Kamis, April 25, 2024

Prototipe Persaudaraan ala Nabi Saw

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Pada sekitar tahun 622 M, para Muslim Makkah generasi awal (al-sâbiqûn al-awwalûn) bergerak meninggalkan tanah kelahiran mereka menuju Yatsrib—kelak bernama Madinah. Mereka mengikuti arahan berhijrah Nabi Muhammad Saw ke tanah subur, yang terletak lebih-kurang 510 km sebelah utara Makkah.

Peristiwa hijrah ini menempati kedudukan sangat penting dan menentukan di antara peristiwa-peristiwa dalam sejarah Islam, karena menandai lahirnya apa yang disebut “ummah” atau komunitas Muslim. Peristiwa ini juga kemudian dijadikan sebagai titik awal tahun penanggalan Islam.

Madinah merupakan oasis tujuan hijrah yang ideal. Tanahnya subur sehingga sangat cocok untuk ditanami kurma. Selain itu, wilayahnya terletak pada “jalur rempah-rempah,” yang menghubungkan Yaman dengan Syam (Suriah). Wajar jika Madinah menjadi pusat pertanian terkemuka.

Sebelum peristiwa hijrah, Madinah secara umum dihuni oleh dua suku utama yang berasal dari Yaman, yakni Aus dan Khazraj serta orang-orang Yahudi—menurut catatan Philip K. Hitti, mereka adalah orang-orag Israil yang lari dari Palestina saat ditaklukkan Romawi pada abad pertama Masehi.

Suku Aus dan Khazraj sering kali terlibat pertikaian, laiknya musuh bebuyutan dengan fanatisme kesukuan, yang sangat sulit didamaikan. Kadang beberapa orang Yahudi ikut masuk pusaran konflik di antara mereka, dengan memihak salah satu. Kalaupun ada perdamaian, biasanya hanya berlangsung sementara.

Kondisi tersebut menggugah beberapa orang moderat dari kedua belah pihak untuk berpikir menemukan seorang pemimpin yang bisa menyatukan mereka, dengan tidak memihak salah satu. Ketika itu, mulai terdengar berita tentang Nabi Muhammad Saw. Maka beberapa dari mereka mengunjungi Makkah, dan bertemu beliau.

Nabi Muhammad Saw menyambut orang-orang Madinah dengan sangat baik. Beliau sampaikan kepada mereka perihal ajaran Islam serta misi kenabian yang beliau emban. Syahdan, mereka tertarik dan menyatakan masuk Islam. Bahkan mereka mengundang beliau untuk pindah ke Madinah sehingga bisa menjadi penengah dan mengakhiri pertengkaran akut di antara mereka. Sang Nabi pun menyanggupi.

Setelah itu, komunikasi intensif terjalin antara Nabi Muhammad Saw dengan orang-orang Madinah. Mereka yang sudah berikrar sebagai Muslim kemudian menyampaikan ajaran Islam kepada sebanyak mungkin kaumnya yang mau mendengarkan. Jika di Makkah Nabi Saw banyak ditentang sehingga tak lagi kondusif untuk meluaskan ajarannya, di Madinah ajaran Islam justru mendapat banyak sambutan.

Muhajirin dan Anshar

Maka Nabi Saw mengarahkan para pengikutnya di Makkah untuk berhijrah ke Madinah. Mengikuti arahan Sang Nabi, para Muslim Makkah secara berjenjang pindah ke Madinah, dan beliau menyusul kemudian. Orang-orang Madinah pun menyambut mereka dengan penuh suka cita.

Para Muslim Makkah adalah pendatang di Madinah. Sejak saat itu, mereka diidentifikasi sebagai Muhajirîn, artinya orang-orang yang berhijrah. Penduduk Madinah yang menyambut dan menampung mereka disebut sebagai Anshâr, yakni para penolong.

Bagaimanapun, perasaan asing masih menyelimuti Muhajirin, apalagi sebagian besar dari mereka bukanlah orang-orang yang berharta. Karena itu, Nabi Saw mengambil langkah dengan mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar.

Kepada mereka, Nabi Saw bersabda, “Ta’âkhaw fillâhi akhawaini-akhawaini—Hendaklah kalian mengikat persaudaraan dalam (agama) Allah dua orang dua orang.” Kemudian beliau mengarahkan sedikitnya 100 orang (50 Muhajirin dan 50 Anshar) agar mengikat persaudaraan.

Di antara yang beliau sebutkan: Abu Bakar (Muhajirin) dengan Kharijah bin Zuhair (Anshar); Umar bin Khaththab (Muhajirin) dengan Itban bin Malik (Anshar); Amir bin Abdillah (Muhajirin) dengan Sa‘ad bin Mu‘adz (Anshar); Abdurrahman bin ‘Auf (Muhajirin) dengan Sa‘ad bin ar-Rabi‘ (Anshar), dan seterusnya…

Terbentuklah persaudaraan Muslim yang hakiki antara Muhajirin dan Anshar. Islam menyatukan mereka. Para pendatang dari Makkah tak lagi merasa asing hidup berdampingan dengan kaum pribumi di Madinah. Mereka benar-benar saling mencintai, satu sama lain saling tolong-menolong; yang kuat menolong yang lemah, yang mampu menolong yang kekurangan.

Piagam Madinah

Setelah Nabi Saw mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar, langkah strategis berikutnya adalah membuat kesepakatan damai untuk membangun kerukunan hidup dengan seluruh elemen masyarakat di Madinah, terutama orang-orang Yahudi serta mereka yang belum mau menjadi Muslim.

Langkah ini menelorkan sebuah dokumen kesepakatan yang kemudian dikenal dengan nama Shahifah al-Madînah atau Piagam Madinah—dikenal juga dengan sebutan Konstitusi Madinah. Isi dokumen ini berupa perjanjian formal antara para Mukmin-Muslim beserta seluruh elemen masyarakat yang setuju untuk hidup berdampingan secara damai serta berjuang bersama demi kehormatan, kedamaian, dan ketenteraman.

Piagam Madinah terdiri atas 47 pasal; 23 pasal di antaranya memuat ketentuan hubungan antara sesama Muslim, dan 24 pasal lainnya memuat tata hubungan para Muslim dengan komunitas-komunitas nonmuslim yang hidup di Madinah, termasuk orang-orang Yahudi.

Piagam ini disepakati mengikat bagi seluruh penduduk Madinah. Pasal-pasal di di dalamnya mengandung prinsip-prinsip perdamaian dan keadilan yang secara total merombak paham dan sikap ‘ashabiyah atau fanatisme kesukuan yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Arab. Dengan piagam ini pula, pertikaian yang sebelumnya kerap terjadi antara suku Aus dan Khazraj bisa mereda.

Itulah prototipe persaudaraan yang dibangun Nabi Muhammad Saw bersama masyarakat plural di Madinah. Sebuah persaudaraan hakiki mesti tegak di atas prinsip-prinsip perdamaian dan keadilan. Untuk itu, segala bentuk kezhaliman dan pengkhianatan mesti diredam, tidak boleh dibiarkan berkembang.

Sejatinya, prototipe persaudaraan ala Nabi Saw ini sangat layak untuk diadopsi dalam kehidupan modern kita saat ini. Bahwa Indonesia terdiri dari beragam suku, masyarakatnya menganut dan berkelompok tidak dalam satu keyakinan agama tertentu, dan bisa menyalurkan aspirasi melalui berbagai organisasi.

Muslim dan nonmuslim bisa hidup berdampingan secara damai serta berjuang bersama melawan ketidakadilan, pengkhianatan, kejahatan, dan permusuhaan demi menjaga kehormatan, kedamaian, dan ketenteraman. Itulah sejatinya prinsip-prinsip yang telah diajarkan al-Quran terkait kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Wallâhu a‘lam.

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.