Rabu, November 20, 2024

Problem Keberpihakan Tokoh Agama dalam Kontestasi Pemilu 2024

Tedy Aprilianto
Tedy Aprilianto
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Wasekum PA Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bulaksumur Sleman
- Advertisement -

Kampanye pemilihan umum 2024 sudah dimulai semenjak 28 November 2023. Kurang lebih hampir mendekati minggu ke 3 penawaran gagasan dan solusi permasalahan negeri telah dikampanyekan.

Melalui kampanye tersebut calon presiden dan wakil presiden beserta calon legislatif aktif menyuarakan janji-janji manis untuk menarik simpati rakyat. Bahkan, dalam kampanye calon-calon pemimpin negeri ini melakukan blusukan ke beberapa elemen masyarakat. Dimulai dari tokoh pemuda, tokoh pendidikan, tokoh budaya, tokoh agama dan lain sebagainya.

Kebutuhan para calon tersebut mengklasifikasikan elemen masyarakat dikarenakan Indonesia adalah negara yang beraneka ragam. Melalui klasifikasi tersebut, para calon pemimpin akan yakin bahwa, di setiap elemen masyarakat gagasan dan janji manis kampanyenya akan mendapat dukungan.

Melalui klasifikasi tersebut, pada elemen keagamaan turut mendapatkan perhatian besar. Indonesia adalah salah satunya negara di dunia yang masyarakatnya menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Sudah semestinya tokoh agama dijadikan sebagai landasan keyakinan dukungan. Namun, selain menjadi dasar dukungan. Keberpihakan tokoh agama dalam politik juga bisa menimbulkan makar pada pengikutnya. Terjadinya makar ini bukan terjadi karena perintah maupun ceramah dari tokoh agama. Melainkan makar yang terjadi ini merupakan hasil pemaknaan pendek masyarakat terkait politik dan agama.

Problem Keberpihakan Tokoh Agama

Keberadaan tokoh agama di dalam lingkaran politik khususnya menjelang pesta demokrasi sangat dibutuhkan. Keberadan tokoh agama menjelang pesta demokrasi ini mampu menjadi penasihat politik bagi para calon pemimpin dalam berkampanye. Selain itu, tokoh agama juga dapat dijadikan pengendalian epistemik masyarakat terkait pemilihan umum yang adil dan damai.

Kontestasi pemilihan umum perlu ada pengawasan etis dengan basis sosio religi. Tidak memandang agama apapun keadilan dalam pemilihan umum perlu dijadikan landasan dengan keyakinan agama masing-masing.

Korelasi agama dan politik tidak bisa menjadikan keagamaan itu menjadi identitas politik. Simbol agama juga bukan menjadi landasan utama untuk menjaring suara begitu juga tokoh agama. Menjelang pesta demokrasi ceramah-ceramah selalu diisi oleh tokoh agama dengan nuansa demokrasi. Keberadaan tokoh agama dalam demokrasi merupakan aktor kepengawasan demokrasi itu sendiri. Namun, problem dari keberadaan tokoh agama terkadang dimaknai secara mentah oleh masyarakat biasa.

Menjelang kontestasi pemilihan umum, masyarakat memulai perang argumen. Berangkat dari pemikiran Robert B Talisse, yang memandang demokrasi adalah perang sipil tanpa pertumpahan darah. Masyarakat yang menggunakan statement keagamaan dapat dianggap berbahaya. Agama merupakan landasan keyakinan epistemik masyarakat. Ketika dalam konteks demokrasi agama dijadikan bahan perang argumen maka, ada resiko agama ini dimaknai secara dangkal. Dengan pemaknaan agama yang dangkal masyarakat yang  belum kecerdasan pikiranya akan semakin mudah diadu domba.

Menjelang pesta demokrasi, eskalasi perang sipil tanpa pertumpahan dari sudah sewajarnya naik. Sehingga, keberadaan tokoh agama dalam memberikan ceramah menjadi problem keyakinan masyarakat. Pemaknaan masyarakat yang berbeda beda dalam dukungan politik menggunakan narasi apapun merupakan marwah demokrasi.

Dengan menggunakan argumen masyarakat sipil bisa menunjukkan hak sipilnya. Akan tetapi, hak dukungan bukan berarti melanggar etika yang ditinjau dari agama. Tokoh agama yang argumennya dijadikan landasan argumen baik output ujaran kebencian dan dukungan tidak bisa disalahkan. Hal ini akan terjadi dikarenakan keyakinan berargumen benar dan salah bukan pada tokoh agama melainkan kepada masyarakat itu sendiri.

- Advertisement -

Kebutuhan Suara Masyarakat

Agama dan politik tidak bisa dilepaskan disatukan. Melainkan dialog antara agama dan politik akan menjadi penyempurnaan dinamika kemasyarakatan dalam demokrasi. Calon pemimpin yang menggunakan tokoh agama merupakan kebutuhan strategi. Landasan strategi yang dibutuh calon pemimpin ialah untuk bisa mendamaikan kontestasi sebagaimana mestinya demokrasi. Dengan meninjau pemikiran Paus Fransiskus, agama tidak boleh digunakan sebagai alat politik. Walaupun agama memiliki banyak umat, dalam konteks politik agama dijadikan objek kemenangan yang superior merupakan tindakan yang tak layak dibenarkan.

Calon pemimpin juga harus mampu memberikan narasi politik yang damai. Dengan menggunakan tokoh agama dalam kampanye, sebenarnya merupakan pilihan yang tepat ketika digunakan secara tepat. Tokoh agama sudah pastinya menguasai nilai-nilai keadilan, kedamaian, anti kekerasan, dan lain sebagainya yang ditinjau dengan semangat demokrasi. Oleh karena itu, calon pemimpin juga harus banyak memberikan gagasan dan paradigma berpikir yang solutif bukan provokatif.

Hubungan calon pemimpin dan tokoh agama juga harus berjalan baik. Dalam kontestasi politik, kubu-kubu pasti akan bermunculan. Polarisasi masyarakat juga akan menjadi resiko demokrasi. Dengan demikian, calon pemimpin dan tokoh agama harus membangun demokrasi dengan pendekatan yang relevan. Walaupun berbeda pihak tujuan demokrasi ialah keberbedaan itu sendiri. Oleh karena itu, gesekan harus mampu dimitigasi lewat adanya kesepakatan nilai-nilai yang ada dalam strategi kampanye

Resolusi Sikap

Demokrasi memang menjadi salah satu sistem pemerintahan yang banyak menimbulkan problem. Selain itu, demokrasi juga dapat diterima diseluruh dunia karena adanya hak sipil yang diterima dalam negara. Demokrasi juga diyakini sebagai salah satu pemerintahan paling modern di dunia. Hubungan politik dan agama dalam demokrasi bukan menjadi permusuhan. Walaupun dalam tesis Robert demokrasi adalah perang sipil tanpa pertumpahan darah.

Maka, disinilah agama itu berperan untuk meredam perang sipil tanpa pertumpahan darah yang radikal. Dengan demikian, tokoh agama dan umat beragama memiliki peran penting dalam merawat demokrasi dengan meyakini agama secara untuk dan mengkontekskan keyakinan agama secara bertanggung jawab.

Tedy Aprilianto
Tedy Aprilianto
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Wasekum PA Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bulaksumur Sleman
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.