menyediakan pahala politik dan keberkahan untuk mendulang suara.

Momentum bulan puasa yang suci diharapkan tidak ‘dicuri’ kesakralannya oleh mereka yang kerap mempolitisasi agama untuk kepentingan berkuasa. Apalagi jika memanfaatkan ayat-ayat di dalam kitab suci sebagai justifikasi mengajak umat Islam tidak memilih paslon (pasangan calon) tertentu. Rumah ibadah dan kegiatan keagamaan di bulan puasa haruslah steril  dari urusan politik praktis (politisasi).

Sabda Nabi Muhammad SAW mengatakan “Banyak orang yang berpuasa, tidak mendapatkan apa-apa, kecuali lapar dan dahaga” (H.R. Ibnu Khuzainnah). Sabda nabi Muhammad tersebut merupakan penegasan, sekaligus peringatan pada umat Islam  agar ibadah puasa betul-betul dilakukan secara total, serius, dan sungguh-sungguh untuk mencapai hakikat puasa yang hakiki dan senyatanya.

Hadits lain mengatakan ”Bukanlah puasa itu hanya dari makan dan minum saja. Berpuasalah dari perkataan kotor dan caci maki. (HR Ibnu Khuzaimah). Dalam hadis lain yang juga diriwayatkan Thabrani, ”Puasa itu perisai selama ia tidak merusaknya dengan dusta dan umpatan. Bahkan apabila ada orang yang mengajak bertengkar, orang yang berpuasa diperintahkan untuk mengatakan: Saya sedang berpuasa”( HR Bukhori ).

Kutipan-kutipan hadits di atas seyogianya jadi pembelajaran, tensi politik akhir-akhir ini yang kian panas sebaiknya direduksi. Puasa seharusnya menjadi jeda kepada masing-masing pihak untuk memanajemen hati, mensucikan qolbu, baik dalam bertutur, dan bijak dalam bersikap.  Puasa tidak hanya difahami menahan lapar dan dahaga. Tetapi menahan diri dari perbuatan tercela seperti: menghujat, memfitnah, caci maki, ghibah, hasud, dan prilaku tercela lainnya.

Puasa tak lain dari latihan bagi jiwa agar mampu berkuasa mengendalikan dan mengarahkan segala hasrat dan ingin. Istilah al-Qur’an, la’allakum tattaqun (agar kalian bertakwa) pada QS. Al-Baqarah:183 merupakan kondisi mental yang kuasa menahan diri dari segala godaan dan iming-iming yang menjatuhkan nilai dan martabat kemanusiaan.

Dalam pengertian ini, kata “kuasa” bermakna positif dan mulia. Kuasa adalah kekuatan untuk komitmen menegakkan kebenaran dan keadilan juga daya juang melawan keburukan dan kezaliman. Kekuasaan merupakan bagian dari cara berada (mode of being) manusia. Setiap diri manusia terlibat dengan kekuasaan. Kegiatan mencari pengetahuan dan kekayaan adalah mencari kekuasaan (knowledge is power).

Psikolog David Mc. Clelland (1998) menganggap manusia memiliki 3 hasrat sosial, yaitu hasrat berprestasi, hasrat mendapat kasih sayang, dan hasrat kekuasaan. Maka wajarlah bila kekuasaan sangat erat dengan kebutuhan manusia. Ironisnya, hasrat manusia seperti “kuasa” dan “kekuasaan” dalam kehidupan sosial cenderung bertindak dan bermakna negatif. Disinilah telah terjadi degradasi dan distorsi. Kata “kuasa” kerap dilekatkan pada orang-orang yang memerintah, mendominasi, dan mengendalikan orang lain.

Kekuasaan itu seperti kita memegang pisau. Bisa bermanfaat, bisa pula dipakai untuk melukai. Kekuasaan mestinya dipakai untuk menyemai kebaikan, menanam amal kebajikan, dan memetik buah keimanan. Masalahnya, kekuasaan kerap dipakai untuk melukai lawan politiknya, termasuk di dalamnya manipulasi dan konspirasi yang berlawaan dengan etika dan moral, mirip sekali dengan konsepsinya Niccolo Machiavelli seorang penulis buku The Prince tentang tujuan menghalalkan segala cara.

Jika puasa itu amanat dari Allah SWT kepada manusia agar manusia mencapai level taqwa (QS. Al-baqrah:183), maka kekuasaan adalah amanat yang diberikan rakyat kepada calon pemimpin negara. Menurut Komaruddin Hidayat, dalam konteks kehidupan bernegara, pemerintahlah yang memegang amanat rakyat.

Oleh karenanya, sikap amanat bagi pemerintah merupakan kunci untuk mendapatkan dukungan rakyat. Sebaliknya apabila sikap amanat telah hilang dari mental pemerintah, maka suatu saat rakyat akan mengambil amanatnya dengan caranya sendiri.

Pendek kata Komaruddin Hidayat mengingatkan, resiko hilangnya amanat tidak hanya bersifat teologis, yaitu dosa, tetapi bersifat politis, yaitu krisis legitimasi dan keruntuhan rezim. Begtitu halnya dengan puasa, ketika amanat Allah SWT kita ingkari dengan tidak berpuasa sungguh-sungguh, kita tidak akan mencapai derajat kuasa-taqwa, tetapi krisis legitimasi seorang mukmin (orang yang beriman) di mata Allah SWT.

Politik dan kekuasaan selayaknya tak terpisahkan dari upaya untuk meningkatkan mutu kemanusiaan, dari yang kurang beradab menjadi lebih beradab. Di sinilah pentingnya moralitas dan etika.

Kita meyakini moralitas dan etika bersumber pada agama, dan salah satu dari bagian dari agama yaitu puasa itu sendiri. Puasa, sebuah metode beragama untuk mengembalikan jiwa manusia ke kondisi fitrah (kodrat asal) yang suci dan mulia, mengingatkan kita pada tanggung jawab untuk mengembalikan makna kuasa dan politik ke makna aslinya, yang positif dan mulia.

Melalui puasa, akal sehat dan nurani kemanusiaan kita diasah dan dipertajam sedemikian rupa sehingga sanggup mengerti bahwa kekuasaan dan politik merupakan dunia yang tak terpisah dari kodrat kita sebagai manusia. “Manusia kodratnya adalah makhluk sosial,” begitulah Aristoteles berujar.

Mari kita maknai puasa dan kuasa sebagai perjuangan nilai-nilai kemanusiaan, keadaban, dan moralitas. Jangan biarkan makna puasa dan kuasa menjadikan kita orang-orang yang khianat dan korup. Itu artinya kita harus mendorong dan memberikan jalan bagi individu-individu cakap yang telah teruji integritasnya untuk mengisi ruang kekuasaan yang mencerdaskan dan bermartabat. Semoga!

faqih albantani
faqih albantani
Manajer Kajian Publik dan Penelitian Rafe'i Ali Institute
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.