Jumat, Maret 29, 2024

PSI dan Ilusi Popularitas Dunia Maya

ferdiisme
ferdiisme
Menekuni secara serius hobinya mengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Srwijaya. Sembari terus bersenang-senang bersama teman di Palembang Movie Club.

Tanggal 2 November lalu, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) merilis hasil survei berjudul “Ada Apa dengan Milenial? Orientasi Sosial, Ekonomi dan Politik”. Survei ini dilaksanakan sekitar bulan agustus 2017, dan menyasar sudut pandang generasi milenial, generasi yang saat ini usianya berkisar 17-29 tahun.  Hasil survey ini sangat menarik, beberapanya malah menimbulkan tawa. Misalkan, ketika ditanya kerjasama luar negeri dengan negara mana yang paling menguntungkan bagi Indonesia? Jawaban mayoritas milenials adalah Arab Saudi, dan yang paling merugikan adalah dengan Tiongkok. Lalu pertanyaan kerjasama yang paling merugikan bagi Indonesia di tataran ASEAN, jawabannya adalah Malaysia. Sungguh jawaban yangi sangat emosional.

Selain pertanyaan di atas, yang menarik juga adalah jawaban dari pertanyaan elektabilitas partai politik. Ternyata, partai yang menjadi pilihan milenials masih yang itu-itu juga. PDIP paling unggul, lalu berurutan Gerindra, Demokrat, serta Golkar. Dan yang cukup menakjubkan adalah Partia Perindo ada di posisi kelima, mengalahkan PKB, Nasdem, PPP, bahkan PKS. Yang menarik perhatian saya di sini adalah, tidak muncul nama Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang mengaku sebagai partainya milenials. Dari sisi popularitas, bahkan PSI ada di urutan buncit. Ia hanya dikenal 11,5% responden milenials. Tertinggal di belakang Partai Idaman 13,7%, PKPI 23,2%, apalagi dengan PDIP yang ada di urutan pertama dengan 94,2 %.

Catatan Untuk PSI

Partai Solidaritas Indonesia baru berdiri tiga tahun belakangan. Digawangi oleh Grace Natalie (Ketua Umum), Raja Juli Antoni (Sekjen), serta beberapa anak muda lain yang usianya semua di bawah 40 Tahun. Sedari awal, terlihat bahwa publik dunia maya adalah sasaran utama kampanye partai ini. Di ranah ini mereka cukup dikenal karena keaktifannya dalam mengolah isu kebangsaan terutama pada medium Twitter dan Facebook. Hampir semua isu utama yang sedang dibicarakan oleh masyarakat luas direspon dengan cepat dan strategis oleh partai ini.

Salah satu yang mungkin belum dilupakan publik adalah bagaimana Tsamara Amany (salah satu ketua DPP PSI yang baru berusia 21 tahun)  mendebat Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, dalam perkara hak angket terhadap KPK. Perdebatan ini bahkan kemudian difasilitasi oleh sejumlah media massa. Dan berkat keaktifannya ini, fanpage PSI di Facebook sudah disukai oleh lebih dari 1,6 juta netizen. Hanya kalah dari fanpage Partai Gerindra (3,6 juta),  satu tingkat di atas PDIP (1,5 juta), dan menang jauh dari Golkar (400ribu). Lalu kemudian yang jadi pertanyaan, mengapa data ini tidak tercermin pada Survei CSIS di atas?

Pada salah satu forum audiensi bersama para petinggi PSI, saya dan beberapa teman sudah pernah mengutarakan hal ini. Salah satu teman saya mengkritisi PSI yang dalam konteks perjuangannya memenangkan pasangan Ahok-Djarot hanya sibuk berkutat di dunia maya. Teman saya yang seorang peneliti lapangan ini mengatakan bahwa pertarungan utama Pilkada DKI 2017 lalu ada di akar rumput. Dia menyaksikan sendiri bagaimana geriliya lawan pasangan Ahok-Djarot dalam mempengaruhi keputusan publik dari rumah ke rumah, orang ke orang di dunia nyata. Ini yang tidak begitu digarap oleh relawan Ahok-Djarot termasuk PSI.

Saya sendiri juga mengutarakan beberapa kelemahan PSI. Pertama, saya mengkritisi pemilihan isu yang dibahas dalam kampanye-kampanye PSI, yang menurut saya hanya erat dengan masyarakat perkotaan. Setidaknya ada tiga isu utama yang sangat-sangat dominan dalam setiap kampanye PSI, yaitu: korupsi, keberagaman, dan isu internasional. Ketiga isu ini memang penting, serta mendesak untuk dibahas dan disikapi. Hanya saja, isu ini tidak cukup strategis untuk digunakan pada level politik nasional. Seperti yang sudah saya utarakan, isu ini hanya menjadi pembahasan sebagian besar masyarakat perkotaan yang kebanyakan corak pekerjaanya formal, tingkat ekonominya menengah ke atas, serta pendidikannya sudah di tingkat sarjana.

Sementara sebagian lagi masyarakat perkotaan, dan sebagian besar masyarakat pedesaan yang pekerjaannya non-formal, ekonominya menengah ke bawah, serta tingkat pendidikannya belum sarjana, persoalan ini barangkali dibahas, tetapi tidak intens. Masyarakat seperti ini tentu lebih banyak berkutat dengan persoalan yang lebih “riil”. Di pedesaan, ada isu perampasan lahan, mahalnya harga pupuk, minimnya infrastruktur, rendahnya harga panen, privatisasi air, dan segala macam persoalan lain yang benar-benar harus dihadapi masyarakat hari per hari. Menurut saya, masyarakat pedesaan tidak akan mudah jatuh hati pada partai yang hanya meneriakkan kata anti korupsi, mendukung keberagaman, dan peduli pada isu internasional. Karena semua isu tersebut tidak aktual berada di depan mereka.

Kedua, terkait dengan persoalan di atas, saya kemudian mengutarakan keraguan saya pada anak-anak muda yang ada di PSI. Beranikah, atau minimal maukah mereka turun ke lapangan untuk menggarap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat pedesaan ini? Keraguan saya ini memang berangkat dari kesimpulan serampangan, karena melihat penampilan luar beberapa petinggi PSI yang menurut saya rentan menimbulkan jarak sosial dan psikologis ketika mereka berhadapan langsung dengan petani, nelayan ataupun masyarakat miskin kota.

Alasan-alasan yang saya sebutkan di atas tentu bukan satu-satunya alasan mengapa nama PSI jeblok pada survei CSIS. Sudah pasti ada alasan lain, seperti tidak meratanya fasilitas internet, faktor perilaku netizen, serta kendala-kendala teknis lainnya.

Epilog

Sejujurnya, saya menaruh simpati yang besar pada PSI. Sudah sedari zaman kuliah, saya merasa gerah dengan partai-partai politik yang waktu itu tidak menaruh kepedulian yang cukup tinggi pada peran anak muda. Saya juga cuku eneg melihat estetika yang ada pada atribut-atribut partai politik, yang gitu-gitu aja. Logonya pasti seputar gambar hewan, tumbuhan, rantai, bintang, bulan, yang juga tidak diberi sentuhan keluhuran seni. Padahal, dunia komunikasi visual sedang tumbuh pesat didorong oleh kreatifitas anak muda. Dan selera komunikasi masyarakat tentu juga ikut berubah. Sementara partai politik kebanyakan masih keras kepala, dan lebih sibuk memikirkan pola serangan fajar.

Dari sisi estetika komunikasi politik inilah saya menaruh simpati besar pada PSI. Mereka benar-benar berhasil memadukan spirit muda, intelektualitas, serta estetika kontemporer ke dalam politik kita yang yang sangat kusam dan muram ini. Ketika saya berkunjung ke Kantor DPPnya, saya benar-benar dibuat takjub, karena kantor tersebut lebih terlihat seperti galeri seni. Mereka melihat politik sebagai sesuatu yang fun, bukan horror. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika PSI terus berbenah dan tidak hanya sibuk di internet. Jangan terlena dengan ilusi dunia maya, karena pertarungan politik yang sesungghnya ada di antara derap-derap langkah dan bulir-bulir keringat masyarakat yang terpinggirkan.

ferdiisme
ferdiisme
Menekuni secara serius hobinya mengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Srwijaya. Sembari terus bersenang-senang bersama teman di Palembang Movie Club.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.