Prostitusi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya (Siregar, 2016: 02).
Prostitusi dapat juga diartikan sebagai bisnis layanan seks. Pekerja seks dalam kegiatan prostitusi selalu difigurkan oleh sosok perempuan. Edlund dan Korn dalam Nanik, et al (2012: 23) bahkan mengungkapkan bahwa prostitusi adalah sebuah pekerjaan yang dilakukan oleh wanita yang memiliki keterampilan rendah untuk mendapatkan gaji yang tinggi.
Definisi prostitusi yang langsung ditujukan pada wanita telah menjadi bukti hegemoni cara berpikir patriarkis yang mengkonstruksikan bahwa wanita sebagai makhluk pemuas nafsu seksual laki-laki. Pola pikir partriakis ini sejatinya telah mengakar dalam sejarah peradaban manusia.
Bahkan pada masa Nabi Shaleh misalnya, prostitusi direpresentasikan dalam bentuk iming-iming seorang wanita cantik bernama Shaduq binti Mahya kepada Mahraj yang berjanji membunuh unta Nabi Shaleh. Langkah ini kemudian yang diikuti oleh perempuan lain yang menyerahkan kehormatan anak gadisnya kepada pemuda Qudar bin Salif (Ihsan dalam Siregar, 2016: 01).
Kenyataan dalam sepanjang peradaban manusia yang terbukti telah memberi label bahwa pekerja seks merupakan pekerjaan umum bagi perempuan membuktikan bahwa perempuan sejatinya belum pernah sepenuhnya menjadi manusia yang otonom.
Martha Nussbaum dalam Molyneux dan Razavi (2002: 09) menjelaskan seberapa jauh perempuan diberlakukan sebagai bagian dari keluarga, komunitas, dan bangsa, kepentingan perempuan tersebut selalu direndahkan dan harus tunduk pada tujuan dari entitas-entitas tersebut.
Nussabaum mengungkapkan bahwa yang dibutuhkan perempuan lebih dan tidak kurang adalah hak kebebasan individual. Perempuan butuh untuk dilihat sebagai makhluk yang otonom, sebagai manusia yang bebas yang mampu membuat keputusan sendiri daripada menjadi makhluk yang dikontruksikan oleh dorongan dunia secara sosial.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah apakah pekerja seks dalam kegiatan prostitusi yang selalu dikonstruksikan sebagai pekerjaan perempuan telah menjadi tanda bahwa perempuan sudah menjadi makhluk yang otonom yang telah memiliki kebebasan individual sesungguhnya? Apakah perempuan telah sepenuhnya memiliki tubuhnya secara otonom?
Foucault dalam Munti (2005: 28-29) menjelaskan apa yang disebut sebagai “histerisasi tubuh perempuan” yang lahir dari intensifikasi dan penyebaran aneka wacana dan praktik seksualitas. Tubuh perempuan telah dianalisis−baik untuk dikualifikasi ataupun didiskualifikasi−sebagai tubuh yang secara menyeluruh penuh dengan seksualitas.
Dengan demikian, tidak heran bahwa prostitusi dalam kegiatannya menjadikan tubuh perempuan sebagai objek atau sarana pemenuhan seksual bagi laki-laki. Tubuh perempuan yang secara menyeluruh telah dikonstruksikan sebagai lambang dari seksualitas inilah yang menjadi modal bagi bisnis layanan seks yang ditujukan kepada laki-laki sebagai “pasar” utamanya.
Bisnis layanan seks yang disebut sebagai prostitusi telah membentuk pembagian kerja secara seksual antara perempuan dan laki-laki di mana perempuan berperan sebagai produsen dan laki-laki sebagai konsumennya. Maka dari itu, dalam konteks tersebut, prostitusi telah mengkonstruksikan tubuh perempuan sebagai komoditas.
Tubuh perempuan yang dikonstruksikan sebagai lambang seksualitas dijadikan sebagai “mesin pencetak uang”. Proses produksi-konsumsi seksualitas ini yang menjadi bentuk realisasi kapitalisme karena sebagai ajang akumulasi modal atau kapital. Keberlangsungan kapitalisme secara seksual ini menjadikan perempuan secara fisik sebagai bahan baku produksi dalam industri hiburan ataupun industi-industri yang bernuansa seksual.
Oleh karena itu, sudah tidak mengherankan lagi kasus human trafficking dan pelecehan seksual perempuan semakin menjamur. Handayani dalam pupa.or.id (2017) memaparkan data dari IOM dalam Catahu Komnas Perempuan 2010 menyebutkan bahwa perdagangan perempuan sebanyak 3.024 orang, di mana 90% perempuan dan 25% anak khususnya anak perempuan.
Perdagangan tersebut dalam bentuk pelacuran, penyelundupan, penipuan, penjualan organ, penyelundupan/adopsi ilegal bayi/anak, pemerasan pornografi, penjualan “keperawanan”. Selain itu, data dari Komnas Perempuan pada tahun 2010 mencatat bahwa terdapat 1.359 perempuan diperdagangkan untuk tujuan seksual.
Tubuh perempuan yang dijadikan komoditas dalam bisnis layanan seksual menimbulkan permasalahan ketika telah menjadi anjang eksploitasi bagi perempuan itu sendiri. Farley et al dalam Nanik et al (2012: 25) mengungkapkan pelacuran telah menjadi persoalan dalam kehidupan masyarakat karena prostitusi telah mengakibatkan mutipel traumatik di antaranya 71% kekerasan fisik, 63% diperkosa, 89% tidak menyukai prostitusi tetapi tidak berdaya untuk keluar, 75% tidak memiliki rumah, dan 68% PTSD atau Posttraumatic Stress Disorder.
Fakta tersebut menjadi refleksi bahwa perempuan yang masuk ke dalam bisnis layanan seksual sangat rentan mengalami eksploitasi. Perempuan tidak sepenuhnya otonom atas tubuhnya karena bisnis layanan seksual telah menjadikan perempuan itu sendiri sebagai buruh yang harus terus memproduksi layanan seksual atas permintaan dari konsumen.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa konsumen dalam bisnis layanan seksual didominasi oleh laki-laki. Praktik prostitusi yang merupakan bagian dari bisnis layanan seksual ataupun industri seksual telah menjadi bukti bahwa kapitalisme secara tidak sadar telah melanggengkan hegemoni partriarkis di masyarakat. Lalu, perempuan lah yang menjadi target subordinasi dari pelanggengan hegemoni partriarkis melalui praktik prostitusi ataupun industri seksual yang masuk ke dalam bentuk bisnis layanan seksual.
Referensi
Handayani, Susi. (2017). Perangi Perdagangan Perempuan dan Anak dalam Prostitusi: Tinjauan dari Kaca Mata Perempuan. Diakses malalui situs https://www.pupa.or.id/2017/02/23/perangi-perdagangan-perempuan-dan-anak-dalam-prostitusi-tinjauan-dari-kaca-mata-perempuan/ pada Senin, 24 Desember 2018 pukul 11.22 WIB.
Molyneux, Maxine and Shahra Ravazi. (2002). Gender Justice, Development, and Rights. New York: Oxford University Press.
Munti, Ratna Batara. (2005). Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Global. Yogyakarta: Lkis.
Nanik, Suhar, Sanggar Kamto, dan Yayuk Yuliati. Fenomena Keberadaan Prostitusi dan Pandangan Feminisme. Jurnal Wacana, Vol. 15, No. 4, (2012), hlm. 23-29.
Siregar, Kondar. (2016). Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu. Medan: Penerbit Perdana Mitra Handalan.