Demonstrasi umumnya berupa gerakan protes massa sebagai bentuk resistensi atas kebijakan pemerintahan status-quo. Namun bisa juga berupa peringatan untuk mengenang sesuatu atau bahkan gerakan yang mendukung sebuah sistem kekuasaan. Keduanya-yang pro dan anti-pemerintah secara mengejutkan kini tengah berlangsung di Iran dengan porsi pemberitaannya tersendiri.
Sejak 2009 pasca kemenangan elektoral Ahmadinejad atas Mousavi, sebagian besar rakyat Iran rutin berkumpul memperingati hari yang dinamakan ‘9 Dey’ merujuk pada 9 Dey 1388 (30 Desember 2009).
Lewat pawai akbar ini, rakyat Iran mengecam gerakan-gerakan intervensionis yang berupaya mengaburkan kemenangan Ahmadinejad lewat isu kecurangan, konflik horizontal, dan kerusuhan sebagai prototipe perang lunak gaya Revolusi Beludru. Efek destruktif gagal move on dari pihak yang kalah Pemilu (sounds familiar?).
Kelompok Mujahidin el-Khalq yang berganti-ganti wajah dan wadah (MKO, MEK, PMOI, NLA, NCR) disinyalir kuat sebagai otak gerakan-gerakan liar yang memperbesar tudingan-tudingan kecurangan yang mengarah pada tindakan makar.
MKO adalah kelompok yang mendukung Saddam ketika perang Irak-Iran berlangsung dan pernah tercatat ke dalam daftar organisasi terroris namun kemudian diputihkan Barat pada 2012 karena dianggap telah meninggalkan cara-cara kekerasan.
Anasir-anasir kelompok ini pula yang dianggap ikut menunggangi protes dadakan pada tanggal 28 Desember 2017 kemarin. Dari markas MKO di Prancis, Maryam Rajavi memanasi linimasa dengan agitasi-agitasi.
Tentu suara-suara otentik mereka yang protes terhadap keadaan ekonomi Iran sejak embargo Barat tidak bisa dinafikan begitu saja. Kenaikan harga-harga, nilai tukar ke Dollar semakin melemah, dan pengangguran menjadi rapor merah pemerintahan Rouhani.
Tapi slogan-slogan ekonomi itu berubah seketika menjadi penghujatan politik atas Presiden dan sang Rahbar, Ali Khamenei. Tuntutan pergantian rezim digaungkan. Dan protes anti pemerintah ini telah menelan puluhan korban jiwa, termasuk petugas Garda Revolusi.
Otoritas Iran mengklaim gerakan ini sebagai upaya musuh-musuhnya di luar negeri membajak suara dan aspirasi massa yang bergabung dan menggunakan berbagai cara termasuk uang, senjata, dan intelijen untuk mengganggu Republik Islam.
Demo tandingan pro pemerintah kemudian digelar dengan lebih masif di sebagian besar kota dan wilayah. Loyalitas pada jalan Revolusi Islam Iran sejak 1979 kembali dipertegas. Namun porsi pemberitaan di media-media Barat cukup minim.
Dimensi kebijakan politik luar negeri Iran tak bisa dielakkan dari sini. Sulit dipungkiri, pola aliansi kekuatan yang sedang bermain di Timur Tengah saat ini mengerucut pada koalisi Amerika Serikat-Israel-Saudi (AIS) di satu sisi, dan Turki-Iran-Rusia (TIR) di pojok lain. ‘Kemenangan’ poros TIR di medan perang Irak dan Suriah menimbulkan implikasi domino lain yang khas dan terprediksi.
Dari sisi historis, poros AIS cukup stabil dalam membina relasi politik kawasan dibandingkan poros TIR yang pasang surut. Turki-Rusia masih saling canggung soal Krimea dan Ukraina. Iran Turki masih berseberangan soal Assad dan Suriah.
Turki sendiri masih tercatat sebagai anggota NATO, yang meminta konsekuensi wajib solidaritas militer para anggotanya. Kelihaian Putin wara-wiri-berkomunikasi ringan dengan Kurdi-cukup memantapkan Turki saat ini untuk menjalin relasi Ankara-Moskow-Taheran yang kokoh atas kewaspadaan potensi proxy baru pasca ISIS lewat manuver Gerakan Kurdi Raya.
Gaya intervensionis yang klise hanya melakukan pengulangan: mereduksi kekuatan plural sebuah negara lewat politik standar ganda. Dukungan AIS pada pemberontak di Libya, Irak, Suriah tak terlihat di Yaman, Mesir, dan bias di Afghanistan. Ujungnya adalah konsesi SDA. Yang terjadi adalah segala keributan di kawasan Arab lain membuat fokus utama terhadap Palestina perlahan terbengkalai.
