Belum lama ini terdengar protes dari cucu Mohammad Hatta, Gustika Fardani Jusuf Hatta, terhadap Koordinator Juru Bicara Prabowo Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak, lantaran Dahnil dianggap menyamakan Mohammad Hatta dengan cawapres nomor urut 02, Sandiaga Uno.
Protes yang ditulis Gustika pada akun twitter-nya itu menjadi viral dan semakin menarik perhatian publik karena gadis itu memakai kata yang mungkin terbilang atau bisa dianggap kasar. Protes Gustika menimbulkan pro dan kontra, baik dari para politisi maupun warganet. Ada yang mendukung Gustika, dan ada pula yang tidak suka akan protesnya itu.
Gustika menganggap Hatta dan Sandiaga itu berbeda. Baginya, Dahnil menyamakan keduanya hanya karena kepentingan politik saja. Ia sebagai cucu dari proklamator bersama Sukarno itu tentu merasa keberatan. Memang benar, ini hanya persoalan politik. Jelas tercium bahwa perkataan Dahnil adalah untuk membuat publik menaruh perhatian pada Sandiaga karena disebut sosok baru Hatta.
Padahal bagi Gustika, ia tak menemukan kesamaan antara kakeknya itu dengan sosok Sandiaga Uno. Terlebih, Sandiaga adalah tokoh korporasi, sedangkan Hatta merupakan tokoh koperasi. Dari yang fundamental saja sudah jelas perbedaannya. Juga, Mohammda Hatta adalah negarawan, bukan politikus kata Gustika.
Protes Gustika tentu berasal dari kegelisahan, bahkan kemarahannya terhadap politisi yang menyebut orang yang ia anggap tidak memiliki kemiripan dengan kakeknya sebagai sosok baru dari kakeknya itu.
Protes ini sebenarnya terbilang wajar, hanya saja karena dalam salah satu cuitannya di twitter, Gustika memakai kata yang mungkin dianggap kasar sehingga ada juga orang-orang yang menganggap tak pantas ia menulis begitu. Namun, kita seharusnya tak boleh menyalahkan Gustika.
Kita harus coba memosisikan diri kita menjadi Gustika, menjadi orang yang kakeknya disamakan dengan orang lain. Jika saja kakek kita merupakan orang hebat dan tokoh terkenal di Indonesia, lantas ada orang yang menyamakannya dengan sosok yang sama sekali tidak mirip, tentu kita juga berpotensi melakukan apa yang Gustika lakukan. Memang, ada baiknya gadis itu lebih bisa menyaring dulu kata yang akan ia tulis, agar tak ada yang mempermasalahkannya.
Dahnil yang juga sudah mendapat protes dari cucu Mohammad Hatta ada baiknya untuk meminta maaf saja dan mencabut perkataannya tentang Sandiaga adalah sosok baru dari Hatta. Sayangnya, Dahnil menanggapi protes Gustika dengan bilang bahwa Gustika hanya sedang baper (bawa perasaan) saja.
Para politisi seperti Dahnil Anzar dan kawan-kawan, sebaiknya tidak asal menyebut seorang tokoh pada masa sekarang sebagai sosok baru dari seorang tokoh pada masa lalu. Jika saja memang ia melihat ada banyak sekali kemiripan, mungkin masih bisa dimaklumi, walaupun tetap harus siap menerima jika ada yang tak setuju. Akan tetapi, jika hanya ada satu atau dua kemiripan, atau bahkan tidak ada sama sekali dan hanya untuk kepentingan politik, tentu sudah seharusnya mendapat protes.
Cara mempromosikan seorang tokoh bisa dilakukan dengan lebih bijak, dengan membeberkan prestasi-prestasinya, atau lebih menegaskan tentang visi dan misinya. Bukan dengan mengatakan ia bentuk baru dari seorang tokoh lain yang bisa dianggap seperti halusinasi belaka.
Karena telah menjadi viral, banyak muncul berita-berita entah di televisi ataupun di media online tentang hal ini. Beberapa tokoh pun angkat bicara terkait hal yang sedang ramai diperbincangkan ini. Salah satunya Djarot Syaiful Hidayat, politikus PDIP. Ia mengaku suka dengan komentar Gustika, menandakan ia setuju dengan protes yang dilayangkan cucu Hatta itu pada Dahnil. Bagi Djarot, Gustika sebagai cucu Hatta paling berhak untuk komentar. Hal tersebut memang benar. Gustika punya hak untuk protes.
Dari sini mungkin ada pelajaran yang bisa diambil para politikus, terutama Dahnil dan kawan-kawan. Mengagumi seorang tokoh boleh-boleh saja, mencontoh juga tentu tak ada larangan.
Namun, menyamakan atau bahkan mengatakan si ini sosok baru dari tokoh ini, adalah hal yang tidak diperlukan. Anak kembar saja memiliki perbedaan, apalagi dua orang yang memang secara fundamental sudah berbeda.
Menyamakannya hanya terkesan dipaksakan saja, mengatakan sosok yang baru dari sosok yang lama juga seperti sedang berhalusinasi saja, dan tentu justru tidak baik karena membuka celah untuk dikritik dan diprotes.
Yang cukup menggelitik juga bukan karena membuat mereka mendapat kritikan dan protes pedas, tapi juga menjadi bahan lawakan warganet. Komentar-komentar lucu seperti “Mohammad Hatta tidak pernah menelepon pakai tempe”, “Mohammad Hatta tidak pernah berfoto dengan gaya bangau”, “Mohammad Hatta tidak pernah jalan di atas kubur orang dengan menjaga keseimbangan”, “Mohammad Hatta tidak pernah pakai lipglos”, dan sebagainya banyak dijumpai di sosial media. Hal itu seperti protes dengan kalimat lucu dari warganet terhadap pernyataan Dahnil yang bilang Sandiaga sosok baru dari Hatta.
Gustika juga mungkin bisa lebih belajar dari kejadian ini. Meski mendapat banyak dukungan, adapun yang menyayangkan mengapa kata yang ia pakai ada yang dinilai kasar. Penting sekali untuk memerhatikan diksi, agar lebih elok dibaca. Kendati demikian, protes dari Gustika sudah bagus, menandakan ada keberanian dari dirinya yang bisa dijadikan contoh dan bisa menjadi ‘tamparan’ bagi para politikus yang asal bicara.