“Assalamualaikum… Apakah bisa meminta bantuan? Ibu saya di Arab Saudi sudah hampir 2 bulan tak ada kabar”, chat inbox pengaduan kasus masuk melalui facebook Migrant CARE pada pertengahan April 2020. Saya sebagai staf bantuan hukum bergegas membalasnya. Tentu pengaduan pada bulan April tidak hanya itu saja.
Pekerja Migran Indonesia (PMI, dahulu disebut TKI) dan keluarganya tak hanya berjuang melawan covid-19. Namun juga berada dalam situasi perlindungan yang tak pasti, terutama Perempuan PMI.
Sepanjang 2013-2019, 64 persen kasus PMI yang diadvokasi oleh Migrant CARE adalah kasus yang dialami perempuan. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) Migran.
Data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) tahun 2019 juga menunjukan bahwa selama tahun 2017-2019 mayoritas PMI adalah perempuan dan domestic workers menempati posisi teratas sebagai pekerjaan yang paling banyak dikerjakan.
Perempuan PMI rentan mengalami penindasan berlapis. Mereka menghadapi triple discrimination. Sebab mereka bergender perempuan, berasal dari kelas pekerja, berkewarganegaraan luar negeri atau migran (xenophobia). Sering diperparah pula dengan rasisme.
Penindasan yang dialami perempuan PMI telah terjadi sebelum masa kemerdekaan. Saskia E.Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999 : 127) menerangkan perjuangan organisasi perempuan Istri Sedar (selanjutnya GERWANI) dalam menentang perdagangan perempuan.
Mirisnya hingga sampai saat ini, masih banyak PRT Migran yang terjebak dalam perdagangan manusia. Mereka menghadapi kondisi kerja yang eksploitatif diantaranya kerja 16 – 20 jam per hari tanpa istirahat, tidak digaji, penyitaan dokumen, perampasan handphone, pelacuran hingga berbagai bentuk kekerasan.
Migrant CARE mencatat bahwa 5 kategori kasus terbesar sepanjang 2013-2019 adalah permasalahan kontrak kerja, indikasi human trafficking, tidak menerima gaji dan bonus, tidak berdokumen dan tidak menerima asuransi.
Dalam situasi pandemi, PRT Migran harus memikul beban yang lebih berat. Bagaimana tidak? Mari coba bayangkan mereka yang bekerja di Arab Saudi yang notabene masih menerapkan sistem kafalah (perbudakan). Sistem yang sangat tidak manusiawi.
PRT Migran di Arab Saudi yang diam-diam berhasil menyembunyikan handphone, pernah mengirim video ke saya. Rumah majikannya sangat luas dan besar. Ia harus membersihkan seluruh rumah sendirian, merawat majikan dan keluarga majikan. Belum lagi, ia harus menghadapi pelecehan dari majikannya.
Selama pandemi, majikan dan keluarganya berada di rumah. PRT Migran harus siap dengan berbagai permintaan majikan. Ditambah lagi pada bulan ramadhan, PRT Migran di Arab Saudi atau Timur Tengah lebih banyak menanggung pekerjaan. Mereka bekerja sepanjang waktu, memasak untuk sahur dan buka puasa dengan porsi besar, mencuci piring kotor yang jumlahnya tak sedikit.
Tentunya PRT Migran Indonesia tak hanya di negara Arab Saudi atau wilayah Timur Tengah, namun juga di Malaysia, Singapura, Brunei. Bahkan di sekitar pusat awal covid-19 seperti Cina, Hongkong, Taiwan. Sebagai PRT Migran mereka mengalami situasi yang hampir sama.
Pada situasi pandemi ini, PRT Migran dilarang mengambil hari libur. Dilansir dari BBC, Sringatin menyampaikan bahwa PRT Migran tidak bisa libur dan tetap bekerja untuk majikan. Mereka juga tidak menerima upah bekerja di hari libur.