Iran saat ini bukanlah Iran periode lama yang medioker terhadap hegemoni asing sampai era Shah Reza yang tak mampu dan mau melibatkan diri pada perang Arab versus Israel. Semua berubah pasca 1979.
Iran adalah negara teokrasi yang masih menyisakan sedikit praktek demokrasi karena pluralitas pandangan-pandangan politik dan kelompok. Di dalamnya ada kelompok pendukung Revolusi Islam dan otoritas tertinggi, ada simpatisan romansa rezim Shah Reza, ada kelompok liberal-sekuler, cendikiawan reformis, sampai sosialis.
Selain kubu pertama, para demonstran anti pemerintah terdiri dari pembauran elemen-elemen ini, meski Rouhani sebetulnya berasal dari kubu reformis yang agak terbuka dengan Barat, dan gerakan kiri sosialis di Iran dalam sejarahnya pernah bersatu dengan Khomeini melawan rezim Shah.
Narasi ringkas media-media Barat juga membuat frame simplifikasi kelompok masyarakat yang terbelah menurut tingkat ekonominya. Mengaburkan opini bahwa para pendukung pemerintahan dan sistem Revolusi Islam juga banyak yang berasal dari golongan ekonomi kelas bawah.
Status sosial para pejabat otoritas maupun Garda Revolusi tak jauh berbeda dengan politikus-politikus MKO yang sosialis dan tokoh oposisi Syiah ekstrem yang berdomisili nyaman di Prancis dan Inggris.
Respon negara Arab tampaknya cukup hati-hati dalam melihat persoalan politik Iran ini mengingat peran dan pengaruhnya yang cukup besar di kawasan dalam beberapa tahun belakangan.
Respon yang terlalu kasar bisa berakibat bumerang mengingat sebagian besarnya masih bercorak monarki yang minim kesadaran berdemokrasi. Bahkan friksi-friksi dan protes kecil bisa mengkapital yang tentunya bukan sesuatu yang diharapkan terjadi bagi setiap pemegang kekuasaan. Apalagi otoritas Iran secara tegas akan mengakhiri masalah ini dalam waktu singkat.
Kritikan pangeran Saudi yang menyatakan bahwa para pemimpin Iran seperti Hitler yang diktator, Netanyahu yang memuji para demonstran anti pemerintah, dan cuitan presiden Trump yang mendadak membela kebebasan demokrasi rakyat Iran setelah beberapa bulan sebelumnya melarang kedatangan warga Iran ke tanah Paman Sam, bagai menepuk air didulang memercik muka sendiri.
Simpati politis itu seolah menegasi atensi kasus puluhan imam ulama Saudi yang dikriminalisasi, pembubaran paksa protes para Yahudi Ethiopia dan demo puluhan ribu warga Israel di Tel Aviv perihal kasus dugaan korupsi dan penyalahgunaan jabatan oleh Benjamin Netanyahu.
Hanya Turki dan Qatar yang bernarasi sama dengan pihak otoritas Iran melihat peran pragmatis para intervensionis. Erdogan cukup jengah dengan kritikan Barat pasca kudeta gagal, dan Qatar sudah ditendang dari persekutuan akrab negara-negara Teluk. Dan Jordania mulai menimang posisi pasca penetapan sepihak Trump soal Yerusalem.
Apalagi daerah penyangga yang diduduki para kombatan Suriah sudah ditinggalkan. Perang lanjutan secara terbuka diantara aliansi agaknya tak terjadi dalam waktu dekat akibat kerugian besar pihak yang ‘kalah’ di Irak-Suriah. Maka mengail iseng-iseng di air keruh coba dipertaruhkan.
Tapi tidak hanya Timur Tengah yang salah tingkah. Para tokoh dan pemerhati politik kawasan di dalam negeri inipun seperti wait and see beropini pada perkembangan ini, dari yang liberal sampai agamis.
Mendukung para demonstran anti pemerintahan Iran bisa diartikan sejalan dengan pemikiran dan gaya politik para intervensionis dan representasi identitas kaum liberal-sekuler yang menolak praktek keagamaan yang ketat dalam kehidupan bernegara.
Sedangkan menolak aksi para demonstran berarti menolak secara penuh upaya distribusi kuasa demokrasi menuju level yang lebih proporsional, terbuka dan moderat dalam menimbang referensi sosial budaya masyarakat yang plural.
Sebetulnya tak ada masalah soal kebebasan berpendapat sejauh itu terkendali sebagai hak berdemokrasi, tanpa harus negara lain turut campur secara aktif memanfaatkan celah keberagaman paradigma politik yang majemuk.
Sampai di sini, kita bisa merasakan betapa penting sekaligus riskan makna eksistensi sebuah kebhinnekaan.
Pernah dimuat di Kompasiana, dengan tambahan dan revisi