Selasa, April 23, 2024

Problem Sampah Tak Pernah Melihat Akarnya

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.

Problem sampah menjadi persoalan yang berlarut-larut hingga kini, jika melihat secara empirik, di mana-mana kita menjumpai sampah yang berceceran. Tidak di jalan, sungai, tetapi juga ada di lautan.

Surabaya sendiri menjadi kota metropolitan terbesar di Jawa Timur yang memproduksi sampah cukup banyak. Mengutip dari berbagai sumber, total produksi sampah di kota ini sebesar 1.600 ton per hari, jika  bersandar pada fakta yang ada di TPA Benowo. Kondisi ini membuat Pemerintah Kota membuat aneka kebijakan, salah satunya membuat rumah kompos pada beberapa titik. Pembuatan tersebut dijalankan untuk mengolah sampah dengan prinsip recycle, reuse dan reduce.

Tetapi secara faktual kondisi tersebut dinilai belum mampu menjawab tantangan perihal kelola sampah yang kian hari semakin pelik. Faktor utama dari problem sampah adalah persoalan rerantai yang cukup panjang, dari hulu hingga hilir. Seperti sampah plastik saja, ia dihasilkan oleh bahan-bahan yang digunakan untuk membungkus makanan manusia atau barang.

Secara historis sampah plastik ini diklaim ramah lingkungan, sebab dapat bertahan lama. Lebih baik daripada memakai kantung kertas, yang akan menghancurkan hutan jika penggunaannya sekali pakai saja, karena memang kantung kertas cepat rusak.

Pertama kali penggunaan plastik memang dimulai dari Swedia dan mempunyai visi untuk kehidupan yang ramah lingkungan, artikel dari independen.co.uk (17/10/2019) yang berjudul “Plastic bags were created to save the planet, inventor’s son says,” paling tidak memberi sekelumit gambaran mengenai ide awal penggunaan plastik sebagai tas.

Polemik soal plastik memang terus mengudara hingga kini, dari fase 80an menuju 90an memang perdebatan tak pernah berhenti. Karena plastik sendiri dihasilkan dari minyak bumi, jika kita membaca buku berjudul “Paper or Plastic” yang ditulis oleh Rita Erickson (1997). Pada bab “Paper Vs Plastic” Rita menjabarkan beberapa persoalan, seperti kertas lebih ramah lingkungan karena dapat diuraikan, tetapi kertas akan memicu deforestasi.

Di satu sisi plastik ini bahan baku utamanya dari pertambangan, sehingga juga sangat tidak ramah lingkungan, tapi plastik bisa dibilang ramah lingkungan karena tahan lama, jadi tidak seperti kertas yang boros.

Tapi dua-duanya hanya menjadi permukaan saja, problem pembungkus ini sebenarnya merupakan gambaran yang eksis dari perilaku manusia. Apapun yang akan digunakan, jika sifatnya konsumeristik tentu akan mengancam lingkungan. Sebab konsumerismelah yang menyebabkan problem ini terus-menerus hadir.

Jika memang ingin menyelesaikan problem sampah, bukan hanya bicara soal individu tetapi juga kebijakan, selama masih terjebak dalam skema produksi dan konsumsi, selamanya pula sampah akan terus bertambah.

Sebagaimana kebijakan PLTSa yang dijalankan oleh Pemkot Surabaya, bukannya menciptakan sampah berkurang, malah skema bisnis listrik dari output PLTSa akan memicu konsumsi berlebihan demi memeuhi bahan baku sampah untuk listrik. Pun ini juga berlaku bagi bus Suroboyo, di mana dalam praktik malah menyuburkan pembelian botol plastik agar bisa menikmati fasilitas ini, bukan lagi bicara soal recycle dan reduce.

Fakta per fakta yang terjahit linier, menggambarkan bahwa kelola sampah tak semudah dibayangkan. Sebagaimana ungkapan dari Berghoff dan Rome (2017) selagi bisnis tetap jalan seperti biasa, bertumpu pada konsumsi masif, maka selama itu pula problem lingkungan akan tetap ada, tak terkecuali dalam konteks penggunaan plastik.

Selama masih terjebak pada skema kapitalistik, tidak mungkin ada perubahan yang mendasar dari penyelamatan lingkungan dan secara minimalis pengurangan sampah itu sendiri. Selagi sistem tersebut masih berlanjut, tidak ada upaya untuk merubahnya situasi juga akan sama.

Secara minimalis sebagai bentuk reformasi yakni menciptakan kebijakan berangsur-angsur, dari soal penggunaan tas yang ramah lingkungan seperti memakai ulang plastik bekas, hingga pakai tas katun, sampai pada penerapan zero waste secara penuh. Tentu usaha apapun hanya kamuflase hijau, jatuhnya tidak mengurangi masalah, malahan menambah masalah.

Tentu hal ini menjadi persoalan bersama, karena yang ditekankan adalah dampak dari sampah baik organik maupun an-organik, ini masih belum teratasi. Ditambah pergeseran budaya, di mana dengan konsumerisme yang semakin mendarah daging sebagai manifestasi dari kuasa kapitalisme, maka problem akan semakin pelik.

Penyelesaian persoalan berupa kebijakan PLTSa dan tidak dijalankannya zero waste secara baik, menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan sampah tak tertangani. Kembali ke pemikiran awal, intinya secara konstruksionis, kebijakan itu untuk siapa dan menguntungkan siapa? Apakah akan benar-benar efektif?

Referensi

Berghoff, H., & Rome, A. (Eds.). (2017). Green Capitalism?: Business and the Environment in the Twentieth Century. University of Pennsylvania Press.

Erickson, R. J. (1997). Paper or plastic?: energy, environment, and consumerism in Sweden and America. Greenwood Publishing Group.

Weston, Phoebe. (17 October 2019). Plastic bags were created to save the planet, inventor’s son says. Diakses pada 08 Juni 2020 pada pukul 18.00 WIB, dari: https://www.independent.co.uk/environment/plastic-bags-pollution-paper-cotton-tote-bags-environment-a9159731.html

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.