PRT Migran dilarang untuk keluar rumah. Alih-alih sebagai upaya untuk mencegah penularan covid-19, PRT Migran yang rentan dengan kekerasan majikan justru akan kesulitan untuk mencari ruang aman atau lapor ke Perwakilan Republik Indonesia setempat. Mereka yang mencoba melarikan diri juga akan rentan dikriminalisasi dengan alasan melanggar aturan negara setempat mengenai larangan keluar rumah.
Pelarangan tersebut juga berdampak pada sulitnya mengirim uang ke keluarga di Indonesia. Tentu hal itu berdampak pada keberlangsungan hidup keluarga di kampung halaman.
Setiap orang harus menjaga kebersihan agar terhindar covid-19. Majikan meminta PRT Migran untuk membersihkan seluruh rumah dengan bahan kimia. Apabila tidak menerima alat pelindung diri seperti masker, sarung tangan dan sabun, maka PRT Migran akan rentan menderita luka bakar akibat produk berbahan kimia keras.
Dalam sejumlah kasus, PRT Migran direndahkan martabatnya. Mereka ditempatkan tidur di toilet atau gudang yang sempit dan pengap, tidak mendapatkan makanan yang layak dan tidak pula memiliki jaminan perlindungan kesehatan.
Kondisi kerja yang tidak layak dan beban kerja yang semakin bertambah mengakibatkan PRT Migran rentan kelelahan, sakit, stress, depresi bahkan bunuh diri. Dengan keadaan tersebut, tentu mereka akan sulit beristirahat dan menjaga kesehatan tubuh. Mereka juga akan rentan menjadi sasaran empuk covid-19.
Bisa dibayangkan betapa sangat berat beban yang harus dipikulnya? Maka jangan pernah sekali-kali kita merendahkannya.
Penindasan PRT Migran tak hanya selama bekerja. Namun juga sebelum dan setelah bekerja. Sebelum bekerja ke negara tujuan, mereka rentan mengalami pemalsuan dokumen, penjeratan hutang, penyalahgunaan kekuasaan dan berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh Sponsor dan P3MI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia).
Dalam rangka melindungi PMI dari covid-19, pemerintah memberhentikan sementara penempatan PMI. Ironisnya hal ini justru disalahgunakan oleh Sponsor dan P3MI, melakukan pemerasan kepada PRT Migran yang belum berangkat dan sudah proses untuk membayar jutaan rupiah.
Setelah bekerja, PRT Migran rentan dengan stigma yang berakibat dengan pembatasan mobilitas dan diskriminasi pelayanan. Alih-alih bersolidaritas untuk meningkatkan imunitas, masyarakat malah menstigma sebagai pembawa virus. Padahal setelah sampai di kampung halaman, PRT Migran butuh dukungan, pemulihan, pemberdayaan, rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Untuk menghadapi covid-19, sepatutnya kita bersolidaritas untuk saling menguatkan dan memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak kelompok rentan termasuk PRT Migran.
Organisasi masyarakat sipil di negara tujuan dengan penuh semangat bersolidaritas mendistribusikan bahan pangan dan alat pelindung diri untuk PRT Migran. Kelompok purna migran di desa seperti DESBUMI (Desa Peduli Buruh Migran) memproduksi masker kain untuk bersolidaritas dan mendukung pencegahan persebaran covid-19.
PRT Migran sangat berarti bagi majikan, pemerintah negara tujuan, pemerintah negara asal dan keluarganya. Maka dibutuhkan kerjasama regional dan multilateral antar negara untuk memastikan pelindungan dan pemenuhan hak-haknya, serta upaya pencegahan dan penanganan pekerja migran dari covid-19.
Pemerintah Indonesia harus menyebarkan informasi yang edukatif dan memenuhi hak akses kesehatan. Upaya-upaya pemerintah harus mengutamakan pemenuhan hak-hak PMI dan anggota keluarganya. Serta menjunjung hak asasi manusia, keadilan, anti perdagangan manusia, responsif gender dan non diskriminasi.
Tentunya, pemerintah harus mengakui dan melindungi Pekerja Rumah Tangga dengan segera membahas dan mengesahkan RUU Pelindungan PRT dan meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT.