Kamis, April 25, 2024

Problem Kepartaian Kita

Deda Rainditya
Deda Rainditya
Deda R. Rainditya merupakan asisten peneliti dan asisten dosen di Departemen Politik, Universitas Airlangga, dan sering melakukan beberapa penelitian di Jawa Timur. Ruang lingkup dan fokus kajian di bidang Ekonomi Politik Indonesia dan studi neoliberal.

Upaya kudeta yang terjadi di Partai Demokrat beberapa waktu lalu memberikan gambaran sekali lagi problem khas dari kepartaian di Indonesia. Seperti yang juga terjadi dalam konflik dualisme PPP, Partai Golkar, dan PAN. Partai menjadi institusi strategis pasca otoritarian. Dari segala problem kepartaian, seolah mengajak kita untuk kembali mengeja ulang ada apa dengan partai politik di Indonesia?

Tulisan ini menawarkan analisa problem kepartaian Indonesia pasca otoritarian dengan pendekatan ekonomi politik. Ini penting karena saya melihat pertarungan dan perebutan kekuasaan yang ditampakkan elit partai kita hari ini tidak lebih bagian dari akumulasi material di dalam arena-arena politik.

Pemeriksaan kita mulai dari bagaimana proses kapitalisme yang terjadi di rezim Soeharto dengan konsep “negara pembangunan” tidak dibarengi dengan liberalisasi di bidang politik. Hal ini bisa dilihat dari sejak 1970-an pasca pemberangusan kekuatan kiri di Indonesia sembari mengkabarkan phobia komunisme, rezim saat itu juga menertibkan kemunculan partai-partai politik yang di rezim Soeakarno banyak berdiri.

Partai-partai dari kalangan nasional dan Islam terutama  juga tidak luput dari program “depolitisasi” melalui pembentukan tiga partai politik utama di bawah asas Pancasila, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) reprentasi kalangan nasionalis, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) representasi dari kalangan agamis, serta Golkar merupakan wadah kalangan birokrat dan ABRI serta melalui penempatan orang-orang kepercayaan Soeharto di partai-partai tersebut. Proses konsolidasi kekuasaan Soeharto yang khas represif, memungkinkan untuk terwujudnya tertib sosial yang praktis baik untuk iklim investasi.

Di sinilah problem itu dimulai. Rezim secara disiplin masuk diseluruh ruang-ruang kehidupan ekonomi politik negara. Negara menjadi inisiator dari pembangunan kapitalisme negara, yang ditandai dengan marjinalisasi kelas borjuasi etnis Cina mendorong pada kondisi relasi patronase – yang hari ini ramai dibicarakan sebagai relasi oligarki – antara kekuatan kelas kapital dengan para politico-business yaitu dari kalangan politisi dan ABRI. Kapitalisme Indonesia pada momentum yang ditandai oil boom 1970 ketika produksi dan harga minyak naik, antara tahun 1969/1970 dan 1974/1975 pendapatan pemerintah melonjak dari Rp. 66,5 milyar ke Rp. 957,2 Milyar atau melonjak dari 19,7% ke 48,4%.

Dari kondisi-kondisi yang dapat dilihat, Pertama, kejatuhan Soeharto tidak menjadi sebuah hambatan bagi aliansi oligarki. Proses adaptasi ini disebutnya sebagai reorganising power, memang otoritarian telah turun namun tidak dengan kekuatan-kekuatan aliansinya. Kedua, reorganisasi juga terjadi di domain ekonomi, namun yang menjadi catatan kekuatan arus neoliberalisme yang seharusnya terintegrasi dengan kekuatan ekonomi domestik ternyata justru memaksa negara melakukan restrukturisasi ekonomi atas dorongan lembaga Bretton Woods.

Konsekuensinya, Domain politik pasca otoritarian memang telah berubah namun tidak serta-merta mengubah konfigurasi aliansi yang telah terbentuk di rezim orde baru. Sehingga praktek predatoris dan upaya akumulasi kekuasaan-kapital hanya mengalami distribusi melalui agenda desentralisasi di tingkat lokal. 

Konteks Problem ekonomi politik dan Problem Partai kita?

Setelah memeriksa konfigurasi aliansi politik dengan memberikan konteks sejarah di era orde baru kita mendapati partai politik menjadi bagian inkubasi kekuasaan oligarki dibawah naungan rezim. Demokratisasi memberikan konsekuensi pada munculnya lembaga-lembaga demokrasi termasuk diantaranya partai politik.

Posisi strategis partai politik sebagai media perjuangan dan artikulasi masyarakat melalui elektoral dalam konteks Indonesia tidak beroperasi seperti yang dikehendaki dari proses reformasi kelembagaan demokrasi itu sendiri. Partai politik justru menjadi perwujudan baru dari hasil aliansi inkubasi aliansi politico-business dan tak pelak menjadi bagian penting dari bagian akumulasi kekuasaan-kapital dalam konteks hari ini. Relasi-relasi partai politik di dalamnya dengan kekuatan kelas borjuasi, aliansi politico-business masih ada dan justru menjadi bagian dari kekuatan penting dari partai politik hari ini.

Diluar Golkar, partai yang digadang-gadang sebagai representasi kekuatan politik reformasi seperti Partai Amanat Nasional (PAN) yang diinisasi salah satu tokoh reformasi, Amien Rais, bahkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang didiinisiasi Megawati dan sebagai partai pemenang di Pemilu 1999 justru menjadi tidak memiliki pengaruh apa-apa dalam mendorong proses penghancuran dari kekuatan aliansi oligarki.

Relasi sosial yang berkembang dalam partai politik Indonesia memberikan gambaran pada pola konsentrasi material bagi elit partai. Penulis secara sederhana menghimpun data pertutan bisnis dengan elit partai sebagai berikut:

Tabel 1. Pertautan Elit Partai dan Bisnis Pendukung

Deda Rainditya
Deda Rainditya
Deda R. Rainditya merupakan asisten peneliti dan asisten dosen di Departemen Politik, Universitas Airlangga, dan sering melakukan beberapa penelitian di Jawa Timur. Ruang lingkup dan fokus kajian di bidang Ekonomi Politik Indonesia dan studi neoliberal.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.